Landasan dan Negosiasi NU dalam Menerima Asas Tunggal Pancasila

 
Landasan dan Negosiasi NU dalam Menerima Asas Tunggal Pancasila
Sumber Gambar: crcs.ugm.ac.id, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Sebagaimana diketahui, NU yang didirikan oleh para ulama di Surabaya, Jawa Timur pada tanggal 31 Januari 1926, dikenal sebagai organisasi sosial keagamaan terbesar di kalangan umat Islam Indonesia. NU mendapat dukungan terutama dari umat Islam kalangan tradisionalis di Jawa dan membawahi ribuan pesantren di seluruh wilayah Indonesia.

Di dalam AD/ART Nahdlatul Ulama, prinsip dasar ideologi keagamaannya adalah sebagai berikut:

1). NU mendasarkan paham keagamaannya kepada sumber ajaran Islam: Al-Qur’an, As-Sunnah, Al-Ijma’ dan Al-Qiyas.

2). Dalam memahami, menafsirkan Islam dari sumber-sumber tersebut di atas, NU mengikuti paham Ahlussunnah wal Jama’ah dan menggunakan jalan pendekatan (Al-Madzhab) salah satu dari empat yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali.

Mengenai hal itu, lebih lengkapnya bisa dilihat dalam Kitab Muqaddimah Al-Qonun Al-Asasi li Jam’iyyah Nahdlatil Ulama karya Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari. Kitab ini memuat secara lengkap landasan dan dasar-dasar dalam organisasi NU.

Pada Masa Orde Baru, Indonesia di bawah kepemimpinan Soeharto mulai mencari penyelesaian dari permasalahan yang terjadi pada masa kepemimpinan Soekarno. Fokus awal yang diambil Soeharto adalah pembenahan di bidang ekonomi.

Saat itu Orde Baru yakin bahwa pembenahan di bidang ekonomi baru akan berhasil jika perpolitikan Indonesia dapat diselesaikan dengan baik. Karena itu banyak sekali kebijakan-kebijakan Soeharto dalam bidang politik, salah satunya yaitu pemberlakuan asas tunggal bagi semua organisasi politik maupun organisasi masyarakat baik keagamaan maupun sosial.

Menurut Fikrul Hanif Sufyan dalam bukunya Sang Penjaga Tauhid: Studi Protes Tirani Kekuasaan 1982-1985, ia menjelaskan bahwa awal lahirnya wacana asas tunggal Pancasila bermula dari bentrok fisik antara massa pendukung PPP dengan Golkar di Lapangan Banteng Jakarta. Dari sini bisa sedikit dipahami bahwa gagasan asas tunggal Pancasila adalah merupakan salah satu cara Orde Baru dalam mencegah konflik ideologi yang berpotensi terus terjadi dan mengganggu proses pemerintahan.

Gagasan tersebut menimbulkan gejolak. Sejumlah ormas yang berlandaskan paham keislaman menolak keras untuk menerima asas tunggal Pancasila.

Pada awal gagasan itu, secara umum reaksi kalangan Islam mengenai pemberlakuan asas tunggal Pancasila ada tiga macam, yakni:

1). Menerima secara total tanpa kritik. Di antara organisasi yang melakukan hal ini adalah PPP, NU, Perti dan Dewan Masjid Indonesia.

2). Menerima karena terpaksa sambil menanti keluarnya UU keormasan. Sikap ini dilakukan oleh Muhammadiyah dan HMI.

3). Menolak sama sekali. Sikap ini dilakukan oleh Pelajar Islam Indonesia (PII) serta tokoh Islam antara lain Deliar Noer, Syafruddin Prawiranegara, Yusuf Abdullah Puar, serta para muballigh yang secara terbuka melalui acara pengajian menyatakan ketidaksetujuannya terhadap asas tunggal. (Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru, Jakarta, Gema Insani Press, 1999)

Sejarah mencatat, saat itu, meski ada perbedaan pandangan di dalam internal NU, tapi NU menjadi organisasi keagamaan pertama yang menerima Pancasila sebagai asas tunggal.

