Kemanusiaan Mendahului Sikap Keberagamaan

 
Kemanusiaan Mendahului Sikap Keberagamaan
Sumber Gambar: muslimvillage.com, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Seorang netizen yang sedang kuliah di Al-Azhar, Mesir memberitahu saya tentang buku karya Habib Ali Al-Jufri. Saya berterima kasih atas informasi tersebut dan segera melacak untuk kemudian membacanya. Buku ini semacam kompilasi makalah dan ceramah beliau. Topik yang dibahas singkat dan aktual. Beberapa tulisan dalam buku itu juga berasal dari respons Habib Ali Al-Jufri terkait pertanyaan atau komentar di Facebook.

Secara umum, saya memiliki kesesuaian pandangan dengan Habib Ali Al-Jufri. Bukan saja beliau luas pandangannya tapi juga luwes sikapnya. Santun dalam berdakwah, tajam dalam berargumen, dan konon kabarnya menurut guru beliau, Habib Umar bin Hafidz  wajah Habib Ali Al-Jufri mirip datuknya, Rasulullah SAW. Wallahu 'Alam bis Showab.

Judul yang dipilih Habib Ali Al-Jufri cukup mengundang kontroversi; Al-Insaniyyah qabla At-Tadayyun, yang berarti kemanusiaan mendahului sikap religius. Habib Ali mengklarifikasi dalam berbagai kesempatan, bahwa beliau tidak mengatakan Al-Insaniyyah qabla Ad-Din (kemanusian mendahului agama). Hal ini karena bagi beliau, tetap agama itu nomor satu. Namun beliau hendak memisahkan antara agama dengan pandangan dan sikap keberagamaan. Religion dan religiosity itu adalah dua hal yang terkait tapi tetap harus dibedakan.

Teks agama dalam Al-Qur’an dan Hadis itu benar dan suci, tapi pandangan dan sikap kita belum tentu benar, apalagi suci. Kegagalan memisahkan ini akan membuat apa yang kita pahami terkait kitab suci seolah dianggap sama mutlaknya dengan kebenaran kitab suci. Contoh praktis saja; banyak yang merasa membela Islam, padahal boleh jadi yang dia bela adalah sikap dan pandangannya tentang Islam. Jadi, dari sini jelas bahwa Habib Ali Al-Jufri tetap mengutamakan agama (Ad-Din).

Nah, apa dalil dari pandangan Habib Ali tentang kemanusiaan didahulukan atas religiositas tersebut? Dalam bukunya itu, beliau mengutip penjelasan dari Hadis Nabi SAW. Beliau sampaikan versi ringkasnya. Di bawah ini saya kutip versi lengkapnya.

Berikut Hadis yang terdapat di dalam Musnad Ahmad:

حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ قَالَ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَيَّاشٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي عَمْرٍو السَّيْبَانِيِّ عَنْ أَبِي سَلَّامٍ الدِّمَشْقِيِّ وَعَمْرِو بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّهُمَا سَمِعَا أَبَا أُمَامَةَ الْبَاهِلِيَّ يُحَدِّثُ عَنْ حَدِيثِ عَمْرِو بْنِ عَبَسَةَ السُّلَمِيِّ قَالَ رَغِبْتُ عَنْ آلِهَةِ قَوْمِي فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَذَكَرَ الْحَدِيثَ قَالَ فَسَأَلْتُ عَنْهُ فَوَجَدْتُهُ مُسْتَخْفِيًا بِشَأْنِهِ فَتَلَطَّفْتُ لَهُ حَتَّى دَخَلْتُ عَلَيْهِ فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ فَقُلْتُ لَهُ مَا أَنْتَ فَقَالَ نَبِيٌّ فَقُلْتُ وَمَا النَّبِيُّ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ فَقُلْتُ وَمَنْ أَرْسَلَكَ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ قُلْتُ بِمَاذَا أَرْسَلَكَ فَقَالَ بِأَنْ تُوصَلَ الْأَرْحَامُ وَتُحْقَنَ الدِّمَاءُ وَتُؤَمَّنَ السُّبُلُ وَتُكَسَّرَ الْأَوْثَانُ وَيُعْبَدَ اللَّهُ وَحْدَهُ لَا يُشْرَكُ بِهِ شَيْءٌ قُلْتُ نِعْمَ مَا أَرْسَلَكَ بِهِ وَأُشْهِدُكَ أَنِّي قَدْ آمَنْتُ بِكَ وَصَدَّقْتُكَ أَفَأَمْكُثُ مَعَكَ أَمْ مَا تَرَى فَقَالَ قَدْ تَرَى كَرَاهَةَ النَّاسِ لِمَا جِئْتُ بِهِ فَامْكُثْ فِي أَهْلِكَ فَإِذَا سَمِعْتُمْ بِي قَدْ خَرَجْتُ مَخْرَجِي فَأْتِنِي

"Telah menceritakan kepada kami, Abu Al-Yaman berkata; telah menceritakan kepada kami Isma'il bin 'Ayyasy dari Yahya bin Abu 'Amr As-Syaibani dari Abu Sallam Ad-Dimasyqi dan 'Amr bin Abdullah; sesungguhnya keduanya telah mendengar Abu Umamah Al-Bahili menceritakan dari Hadis 'Amr bin 'Abasah As-Sulami berkata; 'Saya sangat membenci tuhan-tuhan kaumku pada Masa Jahiliyyah,' lalu dia menyebutkan Hadisnya. ('Amr bin 'Abasah As-Sulami) berkata; lalu saya bertanya tentang keberadaan Nabi, dan saya pun mendapatkan Nabi dalam keadaan menyembunyikan diri dari keramaian orang. Saya berusaha menemuinya dengan cara menyamar hingga saya bisa menemuinya, saya ucapkan salam kepadanya, lalu saya bertanya, 'Apa (status/kedudukan) anda?' Beliau menjawab