Argumen Logis terkait Legalitas Syariat dalam Merayakan Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW

 
Argumen Logis terkait Legalitas Syariat dalam Merayakan Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Adalah Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki merupakan salah satu ulama kontemporer yang selalu menyuarakan tentang pentingnya merayakan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Dalam banyak kesempatan ceramah, beliau selalu menekankan akan hal itu. Tidak hanya secara lisan, beliau juga menulis kitab seputar peringatan Maulid Nabi. Kitab ini kemudian menjadi rujukan para ulama dalam menyampaikan argumen logis terkait legalitas syariat dalam merayakan peringatan Maulid Nabi.

Tidak lain kitab yang dimaksud tersebut adalah Haulal Ihtifal bi Dzikri Al-Maulid An-Nabawi As-Syarif. Di dalam kitab ini dipaparkan sejumlah argumen yang dapat menjawab banyak keraguan orang terkait legalitas syariat dalam merayakan peringatan Maulid Nabi.

Berikut ini sejumlah argumen yang ditulis oleh Sayyid Muhammad dalam Kitab Haulal Ihtifal bi Dzikri Al-Maulid An-Nabawi As-Syarif.

Argumen Pertama

Sesungguhnya perayaan peringatan Maulid Nabi SAW merupakan ekspresi atau ungkapan rasa bahagia dan senang kepada Nabi Al-Musthofa (nabi pilihan), dan bahwa kelahirannya membawa keberkahan dan manfaat yang besar, bahkan kepada orang kafir (Abu Lahab).

فَقَدْ جَاءَ فِي الْبُخَارِي أَنَّهُ يُخَفَّفُ عَنْ أَبِي لَهَبٍ كُلَّ يَوْمِ الْاِثْنَيْنِ بِسَبَبِ عِتْقِهِ لِثُوَيْبَةَ جَارِيَتُهُ لَمَّا بَشَّرَتْهُ بِوِلَادَةِ الْمُصْطَفَى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Dalam Kitab Al-Bukhari telah dijelaskan bahwa siksaan Abu Lahab diringankan setiap hari Senin sebab memerdekakan Tsuwaibah (budaknya) yang telah memberikan kabar gembira kepadanya atas kelahiran Al-Musthofa SAW.

وَيَقُوْلُ فِي ذَلِكَ الْحَافِظُ شَمْسُ الدِّيْنِ مُحَمَّدُ بْنُ نَاصِرُ الدِّيْنِ اَلدِّمَشْقِي،

إِذَا كَانَ هَذَا كَافِـرًا جَاءَ ذَمُّهُ * بِتَبَّتْ يَدَاهُ فِي الْجَحِيْمِ مُخَلَّدَا

أَتَى أَنَّهُ فِيْ يَوْمِ الْاِثْنَيْنِ دَائِمًا * يُخَفَّفُ عَنْهُ لِلسُّرُوْرِ بِأَحْمَدَا

فَمَا الظَّنُّ بِالْعَبْدِ الَّذِيْ طُوْلَ عُمُرِهِ * بِأَحْمَدَ مَسْرُوْرًا وَمَاتَ مُوَحِّدَا

Terkait dengan hal itu, Al-Hafidz Syamsuddin Muhammad bin Nasiruddin Ad-Dimasyqi berkata:

“Tatkala orang kafir ini (Abu Lahab), yang dicela * Dengan ‘binasa tangannya (jasadnya) di neraka jahim selamanya’”

“Pada hari senin selalu diringankan siksaannya * Sebab gembira dengan Nabi Ahmad (Muhammad SAW)”

“Maka bagaimana dengan seorang hamba yang sepanjang umurnya * Gembira dengan Nabi Ahmad dan mati dengan bertauhid.”

Argumen Kedua

اَلثَّانِي: أَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُعَظِّمُ يَوْمَ مَوْلِدِهِ، وَيَشْكُرُ اللهَ تَعَالَى فِيْهِ عَلَى نِعْمَتِهِ الْكُبْرَى عَلَيْهِ، وَتَفَضَّلَهُ عَلَيْهِ بِالْجُوْدِ لِهَذَا الْوُجُوْدِ، إِذْ سَعِدَ بِه كُلُّ مَوْجُوْدٍ، وَكَانَ يُعَبَّرُ عَنْ ذَلِكَ التَّعْظِيْمُ بِالصِّيَامِ كَمَا جَاءَ فِي الْحَدِيْثِ عَنْ أَبِيْ قَتَادَةَ، أَنَّ رَسُوْلَ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ الْإِثْنَيْنِ، فَقَالَ، فِيْهِ وُلِدْتُ وَفِيْهِ أُنْزِلَ عَلَيَّ، رواه الإمام مسلم في الصحيح في كتاب الصيام .

Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW memuliakan hari kelahirannya dan bersyukur kepada Allah di hari tersebut atas nikmat yang sangat besar dan keutamaan yang dianugerahkan oleh Allah kepadanya, sebab sayangnya Allah kepada makhluk, karena dengan perantara Nabi semua mahkluk bisa beruntung, dan Nabi mengungkapkan penghormatannya dengan berpuasa, sebagaimana diterangkan dalam Hadis dari Abi Qatadah, “Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah ditanya tentang puasa hari Senin. Maka Nabi Menjawab, “Pada hari tersebut saya dilahirkan dan pada hari itu pula Al-Qur’an diturunkan kepadaku,” HR. Imam Muslim dalam As-Shahih di Kitab As-Shiyam.

وَهَذَا فِي مَعْنَى الْاِحْتِفَالِ بِهِ، إِلَّا أَنَّ الصُّوْرَةَ مُخْتَلِفَةٌ وَلَكِنَّ الْمَعْنَى مَوْجُوْدٌ سَوَاءٌ كَانَ ذَلِكَ بِصِيَامٍ أَوْ إِطْعَامِ طَعَامٍ أَوْ إِجْتِمَاعٍ عَلَى ذِكْرٍ أَوْ صَلَاةٍ عَلَى النَّبِيِّ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ سِمَاعِ شَمَائِلِهِ الشَّرِيْفَةِ

Dan ini adalah bentuk perayaan atas kelahiran Nabi, hanya saja caranya berbeda, akan tetapi esensinya (intinya) sama, baik perayaan tersebut dengan berpuasa, memberi makan, berkumpul untuk berdzikir, membaca shalawat kepada Nabi atau mendengarkan kisah tentang akhlak mulia Nabi.

