Cara Gus Dur Meredam Ekspresi Cinta yang Berlebihan dari Para Pecintanya

 
Cara Gus Dur Meredam Ekspresi Cinta yang Berlebihan dari Para Pecintanya
Sumber Gambar: Istimewa, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Kekerasan sosial yang terjadi di daerah Situbondo lebih banyak dipengaruhi oleh pandangan masyarakat terhadap panutannya.  Sebagai daerah yang berkultur Madur, masyarakat Situbondo masih kental dengan corak kehidupan yang mengagungkan seorang tokoh kyai.

Bagi masyarakat Situbondo, kyai merupakan simbol kepemimpinan yang sangat mereka hormati. Dalam  konsep kehidupan masyarakat yang berkultur  Madura, kyai merupakan bagian dari harga diri masyarakat. Pandangan ini tersirat dalam semboyan masyarakat, beppak, bebbuk, guru, ratoh (bapak, ibu, guru, penguasa). Artinya kyai merupakan guru panutan masyarakat yang paling dihormati. Melecehkan kyai sama artinya dengan melecehkan harga diri mereka. Hal inilah yang menjadi pemicu utama bagi munculnya gerakan protes masyarakat Situbondo.

Perseteruan KH. Abdurrahman Wahid dengan DPR/MPR yang dimulai dengan kebijakan-kebijakan presiden yang dinilai sangat kontroversial dan dilanjutkan dengan tuduhan adanya kasus dugaan korupsi yang melibatkan presiden, dianggap masyarakat Situbondo sebagai bentuk pelecehan terhadap simbol kepemimpinan yang mereka hormati.

KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, bagi pandangan masyarakat Situbondo tidak saja dianggap sebagai presiden, tetapi juga sebagai kyai  yang menjadi panutannya. Hal ini ditambah lagi dengan upaya pendongkelan dari kursi kepresidenan melalui keputusan Sidang Istimewa yang diprakarsai oleh ketua DPR/MPR, Akbar Tanjung/Amien Rais, yang kemudian secara tidak langsung hal ini dianggap masyarakat Situbondo sebagai bentuk pelecehan terhadap simbol kekyaian yang mereka hormati.

Berdasarkan hal tersebut ada korelasi antara perseteruan KH. Abdurrahman Wahid melawan DPR/MPR dengan gerakan protes masyarakat Situbondo, di mana masyarakat memaknai gerakan mereka sebagai bentuk pembelaan akan harga diri mereka atas pelecehan terhadap guru (kyai) yang menjadi panutannya.

Berdasarkan atas konsep pembelaan terhadap harga diri ini masyarakat bergerak menunjukkan kekecewaan terhadap orang-orang yang dianggap sebagai pemicu pelecehan. Oleh  karena orang-orang yang dianggap pemicu pelecehan simbol kepemimpinan mereka jauh dari jangkauan mereka, maka masyarakat mengalihkan  sasaran kekecewaanya terhadap lembaga atau sarana dan prasarana yang dianggap sebagai representasi dari orang-orang yang melecehkan.

Gerakan protes masyarakat Situbondo ini dimulai dengan penggalangan massa dan mengirimkan ke Surabaya untuk berpartisipasi dalam menuntut pembubaran panitia khusus Bulogate dan Bruneigate yang dinilai melecehkan integritas kekyaian Gus Dur. Demonstrasi ini berlangsung  hingga terjadi insiden pembakaran gedung DPC Golkar di Surabaya oleh massa demonstran.

Pasca terjadinya insiden pembakaran gedung DPC Golkar suhu politik di pusat semakin memuncak dan pihak Golkar yang diwakili ketua DPR Akbar Tanjung menuntut KH. Abdurrahman Wahid untuk bertangung jawab.

Perseteruan semakin melebar hingga muncul memorandum I dan II. Hal ini semakin memperkuat kejengkelan massa di Situbondo atas arogansi ketua DPR, Akbar Tanjung. Sikap ini kemudian memicu gerakan “tumpas kelor” yaitu menumpas habis partai Golkar yang dianggap sebagai representasi dari rezim Orde Baru.

Gerakan ini kemudian menyebar  ke wilayah-wilayah lain di Jawa Timur. Kejengkelan masyarakat Situbondo semakin memuncak ketika mendengar isu adanya  Sidang Istimewa yang mengarah pada pemakzulan atau pelengseran KH. Abdurrahman Wahid dari kursi kepresidenan.