Sikap yang diambil oleh NU memang menimbulkan banyak sekali pertanyaan, mengapa NU melakukan hal yang demikian. Tapi di balik semua itu, ternyata banyak hal yang menjadi dasar bagi NU mengapa harus diambil sebuah sikap menerima Pancasila sebagai asas tunggal.

Penerimaan NU terhadap Pancasila sebagai asas tunggal telah dipikirkan secara matang bukan karena suatu keterpakasaan atau karena situasi. NU mempertimbangkan Pancasila dari sudut keagamaan, ketauhidan dan pemahaman sejarah.

Dalam pandangan keagamaan NU, NU tidak bersikap antitesis terhadap suatu nilai masyarakat. Sepanjang suatu nilai atau sistem di dalam masyarakat tidak bertentangan dengan keyakinan Islam, maka ia mempunyai potensi untuk diarahkan atau dikembangkan agar selaras dengan tujuan-tujuan di dalam Islam. Dalam pengertian itulah Islam bersikap "menyempurnakan segala kebaikan yang sudah dimiliki oleh manusia". NU memandang bahwa Pancasila adalah suatu nilai atau ideologi yang baik dan tidak bertentangan dengan Islam. Pancasila dinilai sebagai falsafah bangsa, sedangkan agama adalah wahyu. Pada dasarnya, sila-sila dalam Pancasila tidak bertentangan dengan Islam, kecuali jika diisi dengan tafsiran atau perbuatan yang bertentangan dengan ajaran Islam. (Einar Sitompul, NU dan Pancasila, hlm. 91-93).

Sila pertama dari Pancasila yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang menjiwai sila-sila yang lain dipandang mengandung nilai-nilai ketauhidan. Prinsip Ketuhanan yang sejak awal pembentukan Pancasila menjadi perdebatan yang sangat sengit secara tegas dikatakan oleh NU bahwa sila itu mencerminkan tauhid Islam. Mencerminkan berarti membayangkan atau menggambarkan sesuatu perasaan, keadaan, batin, dan sebagainya.

Di pihak lain, Pancasila yang digali, dan dipilih merupakan kristalisasi dari nilai luhur kebudayaan Indonesia, termasuk kebudayaan Islam yang dianut dan dipeluk oleh sebagian besar bangsa Indonesia. Dalam pandangan Kyai Achmad Siddiq, lima butir nilai luhur (Pancasila) merupakan konsensus maksimal yang merupakan “kalimatin sawaain bainanaa wa bainakum” bagi bangsa dan negara Indonesia di dalam tata kehidupan bernegara dan bermasyarakat dengan segala kemajemukannya. (Kacung Marijan, Quo Vadis NU: Setelah Kembali ke Khittah 1926, Jakarta: Erlangga, 1992, hlm. 51).

Selain itu dalam sejarahnya, Ulama NU yaitu KH. Wahid Hasyim telah berpartisipasi aktif dalam perumusan Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 bersama pemimpin-pemimpin Nasionalis-Muslim yang lain. Karena itu formulasinya oleh NU dianggap dapat diterima oleh umat Islam. (Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1999, hlm. 237).

Saat Munas NU di Situbondo, Kyai Achmad Siddiq berupaya menjelaskan dasar pemikirannya. Misalnya saja bahwa NU membenarkan Pancasila berdasarkan Syariah, bukan semata-mata pada ajaran aqidah dan syariat Islam atau dalam logika sederhana, ibarat makanan, Pancasila itu sudah kita punya selama 38 tahun, mengapa kini dipermasalahkan halal dan haramnya.

KH. Achmad Siddiq mengatakan bahwa seruan dan ajakan pemerintah ini patut dipertimbangkan dengan wajar, pikiran jernih, dan keseriusan berdasarkan kaidah agama Islam.