Argumen Ketiga

اَلثَّالِثُ: أَنَّ الْفَرَحَ بِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَطْلُوْبٌ بِأَمْرِالْقُرْآنِ مِنْ قَوْلِهِ تَعَالَى(قُلْ بِفَضْلِ اللهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوْا) فَاللهُ تَعَالَى أَمَرَنَا أَنْ نَفْرَحَ بِالرَّحْمَةِ، وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْظَمُ رَحْمَةٍ، قَالَ اللهُ تَعَالَى (وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ)

Sesungguhnya gembira kepada Nabi adalah tuntutan Al-Qur’an, yang berupa, “Katakanlah (Muhammad) dengan anugerah dan rahmat Allah, maka hendaklah mereka bergembira”. Maka Allah SWT memerintahkan kita agar gembira dengan datangnya rahmat, sedangkan Nabi Muhammad adalah rahmat Allah yang paling besar, Allah SWT berfirman, “Dan kami tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam”.

وَيُؤَيِّدُ هَذَا تَفْسِيْرُ حَبْرِ الْأُمَّةِ وَتَرْجُمَانِ الْقُرْآنِ اَلْإِمَامُ اِبْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، فَقَدْ رَوَى أَبُو الشَّيْخِ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا فِي الْآيَةِ قَالَ، فَضْلُ اللهِ اَلْعِلْمُ، وَرَحْمَتُهُ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. قَالَ اللهُ تَعَالَى، (وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ)

Dan hal ini dikuatkan oleh penjelasan Habru Al-Ummah (orang yang sangat Alim) dan penerjemah Al-Qur’an yaitu Imam Ibnu Abbas r.a, maka sesungguhnya Abu Syaikh telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a tentang ayat di atas, Ibnu Abbas berkata, “Anugerah Allah adalah ilmu, dan Rahmat-Nya adalah Nabi Muhammad SAW. Allah SWT berfirman, “Kami tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.”

فَالْفَرَحُ بِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَطْلُوْبٌ فِي كُلِّ وَقْتٍ وَفِي كُلِّ نِعْمَةٍ وَعِنْدَ كُلِّ فَضْلٍ وَلَكِنَّهُ يَتَأَكَّدُ فِي كُلِّ يَوْمِ الْإِثْنَيْنِ وَفِي كُلِّ شَهْرِ الرَّبِيْعِ لِقُوَّةِ الْمُنَاسَبَةِ وَمُلَاحَظَةِ الْوَقْتِ، وَمَعْلُوْمٌ أَنَّهُ لَا يَغْفُلُ عَنِ الْمُنَاسَبَةِ وَيُعْرَضُ عَنْهَا فِي وَقْتِهَا إِلَّا مُغَفِّلٌ أَحْمَقُ

Adapun bergembira dengan kelahiran Nabi Muhammad SAW adalah tuntutan di setiap waktu, di setiap mendapatkan nikmat dan anugerah, terlebih setiap hari Senin dan Bulan Rabiul Awal, karena merupakan waktu yang sangat sesuai dan tepat. Dan sudah maklum bahwa tidak akan lupa dan berpaling dari sesuatu yang layak diperhatikan (diperingati), kecuali orang lalai yang bodoh.

Argumen Keempat

اَلرَّابِعُ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُلَاحِظُ اِرْتِبَاطَ الزَّمَانِ بِالْحَوَادِثِ الدِّيْنِيَّةِ الْعُظْمَى الَّتِيْ مَضَتْ وَانْقَضَتْ، فَإِذَا جَاءَ الزَّمَانُ الَّذِيْ وَقَعَتْ فِيْهِ كَانَ فُرْصَةً لِتَذَكُّرِهَا، وَتَعْظِيْمِ يَوْمِهَا لِأَجْلِهَا وَلِأَنَّهُ ظُرُفٌ لَهَا

Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW memperingati berbagai peristiwa besar keagamaan yang sudah lampau disetiap tahun, jika datang suatu masa yang didalamnya terjadi berbagai peristiwa tersebut, maka saat itu dijadikan kesempatan (momentum) untuk mengenang dan memuliakan hari berbagai peristiwa itu, karena hari itu adalah saat terjadinya berbagai peristiwa tersebut.

وَقَدْ أَصَلَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذِهِ الْقَاعِدَةَ بِنَفْسِهِ كَمَا صَرَحَ فِي الْحَدِيْثِ الصَّحِيْحِ أَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا وَصَلَ إِلَى الْمَدِيْنَةِ وَرَأَى الْيَهُوْدَ يَصُوْمُوْنَ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ سَأَلَ عَنْ ذَلِكَ فَقِيْلَ لَهُ، إِنَّهُمْ يَصُوْمُوْنَ لِأَنَّ اللهَ نَجَّى نَبِيَّهُمْ وَأَغْرَقَ عَدُوَّهُمْ فَهُمْ يَصُوْمُوْنَ شُكْرا لِلَّهِ عَلَى هَذِهِ النِّعْمَةِ فَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، (نَحْنُ أَوْلَى بِمُوْسَى مِنْكُمْ) فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ .

Nabi Muhammad SAW mendasari sendiri kaidah ini sebagaimana dijelaskan dalam sebuah Hadis Shahih bahwa Nabi Muhammad SAW ketika sampai di Madinah beliau melihat orang Yahudi berpuasa pada Hari ‘Asyura. Kemudian Nabi menanyakan perihal puasa tersebut, lalu dijawab bahwa mereka berpuasa karena Allah telah menyelamatkan Nabi mereka dan menenggelamkan musuh mereka. Oleh sebab itu, mereka berpuasa sebagai rasa syukur kepada Allah atas nikmat tersebut. Setelah mendengar penjelasan tersebut, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Kita lebih pantas dan berhak mengenai Nabi Musa dibandingkan kalian,” kemudian Nabi Muhammad berpuasa dan memerintahkannya juga kepada para sahabat untuk berpuasa pada Hari ‘Asyura.

