Biografi Sultan Muhammad Shalahuddin, Sultan yang Cinta NKRI

 
Biografi Sultan Muhammad Shalahuddin, Sultan yang Cinta NKRI
Sumber Gambar: Mbojo Network

Daftar Isi:

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1  Lahir
1.2  Wafat

2.    Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1  Pendidikan
2.2  Guru-guru

3.    Perjalanan Hidup dan Dakwah
3.1  Menjadi Putra Mahkota
3.2  Diangkat Menjadi Sultan
3.3  Mendirikan Sekolah Rakyat

4.    Referensi

1. Riwayat Hidup dan Keluarga
Para sultan itulah yang memiliki kekuasaan penuh terhadap wilayah-wilayah tertentu yang dikuasainya. Maka, Indonesia yang kita kenal hari ini merupakan satu-kesatuan kesultanan di seluruh Indonesia, kemudian melebur menjadi satu dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Maka, seluruh sultan kemudian menyatakan  diri untuk ikut melebur ke dalam NKRI, dan dalam hal ini ditunjukan oleh seorang di kesultanan Bima, yaitu Sultan Muhammad Shalahuddin yang bergelas “Maka Kidi Agama”

1.1 Lahir
Sultan Muhammad Shalahuddin lahir pada 15 Zulhijjah 1306 H. bertepatan pada 14 Juli 1889 M. di Bima. Beliau merupakan putra Sultan Ibrahim. Sultan Muhammad Shalahuddin adalah Raja Kerajaan Bima yang ke 38 dan Sultan Bima ke 14 yang memerintah kerajaan kesultanan Bima dari tahun 1917 sampai tahun 1951 M.

1.2 Wafat
Sultan Muhammad Shalahuddin memerintah Kesultanan Bima menggantikan Ayahandanya Sultan Ibrahim mulai tanggal 16 Desember 1917 sampai wafat di Jakarta pada tanggal 11 Juli 1951 M, malam Kamis jam 22.00 di rumah Sakit Cikini dalam usia 64 tahun bertepatan dengan tanggal 7 Syawal tahun 1370 H.

Sultan Muhammad Shalahuddin dimakamkan dengan upacara kenegaraan dengan dihadiri oleh seluruh Menteri dan Pejabat negara, setelah disemayamkan di Gedung Proklamasi Kemerdekaan Pegangsaan Timur 56 Jakarta.

2. Sanad Ilmu dan Pendidikan
Sebagai seorang calon pemimpin yang akan menggantikan ayahnya, beliau dibekali berbagai ilmu agama sedari kecil, seperti ilmu tauhid, hadis, Al-Qur’an hingga ilmu siasah (politik).Tidak hanya belajar dari ulama lokal, Sultan Muhammad Shalahuddin bahkan dikirim ke Batavia sampai ke Makkah untuk menuntut ilmu agama. Dalam perjalanan menuntut ilmu pengetahuan di Batavia dan Makkah, beliau semakin mencintai ilmu pengetahuan dan rajin membaca, beliau juga rajin menulis.

2.1 Pendidikan
Sultan Muhammad Shalahuddin sejak berusia 9 tahun hingga besarnya telah dididik dan dibina oleh beberapa gurunya yang ditunjuk langsung oleh orang tuanya. Hal ini secara jelas diungkapkan dalam riwayat singkat Sultan Muhammad Shalahuddin:

“Beliau mulai belajar membaca Al-Qur'an pada umur 9 tahun yakni pada tahun 1315 H. Beliau belajar pada gurunya yang pertama yaitu, Tuan Guru H. Hasan Batawi, kedua Daeng Imam Idris, ketiga Khatib Tua bernama Muhammad Assidik, keempat Khatib Keroto bernama Abdul Rasyid, Khatib Lawili, dan Khatib To’i. kemudian diajarkan lagi oleh guru dari Makkah bernama Syekh Abdul Wahab berpangkat Imam Syafi’i di Masjidil Haram, sampai khatam Al-Qur'an pada tanggal 11 bulan Rajab hari Jum’at tahun 1316 M.”

