Biografi KH. Noerhasan Nawawie, Kyai Sufi Tanpa Ambisi

 
Biografi KH. Noerhasan Nawawie, Kyai Sufi Tanpa Ambisi
Sumber Gambar: sidogiri.net

Daftar Isi:

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1  Lahir
1.2  Riwayat Keluarga
1.3  Wafat

2.    Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1  Pendidikan
2.2  Guru-Guru

3.    Perjalanan Hidup dan Dakwah
3.1  Pendidik yang Telaten dan Ikhlas
3.2  Cikal Bakal Pembangunan Daerah I

4.    Teladan
4.1  Sosok Ayah yang Penyayang
4.2  Perhatian pada Anak Kecil
4.3  Dekat dengan Semua Saudara
4.4  Bergaul dengan Masyarakat
4.5  Berbahasa Halus pada Santri
4.6  Kyai Sufi Tanpa Ambisi

5.    Karomah dan Keistimewaan
5.1  Mengisi Pecut dan Penjalin dimasa PKI
5.2  Berwujud Dua, Berbicara dengan Izrail

6.    Pesan-Pesan
7.    Referensi

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1  Lahir
Kyai Noehasan Nawawie lahir sekitar tahun 1909 M, lahir dari pasangan KH. Nawawie bin Noerhasan bin Noerkhatim dan Nyai Ru’yanah binti Abdul Hayyi (Kyai Urip). KH. Nawawie adalah ulama besar yang juga salah satu pendiri jamiyah NU. Pasangan ini masih bersaudara sepupu. Dan keduanya adalah keturunan Sayyid Sulaiman Mojoagung Jombang dan Sunan Gunung Jati.  

KH. Nawawie menyambut kehadiran anak lelaki pertama beliau dengan bahagia dan suka-cita. Harapan Pengasuh PP. Sidogiri itu untuk mempunyai anak lelaki tercapai sudah, karena kepadanyalah nanti beliau akan menyerahkan tongkat estafet perjuangan.

Muhammad Noerhasan, begitulah nama bayi mungil tersebut yang disandangkan oleh kedua orang tua beliau. Konon, saat Kyai Noerhasan masih berada dalam kandungan, Kyai Nawawie mendapat firasat bahwa putra beliau kelak akan menjadi tokoh yang disegani.

Firasat itu timbul dari mimpi beliau, yang menggambarkan bahwa apa yang ada dalam kandungan istri beliau adalah macan putih. Hal itu juga diperkuat perkataan seorang Habib yang datang di kala kandungan Nyai Ru’yanah berusia 9 bulan.

Saat itu, Nyai Ru’yanah tidak mau makan sama sekali. Akhirnya datanglah seorang Habib yang mengatakan bahwa yang ada dalam kandungan Nyai Ru’yanah adalah macan putih. Hal ini membuat Nyai Ru’yanah makin sedih, khawatir apa yang dikatakan Habib tersebut benar-benar kenyataan. Ternyata saat lahir, bukan auman macan putih yang terdengar, tapi tangisan bayi mungil yang kelak akan menjadi tokoh panutan umat.

1.2 Riwayat Keluarga
Kyai Noerhasan Nawawie memulai hidup baru dengan meninggalkan masa lajang saat berumur 25 tahun. Beliau mempersunting Nyai Muqimah putri Kyai Muhsin yang saat itu berusia 18 tahun. Gadis ini menjadi tunangan Kyai Noerhasan sejak berusia 40 hari. Yaitu saat Muqimah kecil berumur 40 hari, beliau digendong abah beliau menemui Kyai Nawawie bin Noerhasan saat turun dari masjid. 

Dengan penuh hormat, Kyai Muhsin menuturkan pada KH. Nawawie yang tak lain adalah pamannya sendiri, “Anu ‘Man, kulo gadah yugo estri (Paman, saya punya anak perempuan)”. Kyai Nawawie menimpali dengan penuh perhatian, “Endi-endi, delok-delok! O, yo ayu…mbesok olehno Muhammad ae (Mana, mana, aku ingin lihat. Wah, cantik… Kelak dinikahkan dengan Muhammad [Noerhasan] saja!)”. Sejak saat itulah Kyai Noerhasan dengan Nyai Muqimah terikat pertunangan, hingga mereka berdua melangsungkan pernikahan kira-kira tahun 1934. 

Sebenarnya Nyai Muqimah masih keponakan Kyai Noerhasan sendiri. Karena Kyai Muhsin adalah sepupu Kyai Noerhasan. Yakni putra dari adik Kyai Nawawie, Nyai Fathonah binti Noerhasan bin Noerkhatim. Pernikahan semacam ini diperkenankan dalam Islam, sebagaimana pernikahan Sayyidina Ali dengan Siti Fatimah, yang tak lain adalah putri dari sepupu Sayyidina Ali, Nabi Muhammad SAW.

Setelah menikah, Kyai Noerhasan tinggal di dalem beliau yang sederhana, di selatan lapangan Desa Sidogiri. Area tempat tinggal beliau selanjutnya dikenal dengan sebutan Daerah I (lanjutan dari pusat kompleks santri di area barat yang disebut Daerah A, B, C, dst). 

Pasangan Kyai Noerhasan dan Nyai Muqimah dikaruniai 8 putra-putri. Yakni:

  1. Ning Nur Azzah, wafat,
  2. KH. Ghazi (beristri Nyai Hj. Zubaidah),
  3. Mas Yahya Nawawi, wafat,
  4. Ning Nur Azzah, wafat,
  5. KH. Fuad (beristri Ning Maslihah Siradj),
  6. Ning Illiyah (istri KH. Mahmud Ali Zain),
  7. Ning Munjiat (istri Kyai Cholil Abdul Ghafur),
  8. Ning Iradatul Hasanah Luluk Maknunah, wafat. 

1.3 Wafat
Beliau wafat pada Ahad Pahing, 26 Shafar 1387 H/04 April 1967 M, setelah mengalami sakit selama 2 bulan dan sangat parah selama 11 hari. Dengan wafatnya Kyai Noerhasan, seluruh masyarakat Sidogiri merasa sangat kehilangan tokoh panutan yang amat dikagumi. Dunia serasa gelap, membuat perasaan orang trenyuh dan berduka.

Saudara-saudara Kyai Noerhasan semuanya menangis, terutama Kyai Sa’doellah. KH. Khatib Banyuwangi saat itu mengatakan, membina santri sampai 25 tahun, belum tentu bisa mencetak yang seperti Kyai Noerhasan. Bukan alim lagi, namun beliau adalah seorang Kyai yang `’allamah (sangat alim).

Keanehan tampak pada saat Kiai Noerhasan wafat. Yakni kendati beliau sehari-seharinya bersikap khumul dan jarang dikenal orang, ternyata para pelayat yang ingin memberikan penghormatan terakhir pada beliau meluber membanjiri Sidogiri. Sidogiri yang kala itu tak begitu penuh santri, berubah menjadi lautan manusia

 Keranda yang membawa beliau dari kediamannya menuju Masjid Jami’ yang jaraknya ± 300 meter berjalan lebih cepat dari arus para pelayat yang berduyun-duyun. Seakan keranda itu berjalan sendiri di atas kepala manusia. Prosesi penyolatan beliau pun sampai diulang berkali-kali, karena banyaknya orang yang melayat.

Namun ada yang lebih aneh saat prosesi penyolatan jenazah beliau. Yakni hadirnya tiga Habaib yang berasal dari kota berbeda di luar negeri. Satu dari Madinah, satu dari Makkah dan satu lagi dari Hadramaut Yaman. Mereka datang bersama rombongan Kyai Hamid Pasuruan, dan menyempatkan diri berpidato setelah dilakukannya Shalat Jenazah, dengan menggunakan bahasa Arab yang diterjemahkan oleh santri yang terkenal alim di masa itu.  

Dalam pidatonya, Habib dari luar negeri itu bercerita bahwa setiap hari Jum’at, mereka bertiga bersama Kyai Noerhasan melaksanakan Shalat Jum’at di Mekah. Namun dua Jum’at terakhir mereka tak bertemu Kyai Noerhasan. Mereka merasa sesuatu telah terjadi, sehingga beliau tidak bisa hadir. Akhirnya mereka memutuskan berangkat bersama-sama ke Sidogiri menemui Kyai Noerhasan. Ternyata selama dua minggu itu Kiai Noerhasan benar-benar sakit, yang menyebabkan beliau wafat.