Mereka menilai Sidang Istimewa sebagai bentuk pengkhianatan ketua MPR, Amien Rais, terhadap janji yang diberikan kepada para kyai. Massa kembali bergejolak dengan semakin santernya isu Sidang Istimewa yang ingin mendongkel KH. Abdurrahman Wahid dari kursi kepresidenan.

Masyarakat akhirnya berkumpul di Ponpes Salafiyah Syafi’iyah dan menggelar tanda tangan di atas kain panjang sebagai bentuk penolakan terhadap Sidang Istimewa dan kemudian tanda tangan tersebut dipajang di pinggir jalan raya Pantai Utara.

Tidak puas dengan itu massa kemudian menumpahkan kejengkelannya dengan memotong pohon-pohon di pinggir jalan dan memutuskan jalur yang menghubungkan Surabaya- Banyuwangi. Gerakan ini secara massif diikuti oleh masyarakat nahdliyin tapal kuda, khususnya di Situbondo dan Banyuwangi yang marah karena isu pemakzulan Gus Dur dari hasil Sidang Istimewa DPR/MPR.

Akibat gerakan penebasan pohon di pinggiran jalan, maka jalur darat pantai utara terputus dengan daerah-daerah lain selama berhari-hari. Hal ini mengakibatkan perekonomian di daerah sekitar jalur pantai utara mengalami kelumpuhan. Tidak cukup di situ, maka sebagai bentuk kejengkelan, massa pengikut fanatik dan pecinta Gus Dur, mereka mengamuk dan menghancurkan gedung-gedung serta institusi milik Muhammadiyah yang menjadi representasi dari tokoh Amin Rais, yang merupakan tokoh di balik usaha dalam pemakzulan Gus Dur sebagai presiden.

Peristiwa tersebut terjadi terus menerus dan membuat para aparat kesulitan dalam menanganinya. Sebab Situbondo, Banyuwangi dan daerah-daerah tapal kuda merupakan wilayah yang menjadi daerah basis kaum nahdliyin yang sangat loyal dan fanatik. Kultur Madura menjadi bagian dari kehidupan masayarakat ini. Kepercayaan masyarakat terhadap para kyai merupakan salah satu karakteristik yang tidak bisa dihilangkan dalam masyarakat Situbondo dan hal inilah juga yang menjadi penentu bagi berakhirnya gerakan protes yang dilakukan oleh masyarakat.

Melihat situasi yang semakin tidak terkendali, Kyai Fawa’id As’ad bersama para kyai lainnya, yang menjadi panutan masyarakat Situbondo turun untuk  menghentikan tindak kekerasan yang terjadi. Hal ini sesuai dengan instruksi dari Gus Dur juga. Bahwa tidak ada jabatan yang perlu dipertaruhkan secara mati-matian. Gus Dur memang dilengserkan secara inskonstitusional, namun jiwa besarnya dalam melindungi masyarakat dari potensi terjadinya perang saudara tidak bisa dibendung. Karena itu, masyarakat diinstruksi oleh Gus Dur agar tidak melakukan tindakan-tindakan anarkis yang merusak. Ekspresi cinta masyarakat kepada Gus Dur itu bisa diredam dengan baik.

Akhirnya suhu ketegangan sosial di daerah ini menurun dengan adanya seruan tersebut. Dan secara tidak langsung seruan Kyai Fawaid As’ad bersama para kyai, berdasarkan instruksi Gus Dur tersebut dapat mengakhiri gerakan protes masyarakat Situbondo. Namun, pada dasarnya aksi protes dengan gerakan penebangan pohon di pinggiran jalan, yang kemudian dikenal dengan gerakan “tumpas kelor” itu adalah ekspresi cinta masyarakat kepada Gus Dur, sosok kyai yang menjadi presiden secara konstitusional, tetapi dimakzulkan secara inskonstitusional. Dan aksi ini pun bisa saja dianggap lebih baik, daripada bisa terlampau menebas leher orang-orang yang mendukung atau menjadi dalang dalam pelengseran Presiden Abdurrahman Wahid. []


Penulis: Hakim

Editor: Kholaf