Dalam acara munas itu, diketahui bahwa Kyai Achmad Shiddiq telah menyiapkan makalah yang menjadi bahan Munas Alim Ulama NU pada 21 Desember 1983 di Situbondo. Makalah tersebut didiskusikan oleh para kyai di lingkungan Syuriyah PBNU di kediaman KH. Masykur di Jalan Imam Bonjol nomor 22, Jakarta, pada 9 Rabiul Awwal 1404 H/13 Desember 1983.

KH. Achmad Siddiq yang kemudian diangkat sebagai Rais Aam PBNU pada Muktamar NU pada satu tahun kemudian, 1984 di Situbondo, mengatakan, “Ajakan yang sungguh-sungguh dari pemerintah itu patut dipahami secara wajar dan proporsional oleh semua pihak. Di samping itu, tidaklah berlebih-lebihan kalau diharapkan pengertian yang mendalam, bahwa agama bagi semua pemeluk agama adalah sesuatu yang sangat prinsipil. Pemerintah selalu menegaskan tidak akan meng-agama-kan Pancasila dan tidak mem-Pancasila-kan agama. Dengan perkataan lain, bahwa ber-Pancasila tidak harus dilakukan dengan mengesampingkan agama dan sebaliknya, bahwa beragama tidak harus dilakukan dengan mengesampingkan Pancasila.” (KH. Ahmad Siddiq, Pemulihan Khittah Nahdlatul Ulama 1926 dalam Pemikiran KH. Ahmad Siddiq, Jakarta: Duta Aksara Mulia, 2010, hlm. 75-76).

Penjelasan yang diberikan Kyai Achmad Siddiq tersebut masih belum dapat membuat para ulama yang menentang bersedia menerima Pancasila. Namun ketika dikatakan bahwa penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas telah mendapatkan restu dari Kyai As’ad, Kyai Machrus Ali, Kyai Masykur dan Kyai Ali Maksum maka sedikit demi sedikit peserta munas bersedia menerima Pancasila.

Saat Kyai Masykur sebagai pemimpin sidang pleno terakhir munas mengatakan NU menerima Pancasila sebagai asas, maka peserta munas serentak mengatakan setuju. Pada saat itulah NU menjadi organisasi Islam pertama yang menerima Pancasila sebagai asas tunggal. (Kacung Marijan, Quo Vadis NU: Setelah Kembali ke Khittah 1926, Jakarta: Erlangga, 1992, hlm. 145).

Keputusan Munas NU di Situbondo itu menghasilkan pendeklarasian mengenai hubungan antara Pancasila dengan Islam. Keputusan ini ditetapkan di Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama Sukorejo, Situbondo pada tanggal 16 Rabi’ul Awwal 1404 H (21 Desember 1983).

1). Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama. 2). Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menjiwai sila-sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam. 3). Bagi Nahdlatul Ulama, Islam adalah aqidah dan syari'ah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antar manusia. 4). Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syari'at agamanya. 5). Sebagai konsekuensi dari sikap di atas, Nahdlatul Ulama berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak.

Setelah munas usai, KH. As’ad Syamsul Arifin menemui presiden Soeharto pada 9 Februari 1984, yang diteruskan dengan pertemuan antara empat ulama, yakni KH. As’ad Syamsul Arifin, KH. Ali Ma’sum, KH. Masykur dan KH. Achmad Siddiq dengan dua menteri yaitu Menteri Dalam Negeri, Soepardjo Rustam dan Menteri Agama, Munawir Syadzali pada tanggal 26 Februari 1984 dikediaman Mendagri.