Keanehan terjadi pula saat penggalian makam beliau. Bumi yang akan digunakan mengubur jasad beliau sangat sempit, Setelah digali, ternyata di dalamnya ada akar kayu besar yang menghalang. Di situlah keajaiban muncul, akar yang mengganggu tiba-tiba hilang, dan bumi tambah melebar, seakan mempersilakan Kyai Noerhasan untuk masuk ke dalam. Kyai Cholil yang dikenal sebagai wali yang melihat kejadian itu mengatakan, “Yo ngene lek wali! (Beginilah yang terjadi, kalau yang dikebumikan adalah wali)”.

Karamah beliau yang paling tampak adalah di hari wafat beliau. Yakni dengan banyaknya pelayat yang ingin memberikan penghormatan terakhir. Fenomena ini merupakan bukti nyata dawuh beliau pada salah satu santri di saat beliau sakit parah. Di sela-sela sakit yang diderita beliau, Kyai Noerhasan mengungkapkan bahwa karamah seorang wali bisa dilihat dari kejadian di hari wafat beliau. Ternyata hal itu terbukti pada hari wafat beliau sendiri, dengan membludaknya pelayat yang hadir pada saat itu, padahal beliau tak begitu dikenal. Hal ini adalah suatu tanda kewalian beliau.

2. Sanad Ilmu dan Pendidikan

2.1 Pendidikan
Sempat Belajar di Makkah. Jenjang pendidikan agama yang Kyai Noerhasan tempuh dimulai dengan berguru langsung pada ayahnya sendiri. Hal itu berlangsung sampai beliau ditinggal wafat ayah beliau. Selain itu, beliau juga pernah berguru pada kedua kakak iparnya, yakni KH. Abdul Adzim bin Urip dan KH. Abdul Djalil bin Fadlil.  

Dan sebagaimana lazimnya ulama dahulu yang kurang sreg jika belum mengaji di Makkah yang merupakan pusat ilmu dan ulama maka kira-kira berumur 16 tahun, Kyai Noerhasan melanjutkan pendidikan beliau ke tanah suci Makkah. Namun masa belajar beliau tak berlangsung lama, kira-kira tiga tahunan. Selain itu, beliau jalankan sistem pendidikan beliau dengan otodidak.

2.2 Guru-Guru

  1. KH. Nawawie bin Noerhasan bin Noerkhotim (ayah)
  2. KH. Abdul Adzim bin Urip,
  3. KH. Abdul Djalil bin Fadlil.  

3. Perjalanan Hidup dan Dakwah
Sang ayah, KH. Nawawie, tak ingin menyia-nyiakan karunia titipan Allah SWT., sehingga kyai Noerhasan kecil diasuh dan dididik langsung oleh beliau. Beliau selalu mengajak Kyai Noerhasan kecil ke mana pun pergi. Kasih sayang KH. Nawawie membuat Kyai Noerhasan sulit terpisahkan dari sang ayah.

Dan memang di antara putra-putri KH. Nawawie, hanya Kyai Noerhasan yang sempat merasakan hidup bersama abah beliau sampai besar. Beliau pula satu-satunya putra KH. Nawawie yang pernah diajak ibadah Haji bersama ke Makkah, ketika berumur belasan tahun (kira-kira umur 11-12). Kyai Noerhasan muda menunaikan ibadah Haji bersama ayah beliau dengan dituntun saat melakukan tawaf mengelilingi Kakbah.  

Namun kebersamaan Kyai Noerhasan dengan sang ayah tak berlangsung lama. Karena ketika beliau menginjak usia 13 tahun, KH. Nawawie wafat, Kyai Noerhasan muda sangat sedih karena ditinggalkan ayah tercinta. 

Seiring perjalanan waktu, Kyai Noerhasan pun tumbuh menjadi anak yang cerdas. Sebagaimana lazimnya seorang bocah kecil, Muhammad begitulah beliau biasa dipanggil sejak kecil tidak jauh berbeda dengan teman sebaya beliau. Beliau sering bermain dan bergaul dengan teman-temannya. Meski demikian, beliau tergolong anak pendiam.  

Syahdan, Kyai Noerhasan di masa kecil sampai remaja sering bersama, bermain dan bercengkerama dengan teman sebaya beliau, pendidikan beliau pun tak jauh berbeda dengan teman yang lain. Tapi saat malam tiba, kira-kira jam 10, beliau masuk ke dalam kamar membawa handuk besar.

Lantas mematikan lampu templok dan tidur sampai Subuh. Namun anehnya, setelah menikah ternyata beliau mampu mengajar kitab-kitab besar, padahal mengaji beliau biasa-biasa saja. “Dapat (ilmu) dari mana Kyai Noerhasan itu, saya heran,”ungkap teman masa kecil beliau” Mad Sekargadung, dengan kagum. 

3.1 Pendidik yang Telaten dan Ikhlas 
Kendati tak ingin menjadi Kyai, Kyai Noerhasan dengan penuh tanggung jawab tetap mengajar santri-santri yang ingin mengaji pada beliau. Setiap pagi, kira-kira pukul 8, beliau membacakan kitab pada mereka. Baik santri yang bermukim di Daerah I sendiri, maupun yang bermukim di Daerah-Daerah barat.

Adapun kitab yang dibaca adalah Iqna’, Fathu al-Qorib; sedangkan yang Tasawuf kitab Bidayatu al-Hidayah. Tak cukup itu, beliau juga menyelenggarakan pengajian kitab setelah Shalat Subuh, Dzuhur dan Ashar bagi santri Daerah I dengan kitab-kitab kecil, seperti Safinatu al-Najah, dan Jurmiah. Juga Kailani, Kafrawi, dan Mutammimah, yang diikuti oleh KH. Nawawi Abdul Djalil dan Mas Nawawi Ma’shum . Khusus jam 11 pagi, beliau membacakan kitab Ihya’ Ulumi al-Din, Fathu al-Mu’in dan Fathu al-Wahhab untuk para anggota keluarga dan Habaib dari Pasuruan.  

Ketelatenan dan keikhlasan beliau dalam mengajar santri beliau tampak dengan jelas, bagi siapa pun yang melihat beliau. Sebab beliau tak memandang banyak dan sedikitnya orang yang mengaji. Jadi walau pun santri yang mengaji hanya tiga atau empat orang, beliau tetap layani dengan baik. Setiap hari beliau seakan tak pernah lelah untuk beramal, utamanya dalam mengajar. 

Kyai Noerhasan tidak hanya mengajar kitab, beliau juga mengajar Al-Qur’an. Setiap selesai Shalat Maghrib, beliau mengajar Al-Qur’an pada santri-santri beliau. Caranya dengan bergilir satu persatu maju ke hadapan beliau. Beliau membacakan terlebih dahulu, lalu menyuruh santri yang mendapat giliran untuk membaca. Hal itu terus bergilir sampai selesai.

3.2 Cikal Bakal Pembangunan Daerah I 
Dorongan sifat khumul (low profile) dan rasa tak ingin menampakkan diri yang dimiliki, rupanya memaksa Kyai Noerhasan setelah menikah, untuk memilih berpisah dari keramaian santri dan suasana pondok. Tepatnya di selatan lapangan Desa Sidogiri. Di dalemnya itu, beliau mengadakan pengajian pada orang kampung setiap malam Selasa dan malam Jum’at. Selain itu, setiap malamnya beliau juga mengajar mengaji Al-Qur’an pada anggota keluarga beliau.

Hingga akhirnya, sekitar tahun 50-an, datang dua orang bersaudara dari Magelang Jawa Tengah bernama mas Nawawi dan Abdul Ghafur. Keduanya berkelana, berjalan dari Jawa Tengah tanpa tujuan sampai ke Pasuruan. Mendengar kesohoran Kyai Hamid Pasuruan, keduanya sowan pada beliau dan bermaksud mondok sekaligus menjadi khadam, karena mereka tak punya biaya. Namun oleh Kyai Hamid keduanya disuruh ke Sidogiri, untuk berguru pada Kyai Noerhasan Nawawie.  

Karena taraf ekonomi Kyai Noerhasan juga bisa dibilang miskin, beliau tak bisa menanggung keduanya. Maka dari itu, kedua santri Kyai Noerhasan ini kalau malam mengaji pada beliau, dan siangnya bekerja sebagai pandai besi, membuat alat pertanian seperti aritpacul, lempak, dsb. Dengan hasil yang sedikit itu, mereka berdua membiayai hidupnya sendiri.

