Biografi Syekh Abdul Wahab Bugis

 
Biografi Syekh Abdul Wahab Bugis

Daftar Isi Biografi Syekh Abdul Wahab Bugis

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1  Lahir
1.2  Riwayat Keluarga
1.3  Nasab
1.4  Wafat
2.    Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1  Guru-guru
3.    Perjalanan Hidup dan Dakwah
3.1  Dakwah
4.    Karya-karya Beliau
5.    Referensi

1.  Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1 Lahir

Syekh Abdul Wahab Bugis lahir di daerah Sadenreng Pangkajane, Bugis, Makasar, Sulawesi Selatan. Perkiraan beliau lahir antara tahun 1725-1735, Beliau keturunan seorang raja yang berasal dari daerah Sadenreng Pangkajene. Sebagai seorang yang berdarah bangsawan beliau diberi gelar Sadenreng Bunga Wariyah. Jadi nama lengkap beliau adalah Syekh Abdul Wahab Bugis Sadenreng Bunga Wariyah.

1.2  Wafat

Syekh Abdul Wahab Bugis diperkirakan wafat antara tahun 1782-1790 M, dalam usia enampuluh tahunan (60). Pada catatan tahun pertama kali kedatangan beliau (1772 M) dan tahun pemindahan makam beliau.

Di mana semula beliau dimakamkan di pemakaman Bumi Kencana Martapura, namun oleh Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari kemudian, bersamaan dengan pemindahan makam Tuan Bidur, Tuan Bajut (istri dari Syekh Muhammad Arsyad), dan Aisyah (anak dari Tuan Bajut), makam beliau kemudian dipindahkan ke desa Karangtangah (sekarang masuk wilayah desa Tungkaran Kecamatan Martapura) pada pada hari Selasa, 2 Rabiul Awal 1208 H (1793 M).

2.    Sanad Ilmu dan Pendidikan

Syekh Abdul Wahab dikenal sebagai salah seorang tokoh “empat serangkai”, yakni Syekh Abdurrahman Al-Misri, Syekh Abdus Samad Al-Falimbani, dan Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, yang memiliki akhlak dan kepribadian sebagaimana akhlak dan kepribadian yang dimiliki oleh tokoh empat serangkai lainnya, sebagaimana digambarkan oleh Abu Daudi beliau adalah empat serangkai yang seiring sejalan, yang mendapat pendidikan dari guru yang sama, yang sama-sama mengutamakan ilmu dan amal, dan empat serangkai yang sama-sama pulang bersama serta mengemban tugas yang serupa.

Beliau adalah sahabat sekaligus menantu dari Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari. Jika Syekh Muhammad Arsyad dan Syekh Abdus Samad Al-Falimbani lebih banyak menghabiskan waktu mereka menuntut ilmu di kota Mekkah, maka Syekh Abdul Wahab bersama dengan sahabat beliau Syekh Abdurrahman Misri lebih banyak menghabiskan waktu mereka menuntut ilmu di kota Mesir.

Sehingga dalam tulisan Abu Daudi, Syekh Abdul Wahab tercatat sebagai salah seorang murid dari Syekhul Islam, Imamul Haramain Alimul Allamah Syekh Muhammad bin Sulaiman Al-Kurdi. Syekh Sulaiman Al-Kurdi ini kemudian juga menjadi guru dari Syekh Muhammad Arsyad dan Syekh Abdus Samad Al-Falimbani. Itulah sebabnya beliau mengiringi guru beliau ke kota Madinah ketika guru beliau hendak mengajar, mengembangkan pengetahuan agama dan Ilmu Adab serta mengadakan pengajian umum.

Di kota Madinah inilah kemudian empat serangkai bertemu dan selanjutnya Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari dan Syekh Abdus Samad Al-Falimbani pun mengikuti majelis pengajian Syekh Muhammad Sulaiman Al-Kurdi, yang kemudian memicu lahirnya tulisan Syekh Muhammad Arsyad yang berjudul “Risalah Fatawa Sulaiman Kurdi”.

