Seputar Sanad Resmi Mars Syubbanul Wathon dan Syarahnya

 
Seputar Sanad Resmi Mars Syubbanul Wathon dan Syarahnya
Sumber Gambar: Istimewa, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Konon pemilik sanad resmi Mars Syubbanul Wathon adalah H. Nusron Wahid. Ketika masih menjabat sebagai ketua Ansor (2011-2015), beliau pernah sowan kepada KH. Maimoen Zubair dan mendapatkan sanad Mars Syubbanul Wathon tersebut langsung dari murid KH. Wahab Chasbullah, yakni Maimoen Zubair.

Mars Syubbanul Wathon adalah lagu yang digubah oleh KH. Wahab Chasbullah. Dalam pengakuan Mbah Maimoen, saat dulu masih nyantri di Pesantren Tambak Beras, Jombang, beliau mengisahkan bahwa Mars Syubbanul Wathon selalu dinyanyikan oleh para santri sebelum kegiatan belajar mengajar dimulai. Dari sinilah lagu patriotik itu masih terus membekas yang kemudian disampaikan kepada H. Nusron Wahid bersama Gus Yaqut. Bahkan menurut penuturan Gus Yasin dalam sebuah acara bershalawat bersama Habib Syech As-Segaf, dikatakan dengan tegas bahwa pemilik sanad Mars Syubbanul Wathon secara muttashil resmi adalah H. Nusron Wahid ketika masih menjabat sebagai ketua Ansor.

KH. Maimoen Zubair pernah menyampaikan kisah menarik terkait Mars Syubbanul Wathon dalam sebuah pengajian bersama Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Tengah. Dulu di zaman ayahnya, yakni KH. Zubair, dikatakan bahwa Mars Syubbanul Wathon menjadi lagu yang dinyanyikan dengan semangat oleh para santri Sarang sebelum dimulainya belajar di MGS (Madrasah Ghozaliyyah Syafi’iyyah). Beliau juga menuturkan, bahwa ayahnya itu sangat fanatik dengan Mbah Wahab yang menggubah Mars Syubbanul Wathon tersebut. Bahkan KH. Zubair menggunakan irama dan sebagian syair dalam Mars Syubbanul Wathon itu ketika membaca Maulid Barzanji.

Belakangan syair dalam Mars Syubbanul Wathon ditambahkan terjemah yang dimaksudkan agar semakin dimengerti oleh masyarakat secara umum. Terbukti saat ini Mars Syubbanul Wathon menjadi sangat populer dan digandrungi kembali oleh masyarakat, khususnya warga nahdliyyin. Mungkin ada sedikit perbedaan irama yang dinyanyikan oleh Mbah Maimoen dengan irama Mars Syubbanul Wathon yang sekarang dinyanyikan di mana-mana. Perbedaan ini bukan suatu hal yang signifikan, sebab memang diperlukan adanya improvisasi yang menambahkan daya tarik masyarakat modern. Dan jadinya irama itu sebagaimana yang sekarang ini sering kita dengarkan.

Diriwayatkan bahwa Mars Syubbanul Wathon digubah oleh KH. Wahab Chasbullah pada tahun 1916. Mars ini diciptakan ketika beliau mendirikan sebuah gerakan yang kelak juga menjadi inspirasi para ulama, yakni Nahdlatul Wathon. Dan tepat sepuluh tahun setelahnya berdirilah organisasi para ulama yang direstui oleh tokoh ulama besar, yakni Jami’iyyah Nahdlatul Ulama.

Mars Syubbanul Wathon menjadi bukti sikap komitmen dan konsisten KH. Wahab Chasbullah dalam mencintai tanah airnya, Indonesia. Lagu ini pula yang menjadi pembakar semangat para santri untuk tetap mencintai dan menjaga Indonesia dengan tidak hanya berdiam diri, melainkan turut juga berperan aktif. Karena itu, tidak heran jika Mbah Wahab juga aktif di pemerintahan, dekat dengan para tokoh nasionalis, seperti Bung Karno dan lain-lain.

Ada seorang Kyai dari Banten yang mencoba mensyarahi Mars Syubbanul Wathon tersebut, namanya KH. Imaduddin. Sebenarnya syair yang diriwayatkan dari Mbah Maimoen dengan yang sekarang beredar ada sedikit perbedaan, tetapi tidak mengurangi substansinya.

