Suatu hari, seorang warga Tionghoa yang juga non-muslim sowan ke kediaman Kyai Bisri Mustofa di Leteh, Rembang. Warga Tionghoa tersebut merupakan tetangga sekaligus sahabat dekat Kyai Bisri.
Pada bahasan sebelumnya telah dibahas bahwa fakta yang ada sebelumnya tak bisa digugurkan dengan hal baru yang masih bersifat praduga. Sekarang bahasannya adalah kebalikannya, yakni ketika sesuatu yang dinilai sebagai keyakinan ternyata keliru sebab faktanya menyatakan sebaliknya. Dalam hal ini maka berlaku kaidah di atas.
Tuntunan Rasulullah SAW sangat terasa kebenarannya setelah semakin banyak diungkapkan oleh kemajuan sains dan teknologi. Karena itu, dalam ajaran Islam, apabila terjadi gerhana, diperintahkan untuk melakukan shalat sunnah gerhana.
Karenanya, Nabi Ibrahim sangat sah dan patut disebut sebagai sang pecinta sejati. Sampai-sampai, anak dan istrinya ditinggalkan demi memenuhi perintah Allah SWT.
Konteks Indonesia, salah satu penyebar Islam yang penting adalah para ulama dan wali, khususnya Walisongo di Tanah Jawa. Mereka (Walisongo) merupakan sembilan ulama yang menyebarkan Islam dengan penuh kearifan, moderat, penuh nilai toleransi dan kedamaian.
Lambang NU bukanlah sembarang lambang. Di dalamnya mengandung banyak makna filosofis. Sehingga, tak heran jika lambang itu menggambarkan ruh yang terus hidup dari generasi ke generasi.
Keyakinan yang menegaskan ketergantungan manusia dengan Zat Maha Besar.
Dalam beberapa segmen masyarakat Indonesia, di Jawa khususnya, ada semacam dogma yang mengajarkan dikotomis antara ajaran syariat dan tarekat (thariqoh).
KH. Achmad Siddiq mengatakan bahwa seruan dan ajakan pemerintah ini patut dipertimbangkan dengan wajar, pikiran jernih, dan keseriusan berdasarkan kaidah agama Islam.
Ternyata, jika dicermati ada sejumlah kyai NU atau ulama Nusantara yang entah secara kebetulan atau memang itu adalah ketetepan Allah SWT yang menyiratkan sebuat isyarat tertentu, menjadi penanda hari besar nasional yang bertepatan dengan kelahiran sejumlah tokoh NU.
Dalam sejarah perpolitikan elite NU, mulai Orde Lama, Orde Baru hingga Masa Reformasi pasca Orde Baru, banyak sekali ditemui sikap politik yang dilakukan oleh para elite NU yang dianggap ambigu dan ambivalen oleh sebagian masyarakat yang tidak memahami NU.