Tahun 641-642 M: Kemenangan Islam di Alexandria Membuka Pintu Ilmu dan Kebudayaan

 
Tahun 641-642 M: Kemenangan Islam di Alexandria Membuka Pintu Ilmu dan Kebudayaan
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Pada tahun 641 M, dunia terkesima oleh peristiwa besar yang akan membentuk ulang wajah politik dan budaya kawasan Mediterania Timur. Alexandria, kota megah yang telah lama menjadi pusat perdagangan, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan, menjadi saksi dari sorotan sejarah yang mencengangkan, penaklukan oleh Pasukan Islam.

Kala itu, dunia Islam tengah memperlihatkan kekuatan dan kohesi yang memungkinkan mereka untuk merentangkan cakrawala dominasi mereka ke wilayah-wilayah yang jauh. Untuk memahami momentum ini, perlu melihat gambaran umum dari ekspansi Islam, sebuah gerakan yang memperoleh momentum pesat di bawah kepemimpinan umat Islam pada masa itu.

Dalam konteks ini, ekspansi ke kawasan Mediterania Timur menjadi salah satu langkah penting. Kawasan ini memiliki nilai strategis yang tinggi, bukan hanya dalam hal ekonomi tetapi juga dalam hal simbolisme dan warisan budaya. Alexandria, sebagai kota yang kaya sejarah dengan perpustakaan terkenalnya, menjadi target yang menarik bagi umat Islam yang ingin mengukuhkan keberadaan dan pengaruh mereka. Namun, perjalanan ini tidak terjadi secara instan; sejumlah peristiwa dan pertempuran mengarah pada momentum krusial yang memungkinkan penaklukan tersebut.

Alexandria adalah sebuah kota yang berada di pesisir Laut Mediterania yang dibangun oleh Alexander Agung pada tahun 331 SM. Kota ini terkenal dengan situs Pharos (mercusuar) yang menjadi salah satu dari tujuh keajaiban dunia. Tidak hanya itu juga, Alexandria juga mempunyai perpustakaan besar. Yang bahkan sangat terkenal yang menyaingi perpustakaan di Athena, Yunani.

Alexandria tumbuh pesat menjadi pusat perdagangan dan budaya selama periode Helenistik. Setelah kematian Alexander Agung pada tahun 323 SM, kota ini menjadi pusat Ptolemaik Mesir di bawah pemerintahan dinasti Ptolemaios. Alexandria terus berkembang sebagai pusat kegiatan intelektual dan kebudayaan, memainkan peran penting dalam sejarah Mesir dan dunia Helenistik.

Di tempat itu juga banyak dilahirkakannya ilmuan-ilmuan dan juga karya-karya terkenal yang menjadi rujukan bagi ilmu modern. Beberapa diantaranya,Eratosthene (274-194 SM), yang menghitung keliling bumi dalam jarak 50 mil (80 km) di Alexandria, Lalu ada Archimedes (287-212 SM) seorang ahli matematika dan astronom, dan juga Euclid (sekitar 300 SM) yang menjadi “Bapak Geometri” dengan karyanya “Elemen”. Begitulah sedikit kilas balik mengenai Alexandria, sebuah kota yang memancarkan aura sejarah yang megah, mari kita menyelami bagaimana Islam mampu memikat dan menaklukkan hati penduduknya. Alexandria, dengan kekayaan sejarahnya yang panjang dan kebesarannya yang tak tertandingi, menjadi pusat perhatian dalam artikel ini.

Setelah menaklukan Benteng Babylon, Amr bin Ash mengirimkan surat izin kepada Khalifah Umar bin Khattab untuk melanjutkan ekspedisinya menuju kota Alexandria. Tidak menunggu waktu lama Khalifah Umar pun menyetujui surat tersebut karena pertimbangan beliau bahwa Sungai Nil akan segera pasang dan tidak menguntungkan bagi Pasukan Muslim.

Setelah sekiranya cukup mengistirahatkan pasukannya, Amr bin Ash segera berangkat meninggalkan Babylon yang dia pasrahkan kepada Kharija. Peristiwa ini terjadi pada bulan Mei 641 M. Amr bin Ash berangkat bersama pembesar-pembesar Bangsa Qibthi (Bangsa Qibthi ini adalah orang-orang asli Mesir yang membantu Pasukan Muslim mengalahkan Pasukan Romawi di Babylon).Amr bin Ash memilih untuk melewati bagian kiri Sungai Nil dikarenakan memiliki ruang yang luas, juga alam gurun yang sangat familiar bagi Pasukan Muslim guna mempermudah perjalanannya.