Sultan Muhammad Shalahuddin dalam mencapai kesempurnaan kepribadianya adalah berkat bimbingan dan asuhan dari beberapa guru serta ulama-ulama, baik yang berasal dari ulama putra Bima sendiri maupun dari daerah lain. Mereka ini pada umumnya adalah ulama-ulama yang kokoh imannya dan taat terhadap agama.

Sifat-sifat ini diwariskannya kepada Sultan Muhammad Shalahuddin, sehingga disamping sebagai seorang Sultan yang penuh arif dan bijaksana dalam menjalankan tugasnya sebagai pimpinan, juga dikenal sebagai ulama yang taat melaksanakan perintah Allah SWT.

Disamping mempelajari ilmu-ilmu agama melalui guru-gurunya Sultan Muhammad Salahuddin dikenal sebagai seorang autodidak yang uleg dan tangguh, sehingga tanpa melalui pendidikan formal beliau mampu membaca dan menulis huruf latin. Demikian juga dalam bidang pengetahuan lainnya, beliau mampu memperlengkapi diri dalam mengembangkan tugas pemerintahan.

2.2 Guru-guru

  1. Tuan Guru H. Hasan Batawi,
  2. Daeng Imam Idris,
  3. Khatib Tua bernama Muhammad Assidik,
  4. Khatib Keroto bernama Abdul Rasyid,
  5. Khatib Lawili,
  6. Khatib To’i.

3. Perjalanan Hidup dan Dakwah

3.1 Menjadi Putra Mahkota
Pada usia 11 tahun oleh Majelis Adat Kerajaan Bima diangkat sebagai Jena Teke yakni Putra Mahkota Kerajaan Bima yang disetujui oleh Gubernur Hindia-Belanda dengan akte tertanggal 2 November 1899 nomor 21. Pada tanggal 23 Maret 1908 di samping kedudukannya sebagai Putra Mahkota, diangkat pula oleh Ayahanda Sultan Ibrahim sebagai seorang Camat untuk daerah Kecamatan/Kejenelian Donggo dengan pangkat Jeneli Donggo.

Kemudian diangkat menjadi Raja Muda Kerajaan Bima. Setelah wafat Sultan Ibrahim pada tanggal 16 Desember 1915 Raja Muda Muhammad Salahuddin diangkat oleh Majelis Adat Kerajaan menjadi Sultan Kerajaan Kesultanan Bima “Sultan Haworo Niru Ruma Sangaji Sadana Mbojo” (Sultan yang dianggap sebagai contoh atau cerminan masyarakat Bima) dalam upacara “Tuha ro Lanti” oleh Sara Dana Mbojo di hadapan seluruh rakyat Bima bertempat di lapangan Sara Suba Bima. Pengangkatan ini dikukuhkan Residen Timor dan daerah takluknya pada tanggal 3 Juli 1917 dan kemudian oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada tanggal 11 Oktober 1917 M.

3.2 Diangkat Menjadi Sultan
Setelah sang ayah wafat, kepemimpinan jatuh kepada beliau. Sebagaimana dicatat oleh Alan Mailing dalam Sejarah Perjuangan Sultan Muhammad Shalahuddin, beliau diangkat oleh Majelis Hadat pada tahun 1917. Kemudian berkat pengetahuan dan akhlanya yang tinggi, beliau pun diangkat sebagai Dewan Raja-raja Sumbawa pada tahun 1949.

3.3 Mendirikan Sekolah Rakyat
Sebagai seorang Sultan yang berkuasa pada masa penjajahan, perlawanan atas penjajah pun dilakukan, dengan mendirikan Sekolah Rakyat dan turut berjuang di medan perang.

Dalam perjuangannya, Sultan Muhammad Shalahuddin menggandeng kerajaan Gowa, Jawa, dan Daerah-daerah lain, karena beliau menyakini bahwa daerah satu dengan daaerah lain haruslah bersatu untuk melawan penjajah.

Sikap nasionalismenya beliau tunjukan dengan berbagai hal, salah satunya meminta bantuan tenaga pengajar dari berbagai daerah untuk ikut menbantu mendirikan Bima.

