Menerima Harta dari Ahli Maksiat Bolehkah?

 
Menerima Harta dari Ahli Maksiat Bolehkah?
Sumber Gambar: Unsplash.com, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Terkadang kita galau jika menghadapi uangnya orang fasik. Misalkan ada orang biasa zina, biasa mabuk, atau bahkan judi. Lalu ketika sadar, mereka memberikan uang kepada kita, atau bahkan ke kyai. Ini terkadang menimbulkan kegalauan apakah uangnya diterima atau tidak.

Ada dua hal, jika ditolak maka uang ini nanti akan digunakan dia maksiat lagi. Tetapi jika diterima lalu uangnya dikonsumsi sendiri untuk makan maka nanti takut ketularan fasik dan ini tidak diperbolehkan. Sehingga jalan keluar yang baik menurut Gus Baha adalah diterima saja, lalu kita berikan kepada fakir miskin, atau masjid atau fasilitas umum lainnya yang bermanfaat. Jika dimakan fakir miskin maka diperbolehkan karena darurat. Jika tidak diterima atau dikembalikan kepada orang yang fasik tadi maka khawatirnya digunakan kepada hal haram yang malah menyebabkan dosa.

Dulu KH. Nursalim pernah bercerita kepada Gus Baha, jika kita ingin alim maka yang masuk ke perut anak isteri adalah hendaknya harta kita sendiri sebagai kepala keluarga. Ketika ada uang pemberian dari siapapun tunggulah sampai lesu muthor atau sangat lemas yang darurat. Karena ketika kita sudah dalam keadaan sangat lemas yang darurat atau terpaksa, maka hal haram pun bisa jadi halal.

Kendalanya, di zaman sekarang setelah makan itu nambah lagi. Maka hal ini bisa diharamkan ketika sumber dana yang dimakan adalah syubhat lalu makannya malah nambah lagi. Sangat tidak dibenarkan dalam syariat.

Ulama dari dahulu itu sudah sering memberi nasihat, terlebih lagi dari sudut pandang syariat. Misalkan ada kisah seorang narapidana kasus narkoba. Ketika orang tersebut memberi asset kepada Kyai atau Polisi maka secara syariat atau Fiqh itu tidak mengapa diterima. Asalkan uang atau asset ini digunakan untuk hal yang baik. Daripada uang atau asetnya digunakan untuk maksiat lagi. Karena dengan diterimanya uang atau asset besar ini ditangan orang baik, berarti ada penyitaan asset yang potensi dipakai untuk keburukan.

Tetapi jika hal ini memang dilakukan, maka Polisi harus menyampaikan tanggungjawab kepada negara. Atau jika yang menerima Kyai maka juga harus melaporkan kepada lembaga terkait misanya lembaga sosial. Tetapi disamping itu hukum tetap terus berjalan sesuai dengan aturan. Bukan malah menjadi suap yang menyebabkan tidak tegas terhadap hukum. Hal ini jika tidak diterima, maka artinya yang berwenang masih membiarkan orang fasik memiliki harta banyak yang nantinya masih memiliki kekuatan untuk berbuat buruk lagi.

Ini seperti kisah di zaman Firaun ketika Ibunya Nabi Musa AS menerima harta dari Firaun yang notabene adalah harta haram. Ibu Nabi Musa beranggapan ketika menerima dinar setiap hari dari Firaun, maka hal ini akan digunakan untuk kesalehan. Tetapi jika Firaun yang menggunakan maka ini dipakai untuk kekuatan kedholiman.

Begitu juga ketika di zaman Nabi Muhammad SAW. Nabi SAW menyurati Raja Mesir kala itu agar masuk islam tetapi ditolak. Tetapi disisi lain Nabi SAW sering menerima hadiah dari Raja Mesir kala itu. Termasuk menerima seorang budak bernama Ibunda Mariah Al Qibtiyah.

Sehingga dari kisah-kisah ini mari kita ikuti nasihatnya para ulama. Ketika kita menolak harta tersebut itu juga tidak mengapa untuk alasan Wira’i atau menjaga diri dari Syubhat atau haram. Tetapi disi lain, hal ini malah bisa membiarkan harta orang fasik digunakan untuk hal buruk lagi. Sehingga dari segi Fiqih strategis maka hal ini adalah bodoh karena jika harta tidak dikuasai orang shaleh, maka kembali kepada yang tidak shaleh sehingga potensinya digunakan untuk maksiat.

Para Ulama memang sering berbeda pendapat tentang hal ini dari dulu, tetapi jalan tengahnya adalah kita menerimanya sebagai penyitaan, lalu digunakan kepada hal yang baik yang tidak melanggar syariat, dan jangan dikonsumsi.

Jika kita ragu kalau ini adalah syubhat, maka jangan diterima apalagi diberi untuk keluarga. Tetapi jangan juga ditolak karena potensi untuk maksiat lagi. Sehingga bisa digaris bawahi adalah janganlah kita nafsu terhadap sesuatu hal apalagi hal tersebut adalah hal syubhat atau meragukan.

Wallahu A’lam.


Sumber: Tulisan ini merupakan catatan yang diolah dan dikembangkan dari pengajian Gus Baha. Tim redaksi bertanggungjawab sepenuhnya atas uraian dan narasi di dalam tulisan ini.

_______

Penulis: Athallah