Argumen Kelima

اَلْخَامِسُ: أَنَّ الْمَوْلِدَ الشَّرِيْفَ يُبْعِثُ عَلىَ الصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ الْمَطْلُوْبَيْنِ بِقَوْلِهِ تَعَالَى (إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ يَآأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا)

Sesungguhnya (perayaan) maulid yang mulia bisa membangkitkan gairah untuk membaca shalawat dan salam sebagaimana diperintahkan oleh Allah dalam firman-Nya, “Sesungguhnya Allah dan para Malaikat-Nya bershalawat atas Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian semua kepadanya dan ucapkan salam penghormatan atas Nabi SAW.”

وَمَا كَانَ يُبْعِثُ عَلَى الْمَطْلُوْبِ شَرْعًا فَهُوَ مَطْلُوْبٌ شَرْعًا، فَكَمْ لِلصَّلَاةِ عَلَيْهِ مِنْ فَوَائِدَ نَبَوِيَّةٍ، وَإِمْدَادَاتٍ مُحَمَّدِيَّةٍ، يَسْجُدُ الْقَلَمُ فِى مِحْرَابِ الْبَيَانِ عَاجِزًا عَنْ تَعَدُّدِ آثَارِهَا وَمَظَاهِرِ أَنْوَارِهَا

Sesuatu yang dapat membangkitkan tuntutan menurut syariat, maka hal itu menjadi tuntutan menurut syariat pula. Betapa banyak faedah dan manfaat yang diperoleh sebab membaca shalawat kepada Nabi. Sementara itu, Al-Qolam (pena) bersujud di mihrab penjelasan, tidak mampu menghitung banyaknya dampak kebaikan dan berbagai pancaran cahayanya.

Argumen Keenam

اَلسَّادِسُ: إِنَّ الْمَوْلِدَ الشَّرِيْفَ يَشْتَمِلُ عَلَى ذِكْرِ مَوْلِدِهِ الشَّرِيْفِ وَمُعْجِزَاتِهِ وَسِيْرَتِهِ وَالتَّعْرِيْفِ بِهِ، أَوَلَسْنَا مَأْمُوْرِيْنَ بِمَعْرِفَتِهِ وَمُطَالِبِيْنَ بِالْإِقْتِدَاءِ بِهِ، وَالتَّأَسِّى بِأَعْمَالِهِ، وَالْإِيْمَانِ بِمُعْجِزَاتِهِ وَالتَّصْدِيْقِ بِآيَاتِهِ؟ وَكُتُبُ الْمَوْلِدِ تُؤَدِّي هَذَا الْمَعْنَى تَمَامًا

Sesungguhnya Maulid Nabi memuat tentang peringatan kelahiran Nabi, mukjizat, sejarah dan pemberitaannya. Tidakkah kita diperintahkan untuk mengenalnya, mengikuti jejak dan mencontoh amal perbuatannya, iman dengan semua mukjizat dan membenarkan semua ayat-ayatnya? Sedangkan kitab-kitab Maulid Nabi menjelaskan hal itu semua secara sempurna.

Argumen Ketujuh

اَلسَّابِعُ: اَلتَّعَرُّضُ لِمُكَافَأَتِهِ بِأَدَاءِ بَعْضِ مَا يَجِبُ لَهُ عَلَيْنَا بِبَيَانِ أَوْصَافِهِ الْكَامِلَةِ، وَأَخْلَاقِهِ الْفَاضِلَةِ، وَقَدْ كَانَ الشُّعَرَاءُ يَفِدُوْنَ إِلَيْهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْقَصَائِدِ وَيَرْضَى عَمَلَهُمْ وَيَجْزِيْهِمْ عَلَى ذَلِكَ باِلطَّيِّبَاتِ وَالصَّلَاةِ، فَإِذَا كَانَ يَرْضَى عَمَّنْ مَدَحَهُ، فَكَيْفَ لَايَرْضَى عَمَّنْ جَمَعَ شَمَائِلَهُ الشَّرِيْفَةَ، فَفِيْ ذَلِكَ التَّقَرُّبُ لَهُ عَلَيْهِ السَّلَامُ بِاسْتِجْلَابِ مَحَبَّتِهِ وَرِضَاهُ

Melaksanakan sebagian kewajiban kita kepada beliau secara terbuka untuk membalas jasa Nabi Muhammad SAW, yaitu dengan menjelaskan sifat-sifat sempurna dan akhlaknya yang mulia. Ada beberapa penyair menembangkan beberapa qasidah (pujian-pujian) kepada beliau dan beliau ridho akan hal itu, lalu membalas perbuatan mereka itu dengan beberapa kebaikan dan doa. Maka ketika Nabi ridho dengan orang yang memujinya, lalu bagaimana mungkin Nabi tidak ridho dengan orang yang mengumpulkan dan menjeaskan tabiat atau perangai-perangai mulia beliau? Karena itulah di dalam hal tersebut mengandung makna untuk bisa mendekat kepada Nabi SAW dengan mendatangkan cinta dan ridhonya.

Argumen Kedelapan

اَلثَّامِنُ: إِنَّ مَعْرِفَةَ شَمَائِلِهِ وَمُعْجِزَاتِهِ وَإِرْهَاصَاتِهِ تَسْتَدَّعِي كَمَالَ الْإِيْمَانِ بِهِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ، وَزِيَادَةَ الْمَحَبَّةِ إِذِ الْإِنْسَانُ مَطْبُوْعٌ عَلَى حُبِّ الْجَمِيْلِ، خَلْقًا وَخُلُقًا، عِلْمًا وَعَمَلًا، حَالًا وَاعْتِقَادًا، وَلَا أَجْمَلَ وَلَا أَكْمَلَ وَلَا أَفْضَلَ مِنْ أَخْلَاقِهِ وَشَمَائِلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَزِيَادَةُ الْمَحَبَّةِ وَكَمَالُ الْإِيْمَانِ مَطْلُوْبَانِ شَرْعًا فَمَا كَانَ يَسْتَدَّعِيْهِمَا فَهُوْ مَطْلُوْبٌ كَذَلِكَ

Sesungguhnya mengetahui karakter atau tabiat, mukjizat dan kebaikan-kebaikan Nabi bisa menyebabkan iman seseorang kepada Nabi lebih sempurna dan bertambahnya cinta kepada Nabi. Karena karakter atau tabiat manusia itu senangnya kepada yang bagus-bagus, baik dalam hal bentuk ciptaan dan akhlaknya, ilmu dan amalnya, keadaan dan keyakinannya. Dan tidak ada yang lebih bagus atau lebih sempurna dan lebih utama dari akhlak dan tabiat Nabi. Sedangkan bertambahnya cinta dan iman yang sempurna kepadanya adalah suatu tuntutan (anjuran) syariat. Karena itu, apapun yang bisa menyebabkan kedua hal tersebut terwujud, adalah juga merupakan tuntutan syariat.

