Info Harian Laduni: 30 November 2023

 
Info Harian Laduni: 30 November 2023

Laduni.ID, Jakarta - Bertepatan dengan tanggal 30 November ini menjadi momentum bagi kita semua merayakan hari lahir KH. Ahmad Basyir Jekulo Kudus, dan KH. Warson Munawwir.  Selain itu pada hari ini juga menjadi momentum bagi kita semua untuk mengenang kepergian KH. Muhammad Said Budairy, dan KH. Badri Masduqi 

KH. Ahmad Basyir atau yang dikenal dengan KH. Basyir Jekulo lahir pada tanggal 30 November 1924 M. Beliau merupakan putra dari pasangan KH. Muhammad Mubin dan Nyai Dasireh.

Setelah tamat pendidikan di Veer FolexSchooll, beliau melanjutkan pendidikan non formal di madrasah Diniyyah yang sekarang bernama Tarbiyatus Sibyan. Di madrasah ini beliau dididik oleh para Kiai sepuh, diantaranya adalah KH. Dahlan.

Tahun 1970 M beliau mendirikan Pesantren Darul Falah yang bertempat disebelah utara Masjid Kauman Jekulo. Cikal bakal pesantren ini merupakan wakaf dari H. Basyir. Ia memberikan wakaf bangunan kuno kepada Kiai Basyir. Kemudian bangunan itu dijadikan Pondok Pesantren yang diberi nama Pesantren Darul Falah, tepatnya pada tanggal 1 januari 1970 M.

Semasa mudanya sekitar tahun 1944-1945 M, beliau bergabung dalam BPRI (Badan Perjuangan Republik Indonesia) sebuah organisasi pemuda yang gigih memperjuangkan kemerdekaan RI saat itu. BPRI dipimpin karmain dan mulyadi Jekulo. Sebelum masuk BPRI, beliau juga masuk organisasi GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia).

Kyai Basyir, sosok kiai yang teladan yang patut di contoh. Beliau adalah seorang ulama yang mentradisikan riyadhoh (laku prihatin) sejak mudanya. Tradisi itu masih beliau pegangi hingga usia 88 tahun.

Keseharian beliau dihabiskan untuk beribadah, berjama'ah, ngucal kitab kuning, ziarah, menyuguh tamu serta selebihnya untuk keluarga dan masyarakat.

Saat malam hari sehabis mendidik santri beliau istirahat sesaat. Disaat orang tertidur lelap, beliau dipastikan bangun ba’da nisfu lail (tengah malam) beliau melakukan rutinitas. Kiai Basyir wirid, sholat malam dan ibadah lainnya hingga waktu subuh tiba.

KH. Ahmad Warson Munawwir lahir pada hari Jum’at Pon tanggal 20 Sya’ban 1353 H atau 30 November 1934M di Pondok Pesantren Al Munawwir. KH. Ahmad Warson Munawwir merupakan putra dari pasangan KH. Munawwir dengan Nyai Hj. Khusnul Khotimah. Sejak Mbah Munawwir wafat pada 1942 M

KH. Ahmad Warson Munawwir kecil, beliau memulai pendidikannya dengan belajar segala keilmuan yang ada di pesantren langsung kepada kakak iparnya, yaitu KH. Ali Maksum.

Pendidikan yang diterima KH. Ahmad Warson Munawwir membuahkan hasil yang baik. Di usianya yang baru 9 tahun beliau sudah hafal nadzom Alfiyyah Ibnu ‘Aqil. Dua tahun kemudian, atau tepatnya ketia beliau berusia 11 tahun, beliau mulai ikut mengajar di Pesantren Al-Munawwir dengan usia santri yang diajarnya rata-rata lebih tua darinya. Kala itu, KH. Ahmad Warson Munawwir mengajar Nahwu, Sharaf, Bahasa Inggris, dan Tarikh.

Sebelum mendirikan komplek Pesantren Putri, KH. Ahmad Warson Munawwir membuka pengajian terbuka untuk takhosshus bagi setiap santri komplek manapun di rumahnya setiap hari, pukul 07.00 hingga pukul 11.00. Pelajaran yang dibahas adalah Pelajaran Bahasa Arab. 

Semakin hari semakin banyak yang mengikuti pengajian, akhirnya beliau memutuskan untuk mendirikan komplek pesantren putri, tempat tersebut tersebut diberi nama komplek Q.

Sebagai pengajar, Mbah Warson muda menjadi guru yang simpatik karena kecakapan dan keramahannya di mata para santrinya. Di usia belia, beliau telah memiliki kemampuan yang mumpuni untuk mengajarkan beberapa mata pelajaran. Di luar kelas pun, beliau menjadi kawan bermain yang egaliter bagi segenap santri.