Bermula dari dua santri tersebut, lama-kelamaan banyak santri yang ngalong (mengaji dari rumah masing-masing) pada Kyai Noerhasan, sehingga Kyai Cholil mendirikan sebuah langgar kecil klenengan. Yakni langgar yang separuh bagian bawahnya berbahan batu bata, dan bagian atasnya terbuat dari gedek/anyaman bambu. 

Seiring perjalanan waktusantri beliau makin hari makin bertambah. Langgar yang semula terbuat dari anyaman bambu terpaksa dipugar dan diganti bangunan tembok. Lalu dilengkapi dengan dua pondokan yang terbuat dari anyaman bambu di depan bagian utara langgar, tepat di bawah pohon mangga.

Santri beliau yang menetap hanya berkisar 5 sampai 10 orang, yang beralaskan kelaras (daun pohon pisang yang sudah kering). Namun pada akhirnya, santri yang menetap mulai berdatangan, di antaranya dari Desa Karangpandan, Kepuh, Cobanjoyo, Kejayan, dsb, hingga santri beliau mencapai kira-kira 40-an. 

Sesuai instruksi dari Kyai Sa’doellah, yang ketika itu menjabat Ketua Umum PP. Sidogiri, bekas Daerah A yang akan dipugar menjadi bangunan tembok dua tingkat yang berupa cangkruk dari kayu dipindah ke Daerah I.“Wis deleen ndik Kang ‘Mad ae,” ungkap beliau pada sebagian Pengurus. Maka resmilah mereka memindah kamar cangkrukan itu, dan diletakkan berjejer dari barat ke timur menghadap selatan.  

Sedangkan bangunan Daerah I bagian timur yang menghadap ke barat sekarang, adalah hasil pembangunan Kyai Noerhasan melalui dana yang dikumpulkan dari hasil ‘mengisi’ pecut dan rotan (penjalin) dengan ilmu tenaga dalam di masa meletusnya Gestapu PKI. Namun belum sampai ditempati, Kyai Noerhasan terlebih dahulu pulang ke Rahmatullah. 

4. Teladan Beliau

4.1 Sosok Ayah yang Penyayang 
Sebagai seorang ayah sekaligus pemimpin keluarga, sikap Kyai Noerhasan terhadap istri dan putra-putri beliau sangat perhatian dan penuh kasih sayang. Kesabaran dan ketelatenan beliau dalam mendidik keluarga beliau untuk selalu tawakal dan sabar, adalah potret dari keluarga sakinah.

Semua itu tercermin dari sikap keseharian beliau yang supel dan penuh perhatian. Bahkan beliau menggendong sendiri putra-putri beliau, dan tidak pernah memarahi mereka atau mengikat dengan aturan yang berat. Beliau memberi mereka kebebasan. Asalkan tidak bertentangan dengan Syara’, mereka beliau biarkan. 

Rupanya, penekanan yang beliau lakukan dalam hal pendidikan adalah dengan bentuk aplikatif. Terbukti, kewajiban memakai hijab (baca: kerudung) bagi orang perempuan betul-betul diterapkan pada semua anggota keluarga beliau yang perempuan.

Sampai-sampai santri tidak tahu siapa Nyai dan Ning mereka, karena jarang keluar rumah. Dan untuk mendidik kebiasaan dalam beribadah, beliau sering mengajak putra beliau pergi melaksanakan Shalat jamaah. Bahkan ada putra beliau yang sering diajak Jumatan, meski masih belum mukallaf (belum baligh).  

Pendidikan seperti inilah yang paling efektif dalam membangun karakter yang penuh dengan kesopanan, sesuai yang digambarkan dalam adagium Arab, “Lisanu al-hal afshahu min lisani al-maqal”. Perbuatan jauh lebih berpengaruh daripada perkataan. 

Kyai Noerhasan juga tak pernah bosan menemani putra-putri beliau untuk sekedar mendongeng tentang para nabi dan para sahabat, disaat mereka menjelang tidur.

4.2 Perhatian pada Anak Kecil 
Perhatian dan kasih sayang Kyai Noerhasan pada anak kecil sangat nampak, seakan-akan beliau bukanlah seorang Kyai besar yang disegani. Tak jarang beliau mengajak mayoran (makan bersama dalam satu wadah ala pesantren) dengan anak-anak kecil yang mengaji pada beliau. Dan ketika tiba musim layangan, yang merupakan kesenangan anak kecil, beliau sering menemani mereka dan memberikan arahan.

Dan kesabaran Kyai Noerhasan pada anak kecil tak diragukan lagi. Beliau pernah menyuruh Mas Haudi keponakan Nyai Muqimah yang tinggal serumah dengan beliau untuk membeli rokok eceran, sekaligus disuruh membeli minyak gas oleh Nyai.

Di tengah perjalanan pulang, tanpa sengaja rokok titipan Kyai Noerhasan masuk ke dalam botol gas. Perasaan takut dan waswas pun bercampur menjadi satu, sehingga tak berani untuk pulang. Sampai-sampai Kyai Noerhasan mencarinya.  

Setelah ditemukan, diluar dugaan, sesudah Mas Haudi menceritakan kejadian sebenarnya, Kyai Noerhasan malah mengatakan, “Ndak opo-opo, enak malah tambah barak (Tak apa-apa, malah enak tambah menyala). Mendengar tanggapan Kyai Noerhasan seperti itu, legalah hati Mas Haudi. Disitulah letak kehati-hatian Kyai Noerhasan dalam menjaga perasaan orang lain. 

Kedekatan beliau dengan anak-anak kecil, juga tampak pada saat-saat di mana biasanya orang hilang kesabaran karena lelah. Selepas Isya kira-kira jam 9 malam, anak-anak kecil yang mengaji dan putra-putri beliau berkumpul di dalem belliau, untuk beliau dongengi orang-orang saleh sambil duduk di kursi goyang dan minum kopi. Ceritanya pun dibuat seru bak cerita dalam film. Untuk membuat penasaran mereka, beliau atur ceritanya dengan sistem bersambung tiap malam.

4.3 Dekat semua Saudara Beliau
Kendati dalam keseharian beliau Kyai Noerhasan terkesan pendiam, tapi hubungan beliau dengan keluarga sangat akrab. Beliau sering berkunjung ke rumah adik-adik beliau setiap ada kesempatan. Setiap selesai halat Jum’at, Kyai Noerhasan tidak langsung pulang ke dalem beliau, tetapi masih menyempatkan diri untuk silaturahim ke rumah saudara-saudara beliau. Hal itu beliau lakukan setelah pulang dari pesarean (makam leluhur).  

Nyai Gondang, ibu KA Sa’doellah Nawawie, adalah orang pertama yang beliau sambangi. Karena beliaulah satu-satunya ibu Kyai Noerhasan yang masih hidup. Setelah itu, Kyai Noerhasan meneruskan ke dalem Nyai Fatimah (kakak perempuan beliau) di timur dalem Kyai Sa’doellah. Kemudian ke dalem kakak perempuan beliau dari ayah, Nyai Hanifah (ibu KH. Abdul Alim bin Abdul Djalil), dan dilanjutkan ke dalem KH. Cholil. Baru setelah itu beliau pulang.  

Meski beliau putra tertua dalam keturunan Kyai Nawawie, sikap hormat dan takzim pada  semua saudara tetap melekat pada diri beliau. Sehingga semua saudara beliau juga sangat takzim dan akrab pada beliau, terutama KH. Hasani Nawawie. Sedangkan KH. Cholil Nawawie, adiknya yang menjadi Pengasuh PP. Sidogiri, sering bermakmum pada Kyai Noerhasan saat Shalat berjamaah Magrib di surau Daerah I.  

Pernah saat Kyai Noerhasan pulang dari berkunjung ke dalem Kyai Cholil setelah Jum’atan, di tengah perjalanan beliau berjumpa Kyai Hasani yang baru pulang dari Daerah I. Adiknya itu mengajak beliau berkunjung ke dalem Kyai Cholil, “Ayo nang umahe Kang Cholil, Kang ‘Mad!”.

Tanpa merasa keberatan, beliau mengiakan, “Ayo!”. Sesampai di dalem Kyai Cholil, tentu saja Kyai Cholil menegur Kyai Hasani, “Lo ‘Ni, kok dijak rene maneh Kang ‘Mad? Sik tas teko kene! (Lo ‘Ni, Kang ‘Mad kok diajak ke sini lagi? Barusan dia dari sini!)”. “Iyo Kang ‘Mad? (Benar begitu, Kang ‘Mad?),” tanya Kyai Hasani heran. “Ben awakmu onok barenge (Biar kamu ada temannya),” timpal beliau dengan penuh kesabaran.