Dalam perjalanannya menuju kota Alexandria, Amr bin Ash tidak mengalami perlawanan yang sulit dari pihak Romawi. Sangat mudah bagi Pasukan Muslim mengalahkan perlawanan-perlawanan mereka di Tarnut dan Kaum Shareek. Namun ada sebuah daerah yang bernama Naqiyus yang menjadi kekhawatiran Amr bin Ash untuk ditaklukan. Di mana daerah tersebut memiliki benteng yang dikelilingi oleh sungai.

Kekhawatiran Amr bin Ash ini dipatahkan oleh strategi Pasukan Romawi. Mereka lebih memilih menghadapi langsung Pasukan Muslim di luar benteng, sudah pasti dengan kehebatan Pasukan Muslim mampu dengan mudah mengalahkan Pasukan Romawi tersebut di luar benteng, kemudian berakhir menguasai benteng tersebut.

Sejarawan pada masa itu, John Nikiou (Naqiyus) menceritakan bahwa “Ketika Pasukan Muslim memasuki kota Naqiyus, mereka membantai semua penduduk yang mereka jumpai di jalan. Mulai dari laki-laki, perempuan, anak-anak, dan orangtua mereka habisi tidak ada yang diberi ampun oleh Pasukan Muslim”

Tentu saja perkataan dari John ini sangat bertentangan dengan etika berperang Pasukan Muslim yang sudah dijelaskan oleh Rasulullah SAW. “Berperanglah dengan menyebut nama Allah dan di jalan Allah. Perangilah mereka yang kufur kepada Allah. Berperanglah, jangan kalian berlebihan (dalam membunuh). Jangan kalian lari dari medan perang, jangan kalian memutilasi, jangan membunuh anak-anak, perempuan, orang tua yang sepuh, dan rahib di tempat ibadahnya.” Jadi, perspektif John adalah realitas yang dilebih-lebihkan dan keluar dari koridor sejarah yang dituliskan oleh orang-orang Islam.

Terdapat sebuah pertahanan terakhir pihak Romawi sebelum Pasukan Muslim sampai ke kota Alexandria, yaitu Benteng Kairon (Kiryaun). Tempat ini juga bisa dibilang pintu masuk menuju kota Alexandria. Di sana terdapat panglima Pasukan Romawi yaitu Theodore yang sudah bersiap untuk berperang dengan Pasukan Muslim. Hasan Ibrahim mengatakan saat itu Romawi memiliki tidak kurang dari 50.000 pasukan yang dipersenjatai lengkap.

Pertempuran dahsyat pun terjadi di depan Benteng Kairon, panglima terdepan Pasukan Muslim saat itu adalah Abdullah bin Amr bin Ash beliau adalah putra Amr bin Ash. Kehebatan Romawi mengungguli pertempuran ini dengan persenjataan yang lengkapmilik mereka, serta jumlah mereka yang sangat banyak.

Takut semangat Pasukan Muslim luntur, pun memerintahkan untuk melaksanakan shalat Khauf. Akhirnya atas izin Allah SWT, Pasukan Muslim memrperoleh kemenangan walaupun banyak memakan korban. Pertempuran itu berlangsung selama 10 hari lamanya.

Setelah menguasai Benteng Kairon, serta memukul mundur sebagian Pasukan Romawi dan jendral Theodore (mereka lari dan berlindung di kota Alexandria), Pasukan Muslim segera menuju kota Alexandria. Mereka mendirikan camp yang jaraknya lumayan jauh dari gerbang Timur Alexandria, mengantisipasi serangan Manjaniq (suatu alat atau senjata pelontar berpengimbang berat yang banyak digunakan dalam pertempuran pada Abad Pertengahan untuk menghancurkan dinding atau bangunan yang difortifikasi).

Pada Timur Alexandria, konflik memuncak antara Pasukan Romawi dan Pasukan Muslim. Kedua belah pihak bersitegang, satu berjuang untuk menjaga keutuhan kota mereka, sementara yang lain berusaha merebut kendali atas wilayah tersebut. Dinamika pertempuran dipengaruhi oleh keunggulan Pasukan Muslim yang didukung oleh kaum Qibthi.

Dalam buku Biografi Amr bin Ash yang dikutip dari Tarikh Ibnu Abdil Hakam, Gabbon mengatakan, "Jiwa-jiwa masyarakat Mesir telah meluap untuk membalas kekejaman yang dilakukan oleh orang-orang zalim ini (Pasukan Romawi) dan mengusir mereka dari tanah Mesir. Oleh sebab itu, masyarakat Mesir terus menerus berusaha untuk menyuplai bantuan kepada Amr bin Ash, baik bantuan yang berupa materi maupun berupa pasukan militer.

Komandan Otikhus sendiri mengakui kegagahan Pasukan Arab dalam bertempur pada saat itu, yang tak ubahnya seperti keberanian singa. Mereka bisa membalas serangan Romawi berkali-kali dan membalas serangan itu dengan serangan yang layak. Mereka bisa menyerbu dinding kota beserta menara-menaranya. Dalam semua serangan ini, kita akan melihat bagaimana pedang dan bendera Amr akan terus berjaya di hadapan kaum muslimin."