Risalah ini berupa naskah yang isinya menerangkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari kepada Syekh Muhammad Sulaiman Al-Kurdi tentang keadaan atau tindakan Sultan Banjar yang memungut pajak dan mengenakan hukuman denda bagi mereka yang meninggalkan shalat Jum’at dengan sengaja, serta berbagai masalah lainnya. Risalah ini ditulis dalam bahasa Arab, dan belum pernah diterbitkan, namun naskah asli tulisan beliau sampai sekarang masih ada dan tetap tersimpan dengan baik pada salah seorang zuriat beliau di desa Dalam Pagar Martapura.

Kemudian atas anjuran dari Syekh Muhammad Sulaiman Al-Kurdi pula, Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari dan Syekh Abdus Samad Al-Falimbani yang haus ilmu pengetahuan yang semula berniat dan berencana untuk menambah ilmu ke Mesir tidak jadi berangkat ke sana, sebab ilmu pengetahuan yang beliau miliki telah dianggap cukup, untuk selanjutnya beliau disarankan segera pulang ke tanah air guna mengamalkan dan mengembangkan ilmu yang telah didapat

2.1  Guru-guru

  1.  Syekh Muhammad Sulaiman Al-Kurdi
  2.  Syekh Muhammad bin Abdul Karim Samman Al-Madani
  3.  Syekh Athaillah bin Ahmad Al-Misri
  4.  Abdul Al-Mun’im Al-Damanhuri, Ibrahim bin Muhammad Al-Ra’is Al-Zamzami Al-Makki (1698-1780 M) yang terkenal sebagai ahli Ilmu Falak (Astronomi)
  5.  Muhammad Khalil bin Ali bin Muhammad bin Murad Al-Husaini (1759-1791 M) yang terkenal sebagai ahli sejarah dan penulis kamus biografi Silk Al-Durar
  6.  Muhammad bin Ahmad Al-Jauhari Al-Mishri (1720-1772 M) yang terkenal sebagai seorang ahli hadits
  7.  Athaillah bin Ahmad Al-Azhari, Al-Mashri Al-Makki, yang juga terkenal sebagai seorang ahli hadits ternama serta dianggap sebagai isnad unggul dalam telaah hadits.

3.    Perjalanan Hidup dan Dakwah

Syekh Abdul Wahab mengikuti Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari setelah dinikahkan dengan Syarifah. Walaupun kemudian diketahui bahwa Syarifah sendiri telah dinikahkan dengan Usman dan telah mendapatkan satu orang anak, bernama Muhammad As’ad.

Tetapi setelah diteliti oleh Syekh Muhammad Arsyad berdasarkan hitungan Ilmu Falak maka dapat disimpulkan bahwa pernikahan Syekh Abdul Wahab dengan Syarifah yang dilakukan oleh Syekh Muhammad Arsyad dengan kedudukan Wali Mujbir di Mekkah lebih terdahulu waktunya daripada pernikahan Syarifah dengan Usman melalui Wali Hakim di Martapura.

Karena itulah akhirnya pernikahan Usman dan Syarifah difasakh atau dibatalkan, dan ditetapkan bahwa Syekh Abdul Wahab yang menjadi suami Syarifah. Dari pernikahan beliau dengan Syarifah binti Syekh Muhammad Arsyad ini dikaruniani dua anak, yaitu:

  1. Syaikhah Fatimah
  2. Muhammad Yasin

3.1 Dakwah

Tekad Syekh Abdul Wahab yang bulat untuk memperjuangkan dakwah Islam dan mengamalkan ilmu yang telah didapat ketika belajar di Mesir dan di daerah Timur Tengah, serta ikrar yang beliau ucapkan bersama teman-temann beliau tatkala ingin kembali ke tanah air, semakin menguatkan keinginan beliau untuk mengabdikan ilmu dan baktinya di Tanah Banjar.

Syekh Abdul Wahab juga memiliki peranan yang penting dalam mengembangkan Islam di Tanah Banjar, mengingat kedudukan dan figur Syekh Abdul Wahab sebagai seorang ulama yang dikenal alim dan sekian lama menuntut ilmu di Mesir dan daerah Timur Tengah.

Perjuangan utama Syekh Abdul Wahab di Tanah Banjar sendiri adalah membantu Syekh Muhammad Arsyad mendakwahkan Islam di wilayah kerajaan Banjar yang waktu itu belum begitu berkembang. Mulai dari mengajarkan Islam kepada keluarga kerajaan, mendidik kader-kader dakwah, sampai dengan membangun desa Dalam Pagar, yang kemudian berkembang menjadi pusat penyebaran dan pengajaran Islam di Kalimantan.