Argumen Kesembilan

اَلتَّاسِعُ: إِنَّ تَعْظِيْمَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَشْرُوْعٌ، وَالْفَرَحُ بِيَوْمِ مِيْلَادِهِ الشَّرِيْفِ بِإِظْهَارِ السُّرُوْرِ وَصَنْعِ الْوَلَائِمِ وَالْاِجْتِمَاعِ لِلذِّكْرِ وَإِكْرَامِ الْفُقَرَاءِ مِنْ أَظْهَرِ مَظَاهِرِ التَّعْظِيْمِ وَالْاِبْتِهَاجِ وَالْفَرَحِ وَالشُّكْرِللهِ، بِمَا هَدَانَا لِدِيْنِهِ الْقَوِيْمِ، وَمَا مَنَّ بِهِ عَلَيْنَا مِنْ بَعْثِهِ عَلَيْهِ أَفْضَلُ الصَّلَاةِ وَالتَّسْلِيْمِ

Sesungguhnya mengagungkan atau memuliakan Nabi Muhammad SAW adalah di syariatkan, dan gembira dengan kelahiran Nabi dengan memperlihatkan kebahagiaan, mengadakan jamuan, berkumpul untuk berdzikir dan memuliakan orang-orang fakir adalah merupakan wujud paling nyata dalam mengagungkan, dalam bergembira dan bersuka cita serta bersyukur kepada Allah atas hidayah beragama yang lurus dan atas anugerah di utusnya Nabi Muhammad SAW kepada kita.

Argumen Kesepuluh

اَلْعَاشِرُ: يُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي فَضْلِ يَوْمِ الْجُمْعَةِ، وَعَدَّ مَزَايَاهُ، (وَفِيْهِ خُلِقَ آدَمُ) تَشْرِيْفُ الزَّمَانِ الَّذِيْ ثَبَتَ أَنَّهُ مِيْلَادٌ لِأَيِّ نَبِيٍّ كَانَ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ عَلَيْهِمُ السَّلَامُ، فَكَيْفَ بِالْيَوْمِ الَّذِيْ وُلِدَ فِيْهِ أَفْضَلُ النَّبِيِّيْنَ وَأَشْرَفُ الْمُرْسَلِيْنَ؟

Memuliakan hari kelahiran dimana pada hari itu para Nabi dilahirkan, itu berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW tentang keutamaan dan keistimewaan hari Jum’at: “Dan di hari tersebut Nabi Adam diciptakan”, Lalu bagaimana dengan hari kelahiran Nabi yang paling utama dan Rasul yang paling mulia?

وَلَا يُخْتَصُّ هَذَا التَّعْظِيْمُ بِذَلِكَ الْيَوْمِ بِعَيْنِهِ بَلْ يَكُوْنُ لَهُ خُصُوْصًا وَلِنَوْعِهِ ِعُمُوْمًا مَهْمَا تَكَرَّرَ كَمَا هُوَ الْحَالُ فِي يَوْمِ الْجُمْعَةِ، شُكْرًا لِلنِّعْمَةِ، وَإِظْهَارًا لِمَزِيَّةِ النُّبُوَّةِ، وَإِحْيَاءً لِلْحَوَادِثِ التَّارِيْخِيَّةِ الْخَطِيْرَةِ ذَاتِ الْإِصْلَاحِ الْمُهِمِّ فِي تَارِيْخِ الْإِنْسَانِيَّةِ وَجَبْهَةِ الدَّهْرِ وَصَحِيْفَةِ الْخُلُوْدِ كَمَا يُؤْخَذُ تَعْظِيْمُ الْمَكَانِ الَّذِيْ وُلِدَ فِيْهِ نَبِيٌّ مِنْ أَمْرِ جِبْرِيْلَ عَلَيْهِ السَّلَامُ اَلنَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِصَلَاةِ رَكْعَتَيْنِ بِبَيْتِ لَحْمٍ، ثُمَّ قَالَ لَهُ: أَتَدْرِيْ أَيْنَ صَلَّيْتَ؟ قَالَ، لَا، صَلَّيْتَ بِبَيْتِ لَحْمٍ، حَيْثُ وُلِدَ عِيْسَى، كَمَا جَاءَ ذَلِكَ فِي حَدِيْثِ شداد بن أوس الذي رواه البزار وأبو يعلى والطبراني ، قال الحافظ الهيثمي في مجمع الزوائد : ورجاله رجال الصحيح ج ١ ص ٤٧ ، وقد نقل هذه الرواية الحافظ ابن حجر في الفتح ج ٧7 ص 199 وسكت عنها .

Dan mengagungkan ini tidak tertentu pada hari senin 12 Rabiul Awal, hanya saja pada hari itu bersifat khusus dan untuk Senin yang lain bersifat umum sewaktu berulang kembali, seperti halnya hari Jumat, sebagai ungkapan syukur atas nikmat Allah, memperlihatkan keistimewaan kenabiaan, menghidupkan sejarah-sejarah penting yang mempunyai nilai khazanah yang tinggi dalam sejarah manusia, pra sejarah dan simbol keabadian. Hal ini sebagaimana perintah Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW untuk mengagungkan tempat kelahiran Nabi Isa AS (Bait Lahm) dengan melakukan shalat dua rakaat, kemudian Malaikat Jibril bertanya kepada Nabi, “Taukah dimana anda shalat, Ya Rasulallah? Beliau menjawab, “tidak”, “Anda shalat di Bait Lahm tempat Nabi Isa dilahirkan,” jawab Malaikat Jibril, seperti diterangkan dalam Hadis Syaddad bin Aus yang diriwayatkan oleh Al-Bazzar, Abu Ya’la dan At-Thabrani. Al-Hafidz Al-Haitsami berkata dalam Majmak Az-Zawaid, Jilid 1 hlm. 47, bahwa para rowinya adalah termasuk dalam golong perawi Hadis Shohih dan riwayat ini di nukil pula oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar di dalam Al-Fath, Jilid 7 hlm. 199, dan beliau tidak berkomentar tentang riwayat tersebut.