4.4 Bergaul dengan Masyarakat
Sikap Kyai Noerhasan yang tertutup dan tak banyak bicara itu, tidak menjadikan beliau selalu mengurung diri di rumah. Tetapi beliau juga sering bergaul dengan masyarakat sekitar pesantren. Beliau dekat dengan mereka tanpa memilah-milah antara si kaya dan si miskin. Dan beliau selalu datang bila diundang masyarakat, meskipun dalam satu malam ada tiga undangan sekaligus.

Keakraban Kyai Noerhasan dengan masyarakat sekitar sangat kental. Bahkan tak jarang beliau duduk-duduk di warung kopi, untuk sekedar ngopi dan rokok-rokokan bersama masyarakat sekitar. Beliau juga sering pergi sendiri ke pasar setiap hari pasaran seperti Kamis dan Ahad, dengan mengajak putra beliau Mas Fuad. 

Kalau diundang oleh masyarakat Sidogiri, Kyai selalu hadir, bahkan lebih awal dari undangan yang lain. Terlebih kalau yang mengundang adalah orang miskin. Maka beliau pasti akan lebih mengutamakannya.

Pernah suatu hari Kyai diundang tetangga beliau yang bernama Wak Siti, seorang janda tua yang miskin, rumahnya berdinding gedek (terbuat dari anyaman bambu). Pas setelah Shalat Isya, beliau segera berangkat menuju rumah Wak Siti itu. Setelah sampai, ternyata belum ada orang sama sekali. Beliau pun ikhlas menunggu para undangan yang lain.  

”Sanjungan dan pujian adalah racun yang mematikan”. Sebuah adagium Arab yang menggambarkan bahwa sanjungan tak lain akan membuat mental seseorang sombong. Rupanya hal itu tak diinginkan Kyai Noerhasan, sehingga menjadikan beliau hengkang dari segala macam penghormatan.

Terbukti ketika bertemu para santri, beliau selalu menghindar, agar tidak dihormati secara berlebihan. Kyai juga selalu menghindar bila masyarakat mengistimewakan beliau. Kalau menghadiri undangan kadang duduk menyepi, dengan duduk di tempat terpisah dari keramaian.

4.5 Berbahasa Halus pada Santri
Pada santri pun, Kyai Noerhasan bersikap santun dan tidak suka main perintah. Sampai-sampai beliau membeli rokok sendiri ke toko. Kalau jeding beliau kebetulan kosong airnya, maka beliau menimba sendiri. Baru kalau ada santri yang meminta izin untuk menimbakan, maka beliau memberi kesempatan. Beliau tidak pernah memarahi mereka. Bahkan saat ada santri bersuara ramai, beliau tidak langsung marah, tapi hanya melihat saja. Selain itu, Kyai Noerhasan selalu memakai bahasa yang halus (Jawa: boso) saat berkomunikasi dengan santri-santri beliau. 

Ada tanda menarik untuk santri beliau yang ingin mengaji. Biasanya, jika akan memulai pengajian pagi, beliau membuka jendela rumahnya. Nah, bila melihat jendela telah terbuka, santri yang ingin mengaji pun bersiap-siap. Sebaliknya, kalau jendela masih tertutup, mereka menunggu di Daerah.  

Kyai Noerhasan istikamah mengimami Shalat berjamaah lima waktu di surau Daerah I, depan rumah beliau. Dan peserta jamaahnya bukan hanya dari kalangan santri, anak-anak kampung pun turut Shalat di belakang Kyai. Ada cerita lucu seputar jamaah itu. Suatu hari, diadakan pertandingan sepakbola di lapangan Desa Sidogiri, yang kebetulan berada tepat di utara Daerah I, di seberang jalan raya.  

Tentu saja peserta jamaah ingin segera menonton pertandingan tersebut, tapi mereka harus Shalat Asar dulu. Kyai Noerhasan sudah tahu gelagat itu, akhirnya beliau mengakhirkan jamaah Asarnya. Santri-santri dan anak kampung pun mengintip-intip ke lapangan, sambil menunggu Kyai Noerhasan dengan harap-harap cemas. Namun Kyai tetap menunda-nunda untuk keluar dari dalem. Beliau mengungkapkan hal itu, “Lak sembahyang tah, pentingno! (Mestinya Shalat yang diutamakan!)”.  

Ketika melihat santrinya beralaskan kelaras (daun pisang yang kering), beliau mengambil sebuah tikar dan memberikannya pada santri tersebut. Dan jika Kyai Noerhasan pulang dari undangan, berkatnya diberikan pada santri beliau. Hal ini menggambarkan kesabaran beliau dalam mendidik, dan kasih sayang beliau pada semua santrinya.  

Untuk menanamkan sifat tawaduk dan pendalaman spiritual, santri-santri beliau di Daerah I lebih banyak digembleng dengan Riyadlah Bathin (istighasah) setiap malam. Sehingga sifat keseharian santri-santri beliau penuh ketawadukan dan selalu berzikir.

Bahkan hal ini menjadi ikon tersendiri bagi santri beliau. Sampai-sampai kalau terlihat seorang santri yang sifatnya tawaduk, hidup dengan kesederhanaan dan kuat berzikir lama, maka dapat diterka bahwa ia adalah santri yang bermukim di Daerah I.

4.6 Kyai Sufi, Tanpa Ambisi
Dalam dunia Tasawuf, dikenal praktik Zuhud (asketisisme). Orang yang telah tenggelam di dalamnya, hasrat dan keinginannya akan keduniawian menghilang atau berpaling sama sekali. Adapun bentuk dan simbol kefakiran, hanyalah potret faktual kezuhudan semata. Kemudian zuhud dikhususkan untuk mendeskripsikan sosok seorang sufi. 

Rupanya sikap zuhud dan bergelut dalam dunia sufisme adalah jalan hidup yang ditempuh Kyai Noerhasan. Sehingga sikap dan kehidupan sehari-hari beliau merupakan sebuah gambaran aplikatif ajaran zuhud dan sufisme. Pada istri dan putra-putri pun beliau tanamkan betapa indahnya hidup penuh dengan kezuhudan.  

Diceritakan bahwa atap rumah beliau banyak yang bocor, sehingga kala hujan turun membasahi bumi, banyak air yang menetes ke dalem beliau. Istri beliau Nyai Muqimah, menegur dan memintanya memanggil santri, guna memperbaiki genteng bocor tersebut.

Namun Kyai Noerhasan menjawab, “Pindah saja ke tempat yang tidak bocor, kan ada!. Rumah yang beliau bangun pun tak ditutupi dengan kaca, seperti lazimnya rumah yang lain. Sampai-sampai salah satu putra beliau mengatakan dengan menyindir, “Kok bisa ya, kaca rumah ini pecahnya bersamaan?!”. Itulah potret dari fakta kezuhudan beliau. 

Hidup Penuh Kesederhanaan 
Dalam kitab monumental Syekh Ibnu Atha’illah al-Hikam, disebutkan bahwa seorang hamba yang didudukkan Allah  pada makam al-Tajrid atau al-Inqitha’ ‘ani al-Asbab, akan memperoleh hasil tanpa upaya. Dan bila beliau masih bersikeras melakukan sebuah usaha, maka usaha beliau bukan membuahkan hasil, tapi sebuah kemunduran.

Bisa jadi Kyai Noerhasan termasuk hamba Allah SWT. yang digambarkan Ibn Atha’illah tersebut. Beliau tidak hubbud dunya (cinta dunia), dan selalu tawakal serta qana’ah (menerima apa adanya). Istilahnya, beliau sudah sampai pada tataran Inqitha’ ‘ani al-asbab. Seseorang yang berada pada tingkatan tersebut sudah tidak lagi menghiraukan dunia. 

Beliau sangat bersahaja, tidak mengharapkan nilai lebih dalam kehidupan sehari-sehari beliau, sehingga dalam hati beliau tak terbesit keinginan mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Kesederhanaan ini selalu terpancar dalam semua sisi kehidupan beliau. Apalagi dalam urusan keluarga, beliau sangat sederhana, bahkan terkesan memprihatinkan.

Setiap harinya, beliau menghidupi diri dan keluarga beliau hanya dari hasil sebidang tanah yang dibagi-hasil dengan si penggarap sawah. Saat panen, Kyai Noerhasan hanya mendapat dua sak padi. Dengan hasil seminim itu, beliau harus mencukupi makan keluarga beliau satu tahun.  