Pertama, mengajarkan agama Islam kepada kaum bangsawan dan keluarga kerajaan Banjar. Hal ini terlihat dari awal kedatangan Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari dan Syekh Abdul Wahab Bugis di Tanah Banjar (Martapura) pada bulan Ramadhan tahun 1208 H/1772 M yang disambut meriah oleh seluruh komponen masyarakat Banjar, tidak hanya masyarakat biasa akan tetapi juga kaum bangsawan dari kerajaan Banjar. Mengingat Syekh Muhammad Arsyad sendiri sudah dianggap dan diakui sebagai bubuhan kerajaan, terlebih-lebih lagi manakala mengetahui Syekh Abdul Wahab yang juga seorang bangsawan, sehingga oleh pihak kerajaan beliau diberikan tempat untuk tinggal dalam istana. Menjadi guru agama di Istana dan mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada bubuhan kerajaan.

Kedua, membantu Syekh Muhammad Arsyad membuka perkampungan Dalam Pagar yang telah dihadiahkan oleh kerajaan Banjar kepada beliau sebagai tanah lungguh. Mengingat tekad kuat dan ikrar setia yang disampaikan oleh beliau untuk mensyiarkan agama Islam di tanah air, sesuai dengan pesan guru beliau ketika masih di kota Madinah, beliau juga aktif mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada masyarakat luas yang datang berbondong-bondong ke Dalam Pagar yang sudah dikenal dan menjadi pusat pendidikan serta penyiaran agama Islam pada masa itu.

Ketiga, di samping itu Syekh Abdul Wahab sebagai menantu dan sekaligus sahabat Syekh Muhammad Arsyad yang juga memiliki pengetahuan agama yang luas dan alim, diduga sedikit banyak beliau ikut menyumbangkan ilmu, pendapat, dan pandangannya –sumbang saran– terhadap berbagai masalah-masalah keagamaan yang terjadi di Tanah Banjar. Dengan kata lain Syekh Abdul Wahab merupakan teman diskusi atau mudzakarah agama Syekh Muhammad Arsyad. Hal ini terlihat dari adanya istilah-istilah tertentu dalam Bahasa Bugis –walaupun dalam jumlah yang sangat kecil, dan untuk hal ini lebih jauh perlu dilakukan penelitian dan pengkajian kembali melalui pendekatan Linguistik– pada penulisan dan penyusunan risalah atau kitab-kitab yang ditulis oleh Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, terutama Kitab Sabilal Muhtadin.

3.2  Karya-Karya Beliau

Mengingat kedudukan dan kedekatannya, Syekh Abdul Wahab ikut berperan aktif terhadap sejumlah karya tulis Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari dapat saja terjadi, mengingat bahwa:

  1. Syekh Abdul Wahab adalah salah seorang ahli Fiqih dan murid dari Imam Haramain, Syekh Muhammad bin Sulaiman Al-Kurdi dan Syekh Athaillah bin Ahmad Al-Misri, yang lama menuntut ilmu di Mesir dan Haramain, beliau adalah seorang yang alim, sahabat sekaligus menantu yang berjuang berdampingan bersama Syekh Muhammad Arsyad, mewujudkan ikrar yang telah ditetapkan ketika berkumpul bersama-sama (dengan tokoh empat serangkai lainnya) sesudah menuntut ilmu di Madinah, dan akan pulang ke tanah air.
  2. Syekh Abdul Wahab adalah salah seorang tokoh dari “empat serangkai” yang mendapatkan ijazah khalifah dalam tarekat Sammaniyah ketika keempatnya belajar dan mengkaji ilmu tasawuf atau tarekat di Madinah kepada Syekh Muhammad bin Abdul Karim Samman Al-Madani.
  3. Syekh Abdul Wahab dianggap sebagai tokoh penting dalam jaringan ulama Nusantara pada abad ke-18 dan ke-19 karena keterlibatannya secara sosial maupun intelektual dalam jaringan ulama tersebut. Ketokohan beliau diakui dan dapat dilihat dari gelar Syekh yang beliau sandang. Sebab gelar Syekh dalam khazanah masyarakat Banjar mengisyaratkan kealiman penyandangnya, sekaligus pula menjadi penanda bahwa yang bersangkutan pernah atau lama mengkaji ilmu di Tanah Haramain (Mekkah atau Madinah). Karena itulah di samping diangkat menjadi guru di istana kerajaan Banjar oleh sultan, dalam kehidupan masyarakat luas pun beliau dihormati dan dijadikan sebagai guru rohani mereka.
  4. Untuk mendidik dan membina kader-kader penerus dakwah Islam, Syekh Muhammad Arsyad telah membuka daerah Dalam Pagar, mendirikan surau, rumah tempat tinggal sekaligus mandarasah yang menjadi tempat untuk belajar masyarakat, mengkaji dan menimba ilmu, sekaligus tempat untuk mendidik kader-kader dakwah. Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari bersama Syekh Abdul Wahab telah membangun sebuah pusat pendidikan Islam yang serupa ciri-cirinya dengan surau di Padang Sumatera Barat, rangkang, meunasah dan dayah di Aceh, atau pesantren di Jawa.