Mars Syubbanul Wathon ini di mulai dengan kalimat: 

ياَ لَلْوَطَنْ ياَ لَلْوَطَن ياَ لَلْوَطَنْ

 Yaa Lal Wathon Yaa Lal Wathon Yaa Lal Wathon

Kalimat "Yaa Lal Wathon", diulang sebanyak tiga kali. Kalimat "Yaa Lal Wathon" (يا للوطن) huruf "ya" yang yerdapat pada kalimat tersebut adalah huruf "nida" (huruf yang bermakna panggilan untuk lawan yang diajak bicara). Sedangkan huruf "lam" yang menempel pada kata "wathon" adalah disebut huruf lam "li at-ta'ajjub" (yang bermakna takjub, heran, dikagumi), dibaca dengan di fatahkan sebelum kalimat "muta'ajjab minhu", yaitu kalimat yang berposisi  dikagumi. (An-Nail Al-Kamil fi Syarhi Matni Al-Awamil: 11) 

Dari syair itu, bisa diketahui bahwa pencipta lagu tersebut ketika menggunakan "lam li al-ta'ajjub" sebelum kalimat "tanah air", ingin mengekspresikan kekagumannya akan tanah airnya yang indah dan penuh kelebihan. 

Sedangkan kata "wathon" bermakna "manzil iqomat al-insan wulida fihi au lam yulad”, tempat tinggal manusia baik ia dilahirkan di situ atau tidak" (Al-Munjid: 906) kalimat tersebut sering diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan "tanah air". 

Dari situ kita dapat memahami bahwa yang menjadi "munada" (yang dipanggil dengan "nida" itu adalah "tanah air". Maka kurang tepatlah ketika ada yang berpendapat bahwa kalimat "lal wathon" berasal dari singkatan kalimat "ahlal wathon" (penduduk tanah air). 

Kalimat "Yaa lal wathon" bila diterjemahkan aslinya adalah "wahai Tanah air". Adapun tambahan terjemah dengan kalimat "pusaka hati di awal dan "ku" di akhir adalah sebagai penguat kekaguman untuk yang pertama, dan menunjukan kedekatan tanggung jawab untuk yang kedua. 

Pada baris kedua syair lagu "Yaa lal wathon" berbunyi: 

حُبُّ الْوَطَنْ مِنَ اْلإِيمَانْ

Hubbul Wathon minal Iman (Cinta tanah air sebagian dari iman).

Kalimat tersebut diambil dari kalimat yang masyhur dikalangan kaum muslimin, sampai sampai kalimat tersebut di yakini sebagai Hadis. Syaikh Syamsuddin As-Sakhowi (w. 902) dalam kitabnya "Al Maqosid Al-Hasanah" menyatakan tentang Hadis "Hubbul Wathon Min al Iman": "Aku tidak menganggapnya Hadis tetapi maknanya sohih". (Al-Maqosid Al-Hasanah: 1/297)

Banyak Hadis yang menjelaskan tentang bagaimana kerinduan Nabi Muhammad SAW kepada Kota Makkah yang pernah menjadi tanah airnya. Jika cinta tanah air itu bukan kebaikan maka bagaimana Nabi Muhammad SAW menerjemahkannya dihadapan para sahabat bahwa ia mencintai Makkah?

 Baris yang ketiga dari Mars Syubbanul Wathon berbunyi sebagai berikut: 

وَلاَتَكُنْ مِنَ الْحِرْماَنْ

Wala Takun minal Hirman​​​​​​​

Ada beberapa masalah yang perlu kita cermati dari baris kalimat yang ketiga ini: yang pertama adalah kalimat "takun" apakah dlomir (kata ganti) yang terdapat pada kata itu adalah dlomir khitab mufrad mudzakkar (Orang kedua laki-laki tunggal) atau dlomir muannats ghoibah (orang ketiga yang menunjukan makna perempuan)? 