Kyai Warson merupakan sosok suami dan ayah penyayang. Saking sayang dan cintanya kepada istri dan anak, seringkali beliau bangun tengah malam saat putra putrinya yang masih dalam susuan merengek, untuk sekedar menggantikan popok atau menimang hingga mereka tidur lagi.

KH. Muhammad Said Budairy wafat hari senin pada tanggal 30 November 2009. Jenazah beliau dikebumikan sore hari di area pemakaman San Diego Hills, Karawang, Jawa Barat.

KH. Muhammad Said Budairy lahir menjelang subuh pada tanggal 12 Maret 1936 M. Beliau merupakan anak ketiga dari pasangan KH. Budairy bin KH. Idris dengan Nyai Hj. Mutmainnah binti KH. Ali Murtadlo.

Kelahirannya disambut gembira oleh keluarga besar dan menjadi rebutan untuk memberikan nama, KH. Idris memberi nama Tohir, namun kemudian yang digunakan adalah nama Muhtarom pemberian KH Alwi Murtadho.

KH. Said menempuh pendidikan agama di Pesantren Bungkung Singosari. Sementara pendidikan umum didapat dari Madrasah lbtidaiyah Nahdlatul Ulama, Madrasah Tsanawiyah Nahdlatul Ulama, dan SMA. Saat di Malang mengalami situasi sosial dan pemerintahan penuh gejolak, jalan-jalan dikuasai para ”Iaskar rakyat” pada 1947 M, Said mengungsi ke Kediri di rumah KH. Abu Suja. Di sana dia sempat mengaji.

Saat muktamar pertama IPNU pada 28 Februari 1955 M. di Malang, beliau bertemu Presiden Soekarno dan tokoh utama NU antara lain KH. Wahab ChasbullahKH. Masykur, dan KH. Zainui Arifin. Tahun 1959 hingga 1961 beliau menjadi sekretaris perwakilan pimpinan pusat IPNU.

KH. Abdul Djalil Hamid wafat di Makkah Al-Mukarramah pada 16 Zulqo’dah 1394 H. bertepatan dengan 30 November 1974 M. ”Yang membantu mengurusi pemakaman KH. Abdul Djalil di Makkah waktu itu adalah Prof. Dr. KH. Maghfur Usman.

KH. Abdul Djalil Hamid Tayu atau yang kerap disapa dengan panggilan Mbah Djalil lahir di Bulumanis Kidul, Margoyoso, Tayu, Pati.

Beliau merupakan putra dari pasangan KH. Abdul Hamid dan Nyai Syamsiyah. KH. Abdul Djalil Hamid merupakan keturunan ke-8 dari KH. Mutamakkin Kajen, Pati.

KH. Abdul Djalil memulai pendidikannya dengan belajar langsung kepada sang ayah hingga 1919 M, selanjutnya Kyai Abdul Djalil belajar di Pondok Jamsaren Solo asuhan KH. Idris (1919 – 1920), lalu meneruskan belajar ke Pondok Termas asuhan KH. Dimyathi (1920-1921), kemudian di Pondok Kasingan Rembang asuhan KH. Cholil (1921-1924).

etelah pengembaraan menuntut ilmu yang cukup panjang, kemudian beliau mengajar di Madrasah TBS. Di Madrasah TBS, KH. Abdul Djalil Hamid tercatat menjadi guru kepala Madrasah pada 1932-1935.

Selain di TBS, berbagai posisi penting pernah diembannya. Antara lain menjadi anggota Raad Agama Islam di Kudus (1934-1945), Ketua Pengadilan Agama Kudus (1950-an), Asisten Khusus Wakil Perdana Menteri RI (1951-1958), hingga anggota DPR/MPR mewakili alim ulama di Fraksi NU (1958-1967).

Berdasarkan data yang disimpan pihak keluarga, KH. Abdul Djalil Hamid yang menjadi Komandan Gerilya melawan Belanda di Gunung Muria (1948-1949) itu di tahan Belanda di penjara Kudus pada 1949. Data itu juga menyebutkan, KH. Abdul Djalil pernah ditahan di era pemerintahan Orde Lama di Salatiga pada 1952-1954.

Mari kita sejenak mendoakan beliau, semoga apa yang beliau kerjakan menjadi amal baik yang tak akan pernah terputus dan Allah senantiasa mencurahkan Rahmat-Nya kepada beliau.

Semoga kita sebagai murid, santri, dan muhibbin beliau mendapat keberkahan dari semua yang beliau tinggalkan.

Mari sejenak kita bacakan Tahlil untuk beliau: Surat Yasin, Susunan Tahlil Singkat, dan Doa Arwah