Bangunan tersebut terdiri dari ruangan-ruangan untuk belajar, pondokan tempat tinggal para santri, rumah tempat tinggal Tuan Guru atau Kyai, dan perpustakaan. Oleh Humaidy lembaga pendidikan Islam ini, sebagaimana istilah yang biasa dipakai di kawasan dunia Melayu, seperti Riau, Palembang, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Fattani (Thailand) disebut punduk. Sehingga Dalam Pagar akhirnya berhasil menjadi locus dan kawah candradimuka paling penting untuk mendidik serta mengkader para murid yang kemudian hari menjadi ulama terkemuka di kalangan masyarakat Kalimantan.

4.    Referensi

  1. Ali, Yunasir, Pengantar Ilmu Tasawuf, Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta, 1987.
  2. Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Mizan, Bandung, 1994.
  3. Basuni, Ahmad, Nur Islam di Kalimantan Selatan, Bina Ilmu, Surabaya, 1996.
  4. Bruinessen, Martin van, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat : Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia, Mizan, Bandung, 1999.
  5. Daudi, Abu, Maulana Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Tuan Haji Besar. Sekretariat Madrasah Sullamul Ulum Dalam Pagar Martapura, 1996.
  6. Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1999.
  7. Halidi, Yusuf, Ulama Besar Kalimantan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Bina Ilmu, Surabaya, 1984.
  8. Humaidy, “Tragedi Datu Abulung : Manipulasi Kuasa Atas Agama”, Kandil, edisi 2 Tahun I, September 2003.
  9. Jamalie, Zulfa, “Melacak Jejak Pembawa Tarekat Sammaniyah di Tanah Banjar”, Jurnal Khazanah, Volume II Nomor 05, September-Oktober 2003.
  10. Marwan, Muhammad, Manakib Datu Suban dan Para Datu, Toko Buku Sahabat, Kandangan, 2001.
  11. Masdari dan Zulfa Jamalie (ed.), Khazanah Intelektual Islam Ulama Banjar, Pusat Pengakjian Islam Kalimantan (PPIK) IAIN Antasari, Banjarmasin, 2003.
  12. Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, INIS, Jakarta, 1994.
  13. Rosyidi, Dakwah Sufistik Kang Jalal : Menentramkan Jiwa Mencerahkan Pikiran, Khazanah Populer Paramadina, Jakarta, 2004.
  14. Sasono, Adi dkk, Solusi Islam Atas Problematika Umat, Gema Insani Press, Jakarta, 1998.
  15. Steenbrink, Karel S. Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Bulan Bintang, Jakarta, 1985.
  16. Zamzam, Zafry, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari sebagai Ulama Juru Dakwah dalam Sejarah Penyiaran Islam di Kalimantan Abad ke-13H/18 M dan Pengaruhnya di Asia Tenggara, Percetakan Karya, Banjarmasin, 1974.
  17. Sumber: https://tarekatqodiriyah.wordpress.com
 

Lokasi Terkait Beliau

    Belum ada lokasi untuk sekarang

List Lokasi Lainnya