Punyaknya pada tanggal 22 November 1945. Beliau mengeluarkan Maklumat yang menyatakan untuk ikut mendukung NKRI dan taat terhadap pemimpin Indonesia, Soekarno-Hatta. Isi maklumat Sultan Muhammad Shalahuddin sebagai berikut:

a. Pemerintah Kesultanan Bima adalah suatu daerah istimewa dari Negara Kesatuan Indonesia dan berdiri dibelakang pemerintahan Negara Republik Indonesia

b. Kami menyatakan, bahwa pada dasarnya, segala kekuasaan dalam pemerintahan kesultanan Bima terletak di tangan kami, oleh karena itu, sehubungan dengan suasana dewasa ini, maka kekuasaan-kekuasaan yang sampai sekarang ini tidak berada di tangan kami, maka dengan sendirinya kembali ke tangan kami.

c. Kami menyatakan dengan sepenuhnya, bahwa perhubungan dengan pemerintah dalam lingkungan kesultanan Bima bersifat langsung dengan pusan Negara Republik Indonesia.

d. Kami memerintahkan dengan percaya kepada sekalian penduduk dalan seluruh kesultanan Bima bahwa mereka akan bersifat sesuai dengan sabda kami yang ternyata di atas.

Maklumat ini kemudian ditegaskan kembali pada saat Presiden Soekarno berkunjung ke Bima sekitar 3 November 1950. Presiden disambut hangan oleh sultah dan seluruh rakyat Bima. Pada pidato resmi dihadapan Presiden Soekarno, Sultan Muhammad Shalahuddin menyatakan:

“Paduka Yang Muia, rindu yang meluas ini bukan baru sekarang saja timbulnya, akan tetapi sejak ledakan Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, pada saat ketika dimana terbayanglah di muka kami rakyat disini wajah bapak-bapak pemimpin kita, Bung Karno dan Bung Hatta, yang sedang memproklamirkan kemerdekaan Indonesia.

Lalu, pada saat itu juga, tertanamlah dalam jiwa rakyat di sini arti proklamasi yang harus dijunjung tinggi, harus dipertahankan, dan harus dimiliki itu. Sehingga, pada tanggal 22 November 1945, kami di Kesultanan Bima menjadi daerah istimewa yang langsung berdiri di belakang Republik Indonesia.”

Sultan Muhammad Shalahuddin sangat mencintai Indonesia dengan menyatakan untuk setia terhadap negarayang diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta pada tanggal 14 Agustus 1945. Akan tetapi, sultan tetap teguh pada pendiriannya untuk setia terhadap NKRI.

Sikap Sultah Muhammad Shalahuddin itu menggambarkan kecintaannya sebagai seorang sultan kepada NKRI, Menundukan ego promordialnya menjadi sikap nasionalisme. Menyatukan berbagai daerah dan bergabung dalam kekuasaan yang kemuadian disebut sebagai NKRI adalah hal yang lebih penting dibandingkan hidup secara terpisah. Sikap semacam ini patut dicontoh oleh generasi saat ini, di mana kehidupan berbangsa dab bernegara serta batas-batasnya mulai pudar di tengah derasnya arus globalisasi.

Sikap menyerahkan kekuasaan Bima menjadi satu-kesatuan dalam bingkai kebangsaan dan kenegaraan yang dikenal sebagai Indonesia, cukup memberi pengaruh terhadap kerajaan-kerajaan lain yang telah bergabung atau belum bergabung ke dalam NKRI, serta mengakui adanya pimpinan nasional yang diakui oleh seluruh rakyat, yaitu Soekarno dan Hatta.

5. Referensi 

  1. Jaringan Ulama dan Islamisasi Indonesia Timur/Hilful Fudhul Sirajuddin Jaffar, editor, Muhammad Ali Fakih-cet. 1-Yogyakarta:IRCiSoD, 2020
  2. Repositori UIN Alauddin
 

Lokasi Terkait Beliau

    Belum ada lokasi untuk sekarang

List Lokasi Lainnya