Argumen Kesebelas

اَلْحَادِيَ عَشَرَ: أَنَّ الْمَوْلِدَ أَمْرٌ اِسْتحْسَنَهُ الْعُلَمَاءُ وَالْمُسْلِمُوْنَ فِي جَمِيْعِ الْبِلَادِ، وَجَرَى بِهِ الْعَمَلُ فِي كُلِّ صُقَعٍ فَهُوَ مَطْلُوْبٌ شَرْعًا لِلْقَاعِدَةِ الْمَأْخُوْذَةِ مِنْ حَدِيْثِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ الْمَوْقُوْفِ (مَا رَآهُ الْمُسْلِمُوْنَ حَسَناً فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ، وَمَا رَآهُ الْمُسْلِمُوْنَ قَبِيْحًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ قَبِيْحٌ) أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ

Sesungguhnya perayaan Maulid Nabi adalah hal yang dianggap bagus oleh para ulama dan umat Islam di seluruh Negeri dan dilaksanakan di seluruh daerah, karena memang ada tuntutan syariat berdasarkan kaidah yang diambil dari Hadis Ibnu Mas’ud, meski status Hadisnya mauquf, “Sesuatu yang diyakini baik oleh orang Islam, maka baik pula di sisi Allah, dan sesuatu yang diyakini buruk oleh orang Islam, maka buruk pula di sisi Allah.”

Argumen Kedua belas

اَلثَّانِي عَشَرَ: أَنَّ الْمَوْلِدَ اِشْتَمَلَ عَلَى اِجْتِمَاعٍ وَذِكْرٍ وَصَدَقَةٍ وَمَدْحٍ وَتَعْظِيْمٍ لِلْجَنَابِ النَّبَوِيِّ فَهُوَسُنَّةٌ، وَهَذِهِ أُمُوْرٌ مَطْلُوْبَةٌ شَرْعًا وَمَمْدُوْحَةً، وَقَدْ جَاءَتِ الْآثَارُ الصَّحِيْحَةُ بِهَا وَبِالْحَثِّ عَلَيْهَا

Sesungguhnya perayaan kelahiran Nabi itu terdiri atas perkumpulan, dzikir, sedekah, pujian dan memuliakan Nabi yang semuanya adalah sunnah dan merupakan tuntutan syariat serta pekerjaan terpuji, karena sesungguhnya ada banyak dampak kebaikan terkait hal tersebut dan terkait anjuran untuk melaksanakannya.

Argumen Ketiga belas

اَلثَّالِثَ عَشَرَ: أَنَّ اللهَ تَعَالَى قَالَ (وَكُلًّا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ) فَهَذَا يَظْهَرُ مِنْهُ أَنَّ الْحِكْمَةَ فِي قَصِّ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ عَلَيْهِمُ السَّلَامُ تَثْبِيْتُ فُؤَادِهِ الشَّرِيْفِ بِذَلِكَ وَلَا شَكَّ أَنَّنَا الْيَوْمَ نَحْتَاجُ إِلَى تَثْبِيْتِ أَفْئِدَتِنَا بِأَنْبَائِهِ وَأَخْبَارِهِ أَشَدَّ مِنْ احْتِيَاجِهِ هُوَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ

Sesungguhnya Allah SWT berfirman, “Dan semuanya (semua yang dibutuhkan) kami ceritakan kepadamu, dari kisah-kisah para Rasul sesuatu, yang dengan hal itu kami mantapkan hatimu (Muhammad).” Maka, dari ayat ini sudah jelas sekali bahwa hikmah menceritakan kisah-kisah para utusan dapat memantapkan hati beliau yang mulia. Karenanya, tidak ragu lagi bahwa sesungguhnya kita saat ini butuh untuk memantapkan hati kita dengan kisah-kisah Nabi melebihi butuhnya Nabi Muhammad SAW akan hal itu.

Argumen Keempat belas

اَلرَّابِعَ عَشَرَ: لَيْسَ كُلُّ مَا لَمْ يَفْعَلْهُ السَّلَفُ وَلَمْ يَكُنْ فِي الصَّدْرِ الْأَوَّلِ فَهُوَ بِدْعَةٌ مُنْكَرَةٌ سَيِّئَةٌ يُحْرَمُ فِعْلُهَا وَيَجِبُ الْإِنْكَارُعَلَيْهَا، بَلْ يَجِبُ أَنْ يُعْرَضَ مَا أَحْدَثَ عَلَى أَدِلَّةِ الشَّرْعِ فَمَا اِشْتَمَلَ عَلَى مَصْلَحَةٍ فَهُوَ وَاجِبٌ، أَوْعَلَى مُحَرَّمٍ فَهُوَ مُحَرَّمٌ، أَوْعَلَى مَكْرُوْهٍ فَهُوَ مَكْرُوْهٌ، أَوْ عَلَى مُبَاحٍ فَهُوَ مُبَاحٌ، أَوْعَلَى مَنْدُوْبٍ فَهُوَ مَنْدُوْبٌ، وَلِلْوَسَائِلِ حُكْمُ الْمَقَاصِدِ، ثُمَّ قَسَّمَ الْعُلَمَاءُ الْبِدْعَةَ إِلَى خَمْسَةِ أَقْسَامٍ

Tidaklah semua perkara yang tidak dikerjakan oleh orang terdahulu dan tidak ada di awal masa adalah bid’ah yang tidak dibenarkan (bid’ah munkarot), jelek, haram dikerjakan dan wajib diingkari, bahkan wajib difilter dengan dalil-dali syariat. Maka perlu dipahami bahwa perkara yang mengandung kemaslahatan adalah wajib, yang mengandung sesuatu yang diharamkan adalah haram, yang mengandung makruh adalah makruh, yang mengandung mubah adalah mubah, yang mengandung sesuatu yang disunnahkan adalah sunnah, dan hukum perantara (media) sama seperti tujuan. Kemudian para ulama mengklasifikasikan bid’ah menjadi lima macam berikut ini:

وَاجِبَةٌ: كَالرَّدِّ عَلَى أَهْلِ الزَّيْغِ وَتَعَلُّمِ النَّحْوِ

وَمَنْدُوْبَةٌ: كَإِحْدَاثِ الرِّبَطِ وَالْمَدَارِسِ، وَالْأَذَانِ عَلَى الْمَنَائِرِ وَصَنْعِ إِحْسَانٍ لَمْ يُعْهَدْ فِي الصَّدْرِ الْأَوَّلِ

وَمَكْرُوْهٌ: كَزُخْرُفَةِ الْمَسَاجِدِ وَتَزْوِيْقِ الْمَصَاحِفِ

وَمُبَاحَةٌ: كَاسْتِعْمَال الْمِنْخَلِّ، وَالتَّوَسُّعِ فِي الْمَأْكَلِ وَالْمَشْرَبِ

وَمُحَرَّمَةٌ: وَهِيَ مَا أَحْدَثَ لِمُخَالَفَةِ السُّنَّةِ وَلَمْ تَشْمُلْهُ أَدِلَّةُ الشَّرْعِ الْعَامَّةُ وَلَمْ يَحْتَوِ عَلَى مَصْلَحَةٍ شَرْعِيَّةٍ

Wajib: Seperti menolak orang yang menyimpang dan belajar ilmu nahwu.

Sunnah: Seperti mendirikan pondok pesantren dan madrasah, adzan di atas menara, berbuat baik yang tidak dikenal di masa awal.

Makruh: Seperti menghiasi masjid dan memperindah Al-Qur’an.

Mubah: Seperti menggunakan ayakan tepung, melebihkan makan dan minum.

Haram: Segala sesuatu yang baru yang tidak sesuai dengan As-Sunnah, tidak dimuat oleh dalil-dalil umum syariat dan tidak mengandung maslahah secara syariat.

Argumen Kelima belas

اَلْخَامِسَ عَشَرَ: فَلَيْسَتْ كُلُّ بِدْعَةٍ مُحَرَّمَةٌ، وَلَوْ كَانَ الْأَمْرُ كَذَلِكَ لَحَرُمَ جَمْعُ أَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ وَزْيَدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمُ الْقُرْآنَ وَكَتْبِهِ فِي الْمَصَاحِفِ خَوْفًا عَلَى ضِيَاعِهِ بِمَوْتِ الصَّحَابَةِ الْقُرَّاءِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ، وَلَحَرُمَ جَمْعُ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ النَّاسَ عَلَى إِمَامٍ وَاحِدٍ فِي صَلَاةِ الْقِيَامِ مَعَ قَوْلِهِ، (نِعْمَتُ الْبِدْعَةِ هَذِهِ) وَلَحَرُمَ التَّصْنِيْفُ فِي جَمِيْعِ الْعُلُوْمِ النَّافِعَةِ، وَلَوَجَبَ عَلَيْنَا حَرْبُ الْكُفَّارِ بِالسِّهَامِ وَالْأَقْوَاسِ مَعَ حَرْبِهِمْ لَنَا بِالرَّصَاصِ وَالْمَدَافِعِ وَالدَّبَّابَاتِ وَالطَّيَّارَاتِ وَالْغَوَّاصَاتِ وَالْأَسَاطِيْلِ، وَلَحَرُمَ الْأَذَانُ عَلَى الْمَنَائِرِ وَاتِّخَاذُ الرِّبَطِ وَالْمَدَارِسِ وَالْمُسْتَشْفِيَاتِ وَالْإِسْعَافِ وَدَوْرِ الْيَتَامَى وَالسُّجُوْنِ.

فَمِنْ ثَمَّ قَيَّدَ الْعُلَمَاءُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ حَدِيْثُ (كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ) بِالْبِدْعَةِ السَّيِّئَةِ، وَيُصَرِّحُ بِهَذَا الْقَيِّدِ مَا وَقَعَ مِنْ أَكَابِرِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ مِنَ الْمُحْدَثَاتِ الَّتِيْ لَمْ تَكُنْ فِي زَمَنِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَنَحْنُ الْيَوْمَ قَدْ أَحْدَثْنَا مَسَائِلُ كَثِيْرَةٌ لَمْ يَفْعَلْهَا السَّلَفُ وَذَلِكَ كَجَمْعِ النَّاسِ عَلَى إِمَامٍ وَاحِدٍ فِي آخِرِ اللَّيْلِ لِأَدَاءِ صَلَاةِ التَّهَجُّدِ بَعْدَ صَلَاةِ التَّرَاوِيْحِ، وَكَخَتْمِ الْمُصْحَفِ فِيْهَا وَكَقِرَاءَةِ دُعَاءِ خَتْمِ الْقُرْآنِ وَكَخُطْبَةِ الْإِمَامِ لَيْلَةَ سَبْعٍ وَعِشْرِيْنَ فِي صَلَاةِ التَّهَجُّدِ وَكَنِدَاءِ الْمُنَادِيْ بِقَوْلِهِ (صَلَاةُ الْقِيَامِ أَثَابَكُمُ اللهُ) فَكُلُّ هَذَا لَمْ يَفْعَلْهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا أَحَدَ مِنَ السَّلَفِ، فَهَلْ يَكُوْنُ فِعْلُنَا لَهُ بِدْعَةٌ؟

Tidak semua bid’ah diharamkan. Jika seandainya memang diharamkan, maka niscaya pengumpulan dan penulisan Al-Qur’an ke dalam mushaf oleh sahabat Abu Bakar, Umar dan Zaid r.hum, karena khawatir terabaikan sebab wafatnya para sahabat yang pandai membaca (hafal) Al-Qur’an adalah haram. Begitu pula yang dilakukan oleh Umar dalam mengumpulkan jamaah dengan satu Imam dalam shalat malam tentu diharamkan, padahal beliau berkata mengenai yang dilakukannya itu, “Sebaik-baiknya bid’ah adalah hal ini.” Selain itu, tentu jika bid’ah dipaksakan semuanya haram, maka penyusunan dalam semua disiplin ilmu yang bermanfaat adalah haram, dan wajib bagi kita memerangi orang kafir dengan anak panah dan busur, padahal mereka memerangi kita dengan peluru, meriam, tank baja, kapal terbang, kapal selam dan armada (laut dan udara), dan niscaya haram pula adzan di atas menara, membuat pondok, madrasah (sekolah), rumah sakit, ambulan, panti asuhan dan penjara.