Jika dlomir itu khitab maka terjemahnya adalah "Janganlah engkau menjadi, wahai fulan", tetapi yang demikian itu akan tidak "munasib" (sesuai) dengan baris berikutnya yang menggunakan dlomir khitab jama’ mudzakkar (kata ganti orang kedua untuk lelaki jamak; jika dlomir itu muannats ghoibah maka ruju-dlomir (kembalinya kata ganti) nya kemana, apakah kepada "wathan" atau kepada apa? jika kepada "wathan" maka harusnya menggunakan dlomir mudzakkar ghoib yaitu "yakun" bukan “takun", karena orang Arab biasa mengembalikan kalimat "wathan" dengan dlomir mufrad mudzakkar

Sebenarnya kalimat yang diinginkan pencipta lagu ini bukan "wala takun" tetapi "wala takunu" yaitu dengan dlomir jama’. Karena lagu ini ditulis sejak tahun 1916 tentu periwayatan yang panjang itu dimungkinkan sekali terjadi distorsi dari yang ditulis dan diinginkan pertama kali dari penciptanya. 

Kalimat "Minal Hirman" ada beberapa masalah yang perlu kita bahas, pertama ketika penulis menduga bahwa kalimat "wala takun" yang diinginkan penciptanya adalah "wala takunu" maka kalimat "minal hirman" ini secara stanza akan terjadi gejlok, maka kalimat "minal" yang artinya "dari"  dimungkinkan pula  sebenarnya yang diinginkannya adalah "fil" yang artinya "didalam". 

Kemudian lafadh "Hirman"  dalam bahasa indonesia berarti "al-man'u wa naqidl al-rizqi, enggan dan kebalikan dari mendapatkan bagian rizqi" (Al-Munjid: 130)

 Dari situ maka kalimat "wala tukunu fil hirman" bermakna asal "janganlah engkau semua menghilangkan bagian rezekimu!" 

Dalam lirik yang biasa dibaca diterjemahkan dengan kalimat "jangan halangkan nasibmu", kalimat "halangkan" menurut penulis adalah distorsi dari kalimat yang diinginkan pencipta lagunya yaitu kata "hilangkan". Karena kalau kita cermati kita akan sulit memahami apa maksud kalimat "jangan halangkan nasibmu", tetapi ketika kita menerjemahkannya "jangan hilangkan nasibmu" maka dengan mudah kita bisa memahami bahwa kita diberikan motivasi oleh pencipta lagu tersebut untuk mengambil bagian dan peran dalam membela tanah air dan mengurusnya sendiri bukan diurus oleh kaum penjajah. 

Kalimat pada baris keempat berbunyi: 

اِنْهَضوُا أَهْلَ الْوَطَنْ

Inhadlu Ahal Wathon (bangkitlah hai kalian semua penduduk negeri)

Kalimat "ahlal wathon" menurut penulis memang lebih muwafaqoh (sesuai) dari pada sebagian orang yang membacanya "alal wathon" dimana "ala" diambil dari kalimat huruf jarr "ala" yang bermakna "atas". Kalimat "inhadlu ahlal wathon" sangat tepat karena dalam terjemahannya yang terdapat di dalam lagu tersebut "bangkitlah hai bangsaku", dimana "ahlul wathan" yang bermakna "penduduk tanah air" tidak lain dan tidak bukan adalah bangsa yang hidup di atasnya.

Baris kelima dari lagu tersebut adalah:

اِندُونيْسِياَ بِلاَدى

 Indonesia Biladi (Indonesia negeriku)

 Kalimat "biladi" tersusun dari dua kata yaitu "bilad" dan "ya mutakallim" yaitu ya yang bemakna "kepunyaanku". Kalimat  "bilad" adalah jamak dari kata "balad" atau "baldah" yang artinya "kullu makan min al-ardl amiran kana aw khuluwwan, setiap tempat di bumi yang sudah ramai maupun masih sepi". (Al-Munjid: 47) 

Kalimat yang dipakai pencipta lagu "bilad" untuk Indonesia yang menunjukan jamak dimungkinkan untuk maksud bahwa Indonesia yang terdiri dari berbagai negeri dari sabang sampai merauke yang bersatu menjadi Indonesia.  

Baris selanjutnya adalah kalimat:

أَنْتَ عُنْواَنُ الْفَخَاماَ

 Anta ‘Unwanul Fakhoma (engkau panji martabatku)

Kata "unwan" bermakna "dalil" atau petunjuk. (Al-Munjid: 534) "unwan kitab" adalah judul kitab. kalimat tersebut diterjemahkan dalam lagu tersebut dengan "panji" yaitu bendera perang, masih memiliki makna yang "munasib" (sesuai) karena panji merupakan tanda bagi pasukan ketika di medan perang.  