Agar beras yang tersedia dapat mencukupi semua anggota keluarga, beras yang seharusnya ditanak menjadi nasi, oleh beliau malah dijadikan jenang. Dengan hanya menyediakan beras satu cangkir setiap hari dan airnya diperbanyak, secara otomatis beras yang ada mengembang. Dus beras sedikit, dapat mencukupi seluruh anggota keluarga.

Jenang inilah yang menjadi makanan pokok keluarga beliau. Kalau kebetulan tak ada makanan sama sekali di rumah beliau, beliau berpuasa. Jika hendak belanja ke pasar, Kyai Noerhasan membawa dua atau tiga buah kelapa yang dijual terlebih dahulu. Tapi anehnya, walau begitu peliknya ekonomi beliau, beliau tak pernah mengeluh, bahkan sangat menikmati dan bahagia.  

Malah Kyai Noerhasan terkesan bangga dengan kemiskinan beliau. Pakaian sehari-seharinya pun sangat sederhana, bahkan bisa dikatakan tak layak dipakai seorang yang bergelar Kyai.

Sampai-sampai songkok putih yang dipakainya berwarna coklat, dari lamanya tak dicuci. Pernah Nyai meminta beliau mengganti baju yang dikenakan ketika akan menghadiri undangan, dan memberi sepotong baju yang terbilang pantas sebagai gantinya. Namun beliau tidak berkenan, malah melemparkan baju pemberian istrinya tersebut.

Ada cerita menarik tentang baju Kyai Noerhasan. Saat Panca Warga putra Kyai Nawawie bin Noerhasan undangan ke Bondowoso dan menginap di sana, menjelang tengah malam Kyai Sa’doellah melihat baju saudaranya yang paling memprihatinkan adalah milik kakak tertua beliau, Kyai Noerhasan. Maka malam itu juga baju itu beliau cuci dan setrika, lalu dikembalikan ke tempat semula.  

Paginya, Kyai Noerhasan kebingungan mencari baju beliau. Ternyata pada bajunya sendiri beliau pangling. Beliau tak mau mengambil satu-satunya baju yang tersisa di hanger, yang tak lain adalah milik beliau sendiri. Beberapa lama kemudian, Kyai Sa’doellah berkata, Itu baju sampean, Kang ‘Mad!”.

Tapi Kyai Noerhasan menyangkal terus, Bukan, bukan ini. Bajuku jelek, ini kan bagus, sudah disetrika lagi!”Setelah lama berdebat, akhirnya Kyai Sa’doellah mengaku dirinyalah yang mencuci dan menyetrika baju itu.  

Namun Kyai Noerhasan kurang berkenan dengan baju yang terlalu rapi. Alasan beliau sederhana, karena ingin bergerak bebas. “Wah awakmu iki ‘Loh, aku ndak enak gawe klambi strika-strikaan ngene. Lek gawe barang ngono male ndak bebas, kate senden ngene wedhi lungset. Lek gae klambi maeng iku kan bebas, iso senden nang endi-endi (Wah kamu ini ‘Loh, aku merasa tidak nyaman memakai pakaian setrikaan begini. Kalau memakai pakaian setrikaan, malah tidak bebas. Mau bersandar, takut kusut. Kalau baju bukan setrikaan, bebas. Bisa bersandar di mana saja),” ungkap beliau. Semua itu cerminan kesederhanaan beliau.

Ikhlas dan Sabar 
Segala tindak-tanduk Kyai Noerhasan adalah manifestasi dari kesabaran beliau. Pernah suatu ketika beliau membuka peti milik beliau, ternyata dalam peti itu ada ular yang langsung menggigit tangan beliau. Berbagai macam obat sudah dicoba, tapi tak juga membuahkan hasil. Namun meski sepertinya sangat menderita, beliau tidak pernah mengeluh. Juga saat putri beliau meninggal, beliau tak meneteskan air mata sedikit pun.  

Khumul (Low Profile)  
Sikap Kyai Noerhasan sehari-hari terkesan menyimpan segala atribut ke-Kyai-an dan ketokohan dan penuh nuansa kesufian, istilah pesantrennya khumul (low profile). Beliau bersikap rendah hati dan tidak banyak bicara. Dan kalau berjalan kepala beliau menunduk. Dari pandainya menyimpan gelar Kyai yang disandang, sampai-sampai orang di Pasar Sidogiri yang jaraknya ± 100 meter dari dalem beliau banyak yang tidak tahu beliau putra Kyai besar Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri (PPS),

Pernah suatu hari Habib Abdullah bin Abdul Qodir Bilfaqih, Pengasuh PP. Darul Hadis Malang, memberi ceramah di Masjid Jami’ Sidogiri. Saat itu, keempat saudara laki-laki Kyai Noerhasan  sudah hadir di tempat, sedangkan Kyai Noerhasan datang terlambat. Setelah masuk ke masjid, beliau bersalaman dengan Habib Abdullah.

Ternyata Habib tersebut tidak tahu bahwa yang bersalaman dengan beliau adalah Kyai Noerhasan, putra tertua Kyai Nawawie Sidogiri. “Pak haji dari mana?” tanya Habib Abdullah dengan bahasa Jawa halus pada Kyai Noerhasan. Melihat hal itu, Kyai Cholil Nawawie yang ada di sebelahnya menjawab, “Anu ‘Bib, niku kakang kulo! (‘Bib, itu kakak saya!)”. 

Habib Abdullah yang hafal dengan lika-liku Hadis, langsung membacakan sebuah Hadits, “Akhu al-kabir fi manzilati al-walid, lahu al-huquq, ‘alaihi al-huquq” (Kedudukan saudara tertua sama dengan kedudukan orang tua, beliau punya hak dan kewajiban yang sama).“Jadi,” lanjut Habib, “kedudukan saudara tertua itu sama dengan orang tua. Kalau sampean punya perlu apa-apa mengenai pondok, sampean beritahu dulu Kyai Noerhasan. Kalau Kyai Noerhasan setuju, laksanakan. Kalau tidak, ya jangan dilaksanakan!”.   

Bahkan pernah ada wali santri yang tidak mengenali Kyai Noerhasan. Ceritanya, suatu hari seorang wali santri bersilaturahim pada Kyai Cholil salah satu adik Kyai Noerhasan yang menjadi Pengasuh PP. Sidogiri kala itu dan kebetulan Kyai Noerhasan juga ada di sana, duduk di samping wali santri tersebut.

Si wali santri bertanya pada Kyai Noerhasan, “Wak haji saking pundi?”. Mendengar pertanyaan wali santri itu, Kyai Cholil buru-buru menimpali, “Anu, niku kakang kulo!”. Demikianlah kelihaian Kyai Noerhasan dalam menyimpan nama dan kedudukannya, sehingga banyak orang yang tak tahu bahwa beliau seorang Kyai.

Dalam hal ini, beliau pernah mengungkapkan alasannya bersikap khumul,“Sak jange wong bersih iku, duduk wong sing bersih klambine. Sing gara’no wong bersih, wong suci, iku wong sing bersih lan suci atine (Sebenarnya, orang yang bersih itu bukanlah orang yang bersih pakaiannya. Yang menjadikan orang itu bersih atau suci, adalah bersih dan sucinya hati).

Keistikamahan & Kesenangan Beliau 
Ungkapan “al-Istikamah ainul karamah (Istikamah adalah esensi dari kekeramatan),” adalah sebuah gambaran akan tingginya nilai istikamah dalam segala aktivitas sehari-hari. Keseharian Kyai Noerhasan tak lepas dari aktivitas ibadah, yang beliau jalani dengan istikamah. Di antaranya yang sangat tampak adalah sahirul layali (tidak tidur malam).

Setiap malam beliau bersujud dan tafakkur berzikir, menghambakan diri pada Dzat Yang Maha Agung. Shalat jamaah pun tak pernah beliau tinggalkan. Bahkan ketika sakit parah, beliau tetap Shalat berjamah. Setiap Shalat lima waktu, beliau mengimami di surau Daerah I. Kemudian usai Shalat Maktubah, beliau istikamah membaca Asmaul Husna, surat al-Fatihah dan dilanjutkan dengan membaca tujuh kali ayat, “Laqad jaa’a kum rasuulun min anfusikum…”dst (dua ayat terakhir surat at-Taubah).

Dan diceritakan bahwa bacaan ini juga diistikamahkan oleh keempat saudara lelaki Kyai Noerhasan. Tidak diketahui apakah bacaan tersebut memang di-ijazah-kan khusus oleh Kiai Nawawie bin Noerhasan, abah mereka, atau tidak. Yang jelas, bacaan tersebut seakan menjadi bacaan wajib putra-putra Kyai Nawawie yang tergabung dalam Panca Warga.