Keunggulan Pasukan Muslim berakhir dengan pengepungan Kota Alexandria, terdapat banyak pendapat dalam hal pengepungan ini, ada yang berkata 3 bulan, 6 bulan, bahkan 14 bulan. Namun pada intinya pengepungan yang sangat lama itu membuat geram sang Khalifah Umar bin Khattab, beliau berkata:

“Saya heran atas keterlambatan membebaskan Mesir. Sudah dua tahun lamanya kalian memerangi mereka. Tak lain itu karena kalian sudah hubbu(sangat mencintai harta) seperti musuh-musuh kalian. Allah tidak membantu suatu golongan kalau tidak disertai niat yang benar. Begitu suratku sampai,berpidatolah kepada mereka, paculah mereka untuk menghadapi musuh, tanamkan kesabaran dan niat baik dalam diri mereka.”

Teguran dari Khalifah Umar membuat Amr bin Ash menyegerakan penaklukan kota Alexandria ini dengan membuat strategi matang. Amr kemudian menunjuk ‘Ubadah bin Ash-Shamit sebagai penggantinya dalam peran panglima perang.

Di bawah pimpinan ‘Ubadah Ash-Shamit, pasukan Muslimin melancarkan serangan terus-menerus terhadap kota Alexandria. Akhirnya, kota tersebut berhasil dijebol dan dikuasai oleh Pasukan Muslim serta Allah SWT memberikan kemenangan kepada pasukan Muslimin.

Dengan berhasilnya Islam menguasai kota Alexandria, Islam memperoleh harta karun berupa pangkalan Angkatan Laut yang sangat berharga, sambil mengurangi kekuatan Romawi dan menaklukkan negeri yang kaya akan kekayaan dan budaya. Kemudian Romawi melakukan perjanjian damai kepada Pasukan Muslim.

Dalam konteks kekalahannya Alexandria di tangan Pasukan Muslim, sebuah aspek yang krusial adalah absennya dukungan dari pihak Romawi pusat. Terbukti bahwa kota ini merupakan suatu kekayaan yang signifikan, dan menjadi pertanyaan mengapa pihak Romawi tidak mengirimkan bantuan.

Raja Heraklius sebelumnya telah menyiapkan armada tempur yang substansial untuk memberikan dukungan kepada pasukan di Alexandria. Namun, pada tahun 641 M, khususnya pada bulan Februari, berita duka menyelimuti keberlanjutan rencana tersebut ketika Raja Heraklius menghembuskan nafas terakhirnya. Kepergian Heraklius mengakibatkan pemerintahan Romawi beralih ke tangan putranya yang sulung, yakni Heraklius Konstantinus, yang didampingi oleh adik tirinya, Heraklonas.

Kepemimpinan Heraklius Konstantinus ternyata hanya bersifat sementara, tepatnya selama 3 bulan, sehingga Heraklonas akhirnya menjadi penguasa tunggal. Namun, kestabilan tersebut juga terpatahkan dalam waktu singkat, sebab Konstan II bersama Valentinus berhasil meruntuhkan pemerintahannya.

Transisi kekuasaan dan kompleksitas dinamika politik ini menciptakan kendala bagi pelaksanaan rencana bantuan dari pusat. Akhirnya, di bawah kepemimpinan Konstan II pada tahun 642 M, perintah dikeluarkan untuk menarik mundur pasukan Romawi yang berada di Alexandria. Tapi nanti pada tahun 645 M kota ini kembali direbut Byzantium di bawah Marsekal Manuel.

Dengan bangga, kehebatan Islam yang menguasai Alexandria adalah kisah epik perpaduan antara kebijaksanaan intelektual dan keberanian militer. Pencapaian ini tidak hanya sekadar penaklukan kota, melainkan juga puncak dari peradaban yang memahami nilai pengetahuan dan keragaman budaya. Alexandria, sebagai pusat keilmuan yang bergengsi, menjadi panggung bagi perluasan wawasan keilmuan dalam berbagai bidang.

Islam tidak hanya membawa keamanan dan kestabilan, tetapi juga memupuk pertukaran gagasan dalam sains, seni, dan filsafat. Keberadaan Islam di Alexandria bukan hanya tentang kejayaan politik, tetapi juga warisan kearifan dan toleransi yang memperkaya khazanah peradaban manusia.

Kisah ini adalah simbol keberhasilan, di mana pertemuan antara Islam dan Alexandria menciptakan babak baru dalam sejarah, memberikan makna mendalam pada pesona dan keanekaragaman peradaban. []


Penulis: M Iqbal Rabbani

Editor: Kholaf Al Muntadar