Oleh sebab itu, Ulama membatasi Hadis كل بدعة ضلالة dengan bid’ah sayyi’ah, dan batasan ini diperjelas dengan beberapa peristiwa (hal baru) yang terjadi dari para pembesar sahabat dan tabi’in (generasi setelah sahabat) yang tidak ada pada zaman Nabi Muhammad SAW, sementara kita, sekarang ini melakukan banyak hal yang tidak pernah dilakukan oleh orang-orang terdahulu seperti berjamaah pada satu imam di akhir malam untuk melaksanakan shalat Tahajjud setelah shalat Tarawih, menghatamkan Al-Qur’an dalam shalat Tahajjud, membaca doa Khotmil Qur’an, khotbah Imam pada malam kedua puluh tujuh dalam shalat Tahajjud dan Nida’ (panggilan shalat sunnah) dengan ucapan صلاة القيام اثابكم الله semua itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dan orang-orang terdahulu. Tapi apakah semua perbuatan kita itu dinilai bid’ah?

Argumen Keenam belas

اَلسَّادِسَ عَشَرَ: فَالْاِحْتِفَالُ بِالْمَوْلِدِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي عَهْدِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهُوَ بِدْعَةٌ، وَلَكِنَّهَا حَسَنَةٌ لِانْدِرَاجِهَا تَحْتَ الْأَدِلَّةِ الشَّرْعِيَّةِ، وَالْقَوَاعِدِ الْكُلِّيَّةِ، فَهِيَ بِدْعَةٌ بِاعْتِبَارِهَيْئَتِهَا الْاِجْتِمَاعِيَّةِ لَا بِاعْتِبَارِ أَفْرَادِهَا لِوُجُوْدِ أَفْرَادِهَا فِي الْعَهْدِ النَّبَوِيِّ، عُلِمَ ذَلِكَ فِي الدَّلِيْلِ الثَّانِيَ عَشَرَ

Perayaan Maulid Nabi meskipun tidak terjadi pada zaman Rasulullah SAW itu memang dinamakan bid’ah. Akan tetapi tergolong dalam bid’ah hasanah, karena masih sesuai dengan dalil syar’i dan kaidah-kaidah umum. Perayaan Maulid Nabi termasuk bid’ah jika dipandang dari bentuknya secara umum, dan tidak termasuk bid’ah jika dipandang dari segi satuannya, karena terdapat pada zaman Rasulullah, hal tersebut bisa diketahui pada dalil kedua belas.

Argumen Ketujuh belas

اَلسَّابِعَ عَشَرَ: وَكُلُّ مَا لَمْ يَكُنْ فِي الصَّدْرِ الْأَوَّلِ بِهَيْئَتِهِ الْاِجْتِمَاعِيَّةِ لَكِنَّ أَفْرَادَهُ مَوْجُوْدَةٌ يَكُوْنُ مَطْلُوْباً شَرْعًا، لِأَنَّ مَا تَرَكَّبَ مِنَ الْمَشْرُوْعِ فَهُوَ مَشْرُوْعٌ كَمَا لَا يَخْفَى

Segala sesuatu yang tidak terdapat pada kurun waktu pertama dengan bentuk secara umum, tetapi terdapat dalam bentuk satuannya, maka hal ini dianjurkan dalam syariat, karena sesuatu yang tersusun dari yang disyariatkan, maka juga disyariatkan seperti yang kita ketahui.

Argumen Kedelapan belas

اَلثَّامِنَ عَشَرَ: قَالَ الْإِمَامُ اَلشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، مَا أَحْدَثَ وَخَالَفَ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعًا أَوْ أَثَرًا فَهُوَ اَلْبِدْعَةُ الضَّالَّةُ، وَمَا أَحْدَثَ مِنَ الْخَيْرِ وَلَمْ يُخَالِفْ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ الْمَحْمُوْدُ

Imam Syafi’i r.a berkata, “Perkara baru yang bertentangan dengan Al-Qur’an, Hadis, Ijma’ ataupun Atsar, adalah bid’ah yang sesat (menyesatkan), sedangkan perkara baru yang baik dan tidak bertentangan dengan salah satunya, maka termasuk hal yang terpuji.”

وَجَرَى الْإِمَامُ الْعِزُّ بْنُ عَبْدِ السَّلَامِ وَالنَّوَوِيُّ كَذَالِكَ وَابْنُ الْأَثِيْرِ عَلَى تَقْسِيْمِ الْبِدْعَةِ إِلَى مَا أَشَرْنَا إِلَيْهِ سَابِقًا

Imam Izzuddin bin Abdussalam, Imam An-Nawawi dan Ibnu Al-Atsir mengklasifikasikan (membagi) bid’ah menjadi lima bagian seperti yang telah kami sebutkan di atas.

Argumen Kesembilan belas

اَلتَّاسِعَ عَشَرَ: فُكُلُّ خَيْرٍ تَشْمُلُهُ الْأَدِلَّةُ الشَّرْعِيَّةُ وَلَمْ يَقْصِدْ بِإِحْدَاثِهِ مُخَالَفَةَ الشَّرِيْعَةِ وَلَمْ يَشْتَمِلْ عَلَى مُنْكَرٍ فَهُوَ مِنَ الدِّيْنِ

Segala kebaikan yang terkandung dalam dalil-dalil syariat, yang diadakan tidak bertujuan menentang syariat serta tidak mengandung kemungkaran, maka hal itu termasuk bagian dari agama.