Kalimat "fakhoma" yang biasa ditulis "فخاما" dengan huruf alif di akhirnya, yang paling tepat adalah ditulis dengah hurup "kho" (فخامة), ia adalah masdar dari "fakhuma" yang artinya pangkat yang agung. (Al-Munjid: 571) Diterjemahkan dalam lagu tersebut dengan "martabat", tentu yang dimaksud adalah martabat yang agung.
 
Baris selanjutnya dari lagu tersebut adalah: 

كُلُّ مَنْ يَأْتِيْكَ يَوْماَ

Kullu man Ya’tika Yauma (setiap orang yang datang disuatu hari)

Sampai disini kalimat tersebut belum difahami kecuali dikaitkan dengan baris selanjutnya, yaitu: 

طَامِحاً يَلْقَ حِماَمًا

Thomihan Yalqo Himama (ia datang- dalam keadaan sombong, maka ia akan menemui kebinasaan)

Kalimat "tomikhon" dengan menggunakan "kho" berarti "sombong" sedangkan bila menggunakan "ha" maka berarti "pergi, menjauh, tidak mau, tidak patuh" (Al-Munjid: 471) dilihat dari makna-makna itu maka dengan huruf "kho" maknanya lebih munasabah dengan maksud pencipta lagu yang secara nash dapat difahami dari kalimat terjemah dari lagu tersebut, dimana dalam versi terjemahnya dikatakan "siapa datang mengancammu" kalimat mengancam itu lebih dekat kepada lafadz "tomikhon" dengan "kho" yang berarti sombong dari pada lafadz "tomihan" dengan "ha" yang lebih cenderung bermakna menghindari sesuatu.

Kemudian kalimat "himama" sebagai kalimat terakhir dalam lagu tersebut bermakna "mati" (al-Munjid: 152) diterjemahkan dalam lagu tersebut dengan kata "binasa". 

Ada yang perlu diperhatikan dalam versi terjemah dalam lagu tersebut yaitu kalimat "duli". Sebagian orang ada yang menyanyikannya "kan binasa di bawah dulimu" dengan hurup "L", ada juga yang membaca "durimu" dengan hurup "R", lalu mana yang benar? 

"Duri" dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti bagian tumbuhan yang runcing dan  tajam. Sedangkan kata "duli" di sana bermakna "debu", binasa dibawah dulimu artinya binasa bergelimpangan di tanah. menurut penulis kata duli lebih sesuai dari pada kata duri.

Berikut teks lengkap Mars Syubbanul Wathon, ciptaan KH Abdul Wahab Chasbullah (1916).

 ياَ لَلْوَطَنْ ياَ لَلْوَطَن ياَ لَلْوَطَنْ

 حُبُّ الْوَطَنْ مِنَ اْلإِيمَانْ

وَلاَتَكُونوا في الْحِرْماَنْ

اِنْهَضوُا أَهْلَ الْوَطَنْ

اِندُونيْسِياَ بِلاَدى

أَنْتَ عُنْواَنُ الْفَخَامة

كُلُّ مَنْ يَأْتِيْكَ يَوْماَ

طَامِخاً يَلْقَ حِماَمًا​​​​​​​

Pusaka Hati Wahai Tanah Airku
Cintamu dalam Imanku
Jangan Hilangkan Nasibmu
Bangkitlah Hai Bangsaku

Pusaka Hati Wahai Tanah Airku
Cintaku dalam Imanku
Jangan Hilangkan Nasibmu
Bangkitlah Hai Bangsaku

Indonesia Negeriku
Engkau Panji Martabatku
Siapa Datang Mengancammu
Kan Binasa di bawah dulimu

Dari sini kita semakin paham dan meyakini bahwa Mars Syubbanul Wathon ini menyampaikan pesan kuat akan cinta tanah air. Dan dengan tegas seakan Mbah Wahab menyampaikan bahwa mencinta tanah air itu hukumnya wajib. Wallahu A'lam bis Showab. []


Penulis: Abd. Hakim Abidin

Editor: Kholaf Al-Muntadar