Setiap gerak dan diam Kyai Noerhasan seolah-olah selalu berzikir pada Allah SWT. Sampai-sampai suatu ketika, dari mantapnya beliau berzikir, saat turun dari masjid dan disapa KA Sa’doellah Nawawie adiknya beliau tidak menoleh.

Ketika berangkat untuk Shalat jamaah, utamanya Shalat Jumat, tasbih di tangan tak pernah beliau tinggalkan, berbaju hitam, bersurban merah dipadu dengan songkok biru, plus bakiak yang memang ciri khas sandal pesantren. Dan pada senja hari menjelang Maghrib, biasanya beliau sambil memegang tasbih, berdiri di depan pintu dalem beliau. Kadang juga sambil berjalan.  

Kegemaran beliau adalah mengumpulkan barang antik seperti batu cincin Merah Delima, tongkat yang bentuknya seperti bambu yang berasal dari Mekkah, dll. Hebatnya, beliau juga dikejar oleh barang antik. Pernah beliau mengambil tiga buah mangga di depan rumah beliau, dan diberikan pada seseorang dari Nongkojajar Pasuruan.

Setelah dikupas, ternyata dalam biji mangga tersebut terdapat Merah Delima. Salah satu benda antik yang dipercaya mengandung nilai mistik dan dapat membuat sang empunya kebal itu lantas dikembalikan pada Kyai Noerhasan, sebagai orang yang lebih berhak atas barang tersebut.  

Sedangkan makanan yang beliau sukai, adalah nasi yang dibuat jenang, nasi liwet dan wijen yang ditumbuk halus. Selain itu, beliau senang sekali mendengarkan radio, apalagi kalau ada qiraat Al-Qur’an. Beliau juga istikamah dengan wiridan rutin beliau yang berbunyi, “Wa ashmim wa abkim tsumma a’ma ‘aduwwana…”. Biasanya wiridan ini beliau baca sehabis Maghrib dan Subuh.

Tidak Mau Menjadi Pengasuh Pesantren 
Salah satu keunikan Pondok Pesantren Sidogiri (PPS) yang mengagumkan adalah sifat tidak ambisius dan saling mengalah yang dimiliki Kyai-Kyainya. Ketika Pengasuh PP. Sidogiri KH. Nawawie bin Noerhasan, berpulang ke Rahmatullah pada 25 Syawal 1347 H, kepengasuhan PP. Sidogiri sempat kosong selama satu tahun lebih. 

Demikian itu dikarenakan kelima putra beliau masih kecil-kecil, dan menantu pertama beliau, KH. Abdul Adzim bin Urip, tidak mau dijadikan Pengasuh. “Djalil iku entenono! (Tunggu datangnya Djalil!),” kata beliau. Yang dimaksud adalah KH. Abdul Djalil bin Fadlil, yang juga menantu Kyai Nawawie, yang sedang berada di Makkah. Waktu itu, perjalanan Indonesia Makkah lama, sekitar 7 bulan, karena menunggu kapal. Kyai Abdul Adzim mengirim surat pada Kyai Abdul Djalil untuk segera pulang.  

Sesuai perintah Kyai Abdul Adzim, para santri dengan sabar menunggu datangnya Kyai Abdul Djalil. Mereka tidak boyong. Kalau pun ada yang pindah sementara, mereka kembali setelah datangnya Kyai Abdul Djalil.

Ternyata Kyai Abdul Djalil bersikap sama dengan Kyai Abdul Adzim, beliau tidak mau menjadi Pengasuh. Namun karena Kyai Abdul Adzim tetap tidak bersedia, maka Kyai Abdul Djalil menerima amanat berat ini. Dan kepengasuhan PP. Sidogiri tidak pernah dipegang dua orang, kecuali di masa kedua menantu Kyai Nawawie tersebut. 

Maka putra-putra Kiai Nawawie yang masih kecil diasuh oleh Kyai Abdul Djalil. Beliau mengajar mereka, dan memenuhi kebutuhan pangan mereka sehari-hari. Sehingga kelima putra Kyai Nawawie itu tumbuh dewasa.  Pada tahun 1947, Kyai Abdul Djalil syahid ditembak Belanda sebagai pejuang pembela Kemerdekaan Indonesia.

Maka berembuglah lima putra Kyai Nawawie yang saat itu telah dewasa untuk menentukan pengganti Kyai Abdul Djalil. Mereka biasa disebut Panca Warga, yakni KH. Noerhasan, KH. Cholil, KH. Siradjul Millah-Waddin, KA Sa’doellah, dan KH. Hasani. Dalam rapat tersebut, yang dinginkan menjadi  Pengasuh PP. Sidogiri adalah Kyai Noerhasan, karena beliau yang tertua.  

Tapi beliau tidak berkenan menjadi Pengasuh, dengan alasan dalem beliau ada di timur, jauh dari pusat pesantren. Beliau berdalih tidak sanggup menjadi Pengasuh yang harus bolak-balik ke barat dan ke timur, untuk memberikan pengajian kitab pada santri di surau Daerah H, di barat. “Ojok aku sing dadi Pengasuh, omaku adhoh. Mosok aku kate wira-wiri bendino? Cholil ae, bhen enak, cidek omahe. (Jangan saya yang menjadi Pengasuh, rumah saya jauh. Masak saya akan bolak-balik ke barat-ke timur setiap hari? Cholil saja, biar enak, karena rumahnya dekat)”.  

Akhirnya diputuskan Kyai Cholil yang menjadi Pengasuh PP. Sidogiri. Sehingga dalam peralihan pucuk kepemimpinan PP. Sidogiri saat itu tidak terjadi kekosongan, sebagaimana terjadi sebelumnya saat peralihan kepengasuhan dari Kyai Nawawie bin Noerhasan pada Kyai Abdul Djalil.

Dan memang setelah Kyai Djalil wafat, Kyai Cholil  mendapat isyarah untuk menjadi Pengasuh saat sowan pada KH. Hamim Podokaton. Saat itu Kyai Hamim mengatakan, “Kanjeng Nabi bintangono!”. Entah apa artinya, yang jelas ucapan tersebut adalah isyarah untuk menjadi Pengasuh. Demikian kesimpulan riwayat dari KH. Abdul Alim Abdul Djalil dan KH. Fuad Noerhasan.  

Dalam  riwayat lain dari KH. Nawawie Abdul Djalil dan Mas Bahruddin Thoyyib, disebutkan bahwa Kyai Noerhasan menolak menjadi Pengasuh, dan Kyai Abdul Djalil menyerahkan kepengasuhan pada Kyai Cholil setelah Kyai Cholil pulang dari belajar di Makkah. Jadi beliau menjadi Pengasuh sejak masa Kyai Abdul Djalil masih hidup, yakni sejak usia 17 tahun.    

Lepas dari itu semua, karakteristik Kyai Noerhasan Nawawie yang selalu bersikap tawaduk, khumul (low profile) dan bersahaja, rupanya telah mendorong beliau untuk menolak menjadi Pengasuh PP. Sidogiri. Kedudukan sebagai Pengasuh pesantren besar ternyata tidak menyilaukan mata beliau.  

Malahan pada awal-awal kepindahan beliau ke area Daerah I, beliau tak berkenan menjadi Kyai yang mempunyai santri dan pondok. Namun KA Sa’doellah, adiknya, memerintahkan pada santri agar kamar cangkruk Daerah A yang dipugar, dipindah ke area dalem Kyai Noerhasan di timur. Dan Kyai Cholil, adiknya yang menjadi Pengasuh PP. Sidogiri, mendirikan surau untuk Kyai Noerhasan  di depan dalem beliau. 

Oleh karena itu, tak berlebihanlah kiranya bila Kyai Noerhasan disebut sebagai Kyai Sufi tanpa ambisi. Atau Putra Mahkota yang tak mau jadi raja. Suatu sikap yang patut dibuat pelajaran oleh para calon pemimpin.

5. Karomah dan Keistimewaan

5.1 Mengisi Pecut dan Penjalin di Masa PKI  
Selain terkenal akan sifat tawaduknya, Kyai Noerhasan juga termasyhur di kalangan masyarakat luas akan kemampuan beliau mengisi suatu barang dengan kekuatan magis. Pada awalnya, beliau tak dikenal mempunyai kemampuan supranatural seperti itu. Namun belakangan hari, saat meletusnya pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI), baru beliau dikenal oleh masyarakat luas memiliki kemampuan lebih tersebut.

Hal itu berawal dari sebuah kejadian. Suatu hari, saat suasana genting akibat pemberontakan yang dilakukan komplotan PKI dan pembunuhan para ulama, Kyai Noerhasan membuat pecut dari rotan yang diisi kekuatan tenaga dalam sebanyak 4 buah, lalu diserahkan pada santri yang mendapat giliran jaga.

Selang seminggu dari pembuatan pecut itu, ternyata ada 4 orang PKI yang akan menyusup ke Sidogiri dan berencana menyerbu dan menculik Kyai Sidogiri. (Sebelum kejadian itu, semua Kyai oleh pemerintah diperintah menyetorkan foto. Kyai-Kiai Sidogiri pun menyetorkan foto). Keempat PKI itu naik becak dari Warungdowo dengan membawa kotak besi, dan minta diturunkan di pertigaan Sidogiri.

Anehnya, sesampainya di jembatan timur dekat langgar wakaf, mereka minta diturunkan di sana, yang saat itu suasananya sangat gelap. Keganjilan ini menimbulkan kecurigaan di benak tukang becak yang mengantarkan mereka, apalagi peti yang dibawa berat sekali.   

Akhirnya, tukang becak itu meninggalkan mereka dan terus mengayuh becaknya ke Sidogiri. Sesampainya di Sidogiri, ia langsung menuju dalem Kyai Noerhasan. Di sana ia dijumpai Mas Ghazi, putra Kyai Noerhasan, yang sedang tidur-tiduran di depan dalem sambil dipijat khadam bernama Mas Anshari.

Lalu ia menceritakan keganjilan dari keempat penumpangnya tadi pada Mas Ghazi. Mendengar penuturan tukang becak itu, Mas Ghazi langsung memanggil Keamanan Daerah I masa itu, yang bernama mas Mukhsin. Mas Mukhsin diperintah untuk menggerakkan para santri menggerebek rumah salah seorang yang dicurigai sebagai antek PKI. 

Sedangkan mas Anshari, menemui Kyai Noerhasan yang sedang istirahat di dalem beliau. Oleh Kyai Noerhasan, ia disuruh menemui yang bermukim di barat. 

Baru sekitar pukul 2 dini hari, para antek PKI tersebut bisa dilumpuhkan setelah melalui perlawanan sengit menggunakan berbagai senjata. Mereka pun digelandang ke sebuah rumah di timur lapangan Sidogiri. Tetapi walaupun tertangkap, mereka tak bisa dibunuh, karena kebal senjata.

Akhirnya, melihat keanehan itu, Mas Ghazi menyuruh mas Anshari mengambil sebuah tongkat milik Kyai Noerhasan yang ada di dalem. Dengan sekali kibasan, dari tubuh PKI yang dipukul dengan tongkat tersebut, terpercik api dan ia langsung roboh. Walhasil, setelah pemukulan itu, keempat orang itu pun mempan senjata tajam. Akhirnya mereka dihabisi oleh masyarakat setempat.   

Setelah kejadian itu, nama Kyai Noerhasan termasyhur. Banyak masyarakat berbondong-bondong datang untuk mengisikan rotan pada beliau, baik dari sekitar Sidogiri maupun dari luar. Bahkan sampai ada tamu dari Malang yang membawa rotan satu truk penuh, sehingga rotan di dalem beliau menumpuk sampai atap. Walau Kyai Noerhasan tak menarik upah pada mereka, mereka tetap saja memberikan sedikit uang sebagai penghormatan dan rasa terima kasih pada beliau.  

Akhirnya, hasil uang Jaza’an itu beliau kumpulkan untuk membangun pemukiman santri Daerah I. Bahkan beliau melarang istri beliau mengambil uang tersebut sepeser pun. “Ojok ngame’ duwe’ iku, ngono gawe pondok,” kata Kyai Noerhasan. 

5.2 Berwujud Dua, Berbicara dengan Izrail 
Kekuatan adiku drati karamah memiliki banyak bentuk, misalnya kemanjuran doa, menempuh perjalanan jauh dalam waktu sesaat, mengetahui masalah ghaib yang tak bisa diindra, hadir di beberapa tempat berbeda, dsb. Yang semuanya dikhususkan pada para wali kekasih Allah SWT.

Rupanya KH. Noerhasan bin Nawawie adalah salah satu kekasih Allah SWT, yang memiliki kekeramatan semacam itu. Syahdan, ada salah satu tetangga beliau yang rumahnya berada di timur dalem beliau. Mata pencaharian tetangga beliau ini adalah menambal ban di bengkel depan rumah beliau setiap hari. Profesinya itu rupanya melalaikan dia, sampai-sampai setiap harinya tak pernah melaksanakan kewajiban Shalat lima waktu.  

Suatu hari saat berada di bengkel, ia melihat Kyai Noerhasan berjalan ke utara lapangan Sidogiri. Padahal waktu itu hari Jum’at, hari di mana semua umat Islam wajib menunaikan ibadah Shalat Jum’at berjamaah, apalagi saat itu jarum jam sudah menunjukkan tepat pukul 12 siang. Dalam hatinya, tetangga itu mengatakan, “Bagaimana Kyai Noerhasan ini? Orang Jumatan, kok jalan-jalan ke Ngempit! Katanya Kyai, kok tidak Jumatan!” 

Selang beberapa lama, suatu keanehan terjadi. Saat semua jamaah Jum’at pulang dari Masjid di barat pesantren, Kyai Noerhasan malah ikut pulang bersama mereka. Kejadian itu membingungkan si tetangga, hingga ia bertanya pada salah seorang jamaah, “Kyai Noerhasan itu tidak  Jumatan tah?”. Ternyata jawaban tak terduga yang ia terima, “Lo, Kyai ada di depan!”. Tentu saja ia makin keheranan.   

Maka dengan kejadian tersebut, tetangga Kyai Noerhasan yang tak pernah Shalat itu langsung sadar dan merasa bersalah terhadap apa yang selama ini ia lakukan. Akhirnya ia bertaubat dan menjalankan ibadah dengan tekun. Sehingga di akhir hayatnya ia menjadi hamba yang tekun beribadah demi mencapai husnul khatimah. Kejadian serupa juga pernah terjadi ketika Kyai Noerhasan diundang ke dua tempat berbeda dan bersamaan waktunya. Ternyata beliau dapat menghadiri dua undangan tersebut. 

Jarak jauh yang harus ditempuh beberapa hari, bagi seseorang yang mempunyai kedudukan wali di sisi Allah, bukanlah hal yang sulit untuk ditempuh cepat dalam sekedip mata. Karena menurut pandangan wali, dunia tak ubahnya lempengan kecil yang bisa dijelajahi hanya dengan satu langkah.

Pernah hal itu diungkapkan sendiri oleh Kyai Noerhasan pada khadam beliau mas Anshari, “Lek wali niku ‘Shor, ndelok jagad kidul bolong, ndelok jagad wetan bolong, ndelok jagad lor bolong. Dadi niku dados sak loyang ngoten, lek segoro niku sak kemiren jerone. (Seorang wali itu ‘Shor, melihat bumi bagian selatan, bolong, melihat bumi bagian timur, bolong; melihat bumi bagian utara, bolong. Jadi, luas bumi itu seakan seperti loyang atau talam besar. Sedangkan dalamnya lautan seolah hanya setinggi mata kaki)”. 

Suatu hari Kyai Noerhasan mengatakan pada khadam beliau, Saya besok ingin (makan) ikan Lele”. Diluar dugaan, ternyata keesokan harinya saat salah satu santri beliau mandi di sungai, di tengah asyiknya mandi ia diloncati ikan Lele. Maka ikan Lele itu ia berikan pada Kyai Noerhasan. 

Dan suatu hari ada Habib dari Kota Pasuruan hendak sowan pada Kyai Noerhasan. Sesampainya di lapangan, Habib itu uluk salam pada Kyai Noerhasan. Sedangkan Kyai yang berada di dalem, menjawab salam itu. Kata khadam beliau, Kyai menjawab salam sendirian tanpa terlihat ada orang yang beruluk salam.  

5.3 Kalau Belajar, Tambah Tak Bisa Mengajar 
Pengajian kitab Kyai Noerhasan dibagi menjadi dua bagian. Pertama, beliau mengajar pada anggota keluarga dan Habaib dari Pasuruan. Pengajian ini ditempatkan di dalem, pada jam 11.00 WIB. Kitab yang beliau ajarkan pada pengajian tersebut adalah Ihya’ Ulumiddin, Fathu al-Muin, dan Fathu al-Wahhab.

Kedua, beliau mengajar kitab pada santri. Untuk pengajian ini, beliau menempatkannya di surau depan dalem, waktunya malam hari. Kitab yang beliau baca untuk santri adalah kitab-kitab kecil, seperti Fathu al-Qarib, Sullamu al-Taufiq, dll. Kata beliau, “Lek ngaji ojok keh-akeh, engkok nggak muat (Kalau mengaji jangan banyak-banyak, nanti tidak muat).  

Ada keanehan pada diri beliau di saat mengajar. Sebab tak sejalan dengan kebiasaan yang ada. Kalau belajar terlebih dahulu sebelum mengajar, beliau malah tidak bisa mengajar.

Pernah hal itu diungkapkan pada santri yang mengaji, di saat beliau membacakan kitab Taqrib. Kata beliau dengan bahasa Madura, “Engkok bennean ben Kyai Cholil. Mun Kyai Cholil a muthala’ah; engkok mun amothala’ah sajen tak taoh (Saya berbeda dengan Kyai Cholil, adik saya. Kalau Kyai Cholil, sebelum mengajar muthala’ah dulu. Kalau saya muthala’ah dulu, malah tambah tidak tahu!). 

Dan seperti diceritakan sebagian murid beliau, ketika mengajar kitab pada santri, Kyai Noerhasan tidak memakai pengeras suara, padahal santri yang mengaji sangat banyak. Tapi anehnya, suara beliau terdengar lantang jauh sekali.

Dari tempat beliau mengajar, yakni surau Daerah I selatan lapangan Desa Sidogiri, suara beliau terdengar jelas sampai ke pertigaan jalan. Jaraknya kira-kira 50m. Padahal dalam mengajar, beliau bersuara biasa, tidak mengeraskan suaranya.  

Bahkan lebih aneh lagi sebagaimana diungkapkan salah satu santri yang mengikuti pengajian beliau kitab yang diambil dari peti khusus beliau saat pengajian, dan diajarkan pada santri, ternyata kitab itu-itu saja, tidak berubah.

Padahal yang diajarkan pada santri banyak macamnya, dari pagi sampai siang kitabnya selalu berganti, dari Tafsir Jalalain dan Iqna’, Durratu al-Nashihin dan Fathu al-Qarib. Dan ketika mengajar, Kyai Noerhasan seakan hafal pada apa yang ada di kitab, sehingga beliau cepat dalam memaknai, dan tidak pernah berhenti kecuali ada lafal yang butuh diterangkan.

5.4 Salam pada Imam di Makkah 
Berikut kisah menarik lainnya tentang karamah Kyai Noerhasan Nawawie. Ada seorang tokoh masyarakat atau tepatnya Kyai, bertamu ke dalem beliau. Tamu itu bercerita bahwa beliau selalu berkunjung ke Makkah setiap hari Jum’at, dan Jum’at depan beliau berencana ke sana lagi. Kata Kyai Noerhasan, “Nanti kalau ke Makkah, tolong sampaikan salam saya pada yang ngimami di sana!”.   

Maka pada hari Jum’at selanjutnya, ceritanya Kyai itu berangkat lagi ke Makkah. Setelah salam Shalat Jum’at, Kyai itu menyampaikan salam yang dipesankan Kyai Noerhasan, “Syekh, saya menyampaikan salamnya Kyai Noerhasan bin Nawawie Sidogiri”.

Tiba-tiba tempat berpijak Kyai itu berubah menjadi pohon yang besar, bukan Makkah seperti yang ada dalam perasaan beliau. Ternyata, Kyai itu telah dikelabui setan atau jin. Dan Kyai Noerhasan mengetahui hal itu lewat ketajaman Ainul bashirah (mata hati) yang beliau miliki.

Ketajaman Ainul bashirah yang dimiliki Kyai Noerhasan seakan memang keluar dari aura kewalian beliau. Selain terbukti dalam kisah salam di atas, hal itu juga terbukti pada saat putri beliau yang bernama Ning Luluk akan meninggal. Beliau sudah mengetahuinya sebelum terjadi.

Hal itu diungkapkan Kyai Noerhasan pada khadamnya. Suatu hari, beliau berbicara sendiri saat duduk-duduk di kursi berukir yang menjadi kebiasaannya. Padahal di sampingnya tidak ada siapa-siapa.

Selang tidak lama, khadamnya datang, lalu beliau menjelaskan bahwa yang datang barusan adalah Malaikat Izrail, yang katanya akan membawa pergi (mencabut nyawa) putrinya, Ning Luluk.

Selain itu, beliau juga menyaksikan bagaimana Malaikat Izrail membawa putrinya. Hal ini dituturkan pada khadamnya yang lain, “Awakmu mau turu tok, ndak ngerti mau onok Malaikat Izrail gowo anakku” (Kamu tadi tidur terus, tidak tahu kalau tadi Malaikat Izrail datang membawa pergi anakku).  

Suatu hari, saat khadam bernama Anshari menyapu halaman depan dalem, tiba-tiba ada seorang pengemis memakai baju putih dan pengemis itu dihadang. Ternyata dari dalam rumah, Kyai Noerhasan berkata, ”Masukkan ‘Shor!”. Pengemis itu masuk dan disambut dengan begitu hormat. Setelah itu Anshari ditanya oleh Kyai Noerhasan, Lo, tidak ‘salaman dengan orang tadi?”. “Tidak, Kyai,” jawabnya. Ternyata pengemis itu adalah seorang yang sering menemui beliau, dan diyakini sebagai tokoh misterius Nabi Khidir AS.

6. Pesan-Pesan
Pesan Kyai Noerhasan pada santri-santrinya, biasanya menekankan pentingnya bangun dan Shalat malam. Menurut beliau, rahmat Allah  akan diturunkan di sepertiga akhir malam. Kalau seseorang tidur saat turunnya rahmat, otomatis ia tidak akan kebagian.

Selain itu, beliau sering mewanti-wanti agar semua thâlibul-‘ilmi (pencari ilmu) tidak makan ikan laut. Karena semua ikan di laut senantiasa mendoakan orang yang mencari ilmu. Dan semua itu ternyata sesuai dengan apa yang digambarkan Syekh al-Zarnuji dalam kitab monumentalnya, Ta’lim al-Muta’allim. Sebuah kitab yang menerangkan tata cara mencari ilmu. 

Beliau juga menganjurkan makan belalang. Kata beliau pada salah satu putra dan cucunya, “Golek walang kecek sing endasi muncung! Iku panganen, iku nggarakno gangsar ngaji. Lek dek Makkah, iki didol kiloan. Payu onok dek pasar. Mergane dek kitab, walang iku halal” (Carilah belalang kecek, yang kepalanya lonjong! Makan itu, karena itu menyebabkan cepat bisa mengaji Al-Qur’an. Kalau di Makkah, belalang kecek ini dijual kiloan. Laris di pasar. Maka dari itu, dalam kitab Fikih, belalang dihukumi halal).  

Dan diantara pesan beliau adalah, “Kalaamun qaliil, dzikrun katsiir” (Sedikitlah berbicara, banyaklah berzikir). Beliau juga berpesan pada salah satu khadamnya, “Kalau ada di masyarakat, kamu harus hati-hati, jaga lisan kamu. Kalau terpelesetnya kaki bisa dipijatkan.

Tapi kalau terpelesetnya lidah, tidak bisa dipijatkan”. Beliau mengatakan hal tersebut berulang-ulang. Sebab lidah lebih tajam daripada pedang, dan juga pesan ini sesuai sabda Rasulullah , “Siapa yang beriman pada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah ia berbicara baik, atau diam saja!”.   

Pada putranya, Kyai Noerhasan juga menganjurkan agar sering sahirul layali, bangun malam. Pernah salah satu putranya tidak naik kelas dan meminta berhenti sekolah. Tapi beliau tidak memperbolehkan, kecuali dengan syarat tidak tidur malam. Putranya pun menyanggupi syarat itu. Ternyata, bangun malam itu memang punya dampak tersendiri bagi orang yang melakukannya. Ia akan mudah mengontrol hatinya dari segala penyakit hati. 

7. Referensi

  1. Redaksi Majalah Ijtihad, Jejak Langkah 9 Masayikh Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur.
  2. Sidogiri.net https://sidogiri.net/category/masyayikhsidogiri/
 

Lokasi Terkait Beliau

List Lokasi Lainnya