وَقَوْلُ الْمُتَعَصِّبِ، "إِنَّ هَذَا لَمْ يَفْعَلْهُ السَّلَفُ" لَيْسَ هُوَ دَلِيْلاً لَهُ بَلْ هُوَ عَدَمُ دَلِيْلٍ كَمَا لَا يَخْفَى عَلَى مَنْ مَارَسَ عِلْمَ الْأُصُوْلِ، فَقَدْ سَمَّى الشَّارِعُ بِدْعَةَ الْهُدَى سُنَّةً وَوُعِدَ فَاعِلُهَا أَجْرًا فَقَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ، (مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ)

Adapun pernyataan orang yang fanatik (penentang Maulid Nabi), “Sesungguhnya perayaan ini belum pernah dilaksanakan oleh orang-orang terdahulu,” itu bukanlah sebuah dalil bahkan hal itu menunjukkan bahwa mereka tidak punya dalil, sebagaimana yang sudah maklum di kalangan orang yang menekuni ilmu ushul. Karena sesungguhnya pembawa syariat (Nabi Muhammad SAW) menyebut Bid’ah Al-Huda dengan sunnah (perbuatan baik) dan menjanjikan pahala bagi pelakunya. Nabi bersabda, “Barang siapa melakukan kebaikan dalam Islam lalu diamalkan orang-orang setelahnya, maka orang itu mendapat pahala seperti pahala orang yang mengamalkannya dan tanpa dikurangi sedikitpun.”

Argumen Kedua puluh

اَلْعِشْرُوْنَ: أَنَّ الْاِحْتِفَالِ بِالْمَوْلِدِ إِحْيَاءٌ لِذِكْرَى الْمُصْطَفَى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَذَلِكَ مَشْرُوْعٌ عِنْدَنَا فِي الْإِسْلَامِ، فَأَنْتَ تَرى أَنَّ أَكْثَرَ أَعْمَالِ الْحَجِّ إِنَّمَا هِيَ إِحْيَاءٌ لِذِكْرَيَاتٍ مَشْهُوْدَةٍ وَمَوَاقِفَ مَحْمُوْدَةٍ فَالسَّعْيُ بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ وَرَمْيِ الْجِمَارِ وَالذَّبْحِ بِمِنَى كُلِّهَا حَوَادِثُ مَاضِيَّةٌ سَابِقَةٌ، يُحْيِي الْمُسْلِمُوْنَ ذِكْرَاهَا بِتَجْدِيْدِ صُوَرِهَا فِي الْوَاقِعِ وَالدَّلِيْلُ عَلَى ذَلِكَ قَوْلُهُ تَعَالَى، (وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ ) وَقَوْلُهُ تَعَالَى حِكَايَةً عَنْ إِبْرَاهِيْمَ وَإِسْمَاعِيْلَ عَلَيْهِمَا السَّلَامُ (وَأَرِنَا مَنَاسِكَنَا)

Sesungguhnya perayaan Maulid Nabi adalah pelestarian terhadap peringatan Nabi besar Muhammad SAW yang disyariatkan menurut kita di dalam islam, maka Anda telah melihat bahwa sesungguhnya kebanyakan amalan Haji itu merupakan pelestarian peringatan-peringatan dan tempat perkumpulan yang terpuji. Pelaksanaan sa’i (lari-lari kecil) antara Bukit Shofa dan Bukit Marwa, melontar jumrah dan menyembelih hewan kurban di Mina, itu semua adalah peristiwa-peristiwa masa lalu yang di lestarikan kembali (diperingati) oleh orang Islam dengan memperbaharui bentuk pelaksanaannya, sedangkan dalilnya adalah firman Allah SWT, "وأذن فى الناس بالحج" dan firman Allah SWT yang menceritakan tentang Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Ismail a.s, " وأرنا مناسكنا ".

Argumen Kedua puluh satu

اَلْحَادِيَ وَالْعِشْرُوْنَ: كُلُّ مَا ذَكَرْنَاهُ سَابِقًا مِنَ الْوُجُوْهِ فِي مَشْرُوْعِيَّةِ اِحْتِفَالَاتِ الْمَوْلِدِ الشَّرِيْفِ إِنَّمَا هُوَ اِحْتِفَالَاتُهُ الَّتِيْ خَلَّتْ مِنَ الْمُنْكَرَاتِ الْمَذْمُوْمَةِ الَّتِيْ يَجِبُ الْإِنْكَارُ عَلَيْهَا، أَمَّا إِذَا اشْتَمَلَ الْمَوْلِدُ عَلَى شَيْئٍ مِمَّا يَجِبُ الْإِنْكَارُ عَلَيْهِ كَاِخْتِلَاطِ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ وَارْتِكَابِ الْمُحَرَّمَاتِ وَكَثْرَةِ الْإِسْرَافِ مِمَّا لَا يَرْضَى بِهِ صَاحِبُ الْمَوْلِدِ الشَّرِيْفِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهَذَا لَاشَكَّ فِي تَحْرِيْمِهِ وَمَنْعِهِ لِمَا اشْتُمِلَ عَلَيْهِ مِنَ الْمُحَرَّمَاتِ لَكِنَّ تَحْرِيْمَهُ حِيْنَئِذٍ يَكُوْنُ عَارِضِيًّا لَا ذَاِتيًّا كَمَا لَايَخْفَى عَلَى مَنْ تَأَمَّلَ ذَلِكَ.

Semua yang telah kami sebutkan di atas tentang legalitas (syariat) perayaan-perayaan Maulid Nabi itu hanya perayaan-perayaan yang tidak ada unsur kemungkaran-kemungkaran yang tercela dan wajib diingkari. Adapun perayaan-perayaan Maulid Nabi yang mengandung sesuatu yang wajib diingkari seperti bercampurnya laki-laki dan perempuan, melakukan hal-hal yang diharamkan dan terlalu berlebihan mengenai sesuatu yang tidak diridhoi oleh Shahibul Maulid (Nabi Muhammad SAW), maka ini tidak diragukan lagi keharaman serta terlarangnya, karena mengandung sesuatu yang diharamkan. Akan tetapi dalam hal ini keharamannya bersifat ‘Aridliy (eksternal) bukan bersifat Dzatiyah (internal). Seperti keterangan yang sudah jelas bagi orang yang berpikir tentang hal ini.

Cukup kiranya dua puluh satu argumen yang ditulis oleh Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki di atas sebagai dasar legalitas syariat dalam merayakan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Karena itu, tidak perlu ragu lagi dalam hal ini, meski masih ada juga yang memandangnya sinis.

Semoga bermanfaat. []


Editor: Hakim