Maksud pertemuan tersebut adalah menyerahkan hasil munas di Situbondo bahwasannya NU menerima Pancasila sebagai asas tunggal organisasi. Bagi pemerintah, tampaknya masih menjadi ganjalan apabila belum mendapatkan penjelasan mengenai penerimaan NU tersebut. Maka pada puncak dari pertemuan tanggal 26 Februari 1984 tersebut, KH. Achmad Siddiq mengungkapkan sembilan sasaran pokok yang ingin dicapai NU dalam hubungannya dengan penerimaan asas Pancasila tersebut. Sembilan sasaran pokok tersebut ialah:

1). Berusaha menjernihkan kembali pandangan berbagai pihak terhadap Pancasila agar tidak terjadi kesimpangsiuran, 2). Berusaha menjembatani dan menggabungkan seluruh potensi untuk ikut aktif dalam membangun Negara Republik Indonesia, 3). Memantapkan keyakinan umat Islam sendiri bahwa perjuangan dan pengabdian kepada Negara Republik Indonesia adalah bagian dari ibadah, 4). Memantapkan pada umat Islam dan menumbuhkan kesadaran sebagai mayoritas untuk bertindak dan bersikap lebih dewasa, 5). Meluruskan pola berpikir yang selama ini cenderung negatif dan bersikap apriori ke arah yang lebih positif dan tidak apriori, 6). Mengembangkan nilai-nilai Pancasila yang moderat dan akomodatif tidak boleh dipisah-pisahkan dan diperas-peras, 7). Meluaskan arena perjuangan generasi muda khususnya generasi muda Islam, 8). Meyakinkan kepada pemerintah, bahwa mayoritas umat Islam adalah positif bagi pemerintah, 9). Mengharap kepada pemerintah untuk mencegah penggunaan istilah Pancasila yang membaurkan dengan istilah di dalam agama. (Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama, Solo: Jatayu, 1985, hlm. 292-294)

Setelah menerima gagasan asas tunggal Pancasila, meski melalui ikhtiar yang cukup panjang, pada akhirnya diterima oleh semua anggota NU dengan konsekuensi yang telah dipertimbangkan secara matang.

Sejalan dengan keputusan ini, NU menformulasikan kembali AD/ART-nya menjadi pasal 2 yang berbunyi “NU berdasarkan Pancasila”. Sesuai dengan karakternya, sebagai organisasi Islam, dalam pasal 3 disebutkan bahwa “NU mengikuti doktrin Islam menurut paham sunni (Ahlussunnah wal Jama’ah) dan mengikuti salah satu madzhab empat yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali”. Dengan penegasan posisinya yang demikian ini, NU tidak meninggalkan keasliannya sebagai gerakan sosial Islam, dan dengan jelas ia menerima dan mengakui Pancasila sebagai asas tunggal.

Menurut KH. Abdul Muchith Muzadi setidaknya ada tiga alasan Pancasila dapat diterima oleh NU sebagai asas tunggal. Alasan tersebut sebagaimana termaktub dalam bukunya yang berjudul NU dalam Perspektif Sejarah dan Ajaran: Refleksi 65 Tahun Ikut NU.

Tiga alasan yang dimaksud adalah sebagaimana berikut ini:

Pertama, NU sejak mula didirikan pada tahun 31 Januari 1926 M atau 16 Rajab 1344 H tidak pernah mencantumkan asas organisasinya.

Menurut Kyai Muchith, NU langsung menyebut tujuan pendiriannya. Sementara asas Islam dicantumkan NU ketika berubah menjadi partai politik, yakni pada tahun 1952.

Kedua, bagi NU, Islam bukanlah sebuah ideologi. Sebab, Islam merupakan agama Allah, sedangkan ideologi hanyalah hasil pemikiran manusia. Karenanya, Islam tidak bisa tepat menempati ideologi, pun ideologi tidak tepat juga untuk diisi Islam. Keduanya tidak dapat saling mengisi atau menggantikan.

Ketiga, asas organisasi tidak harus agamanya, melainkan boleh atas beragam hal tertentu, seperti kerakyatan, kekeluargaan, keadilan, ataupun lainnya. []


Penulis: Abd. Hakim Abidin

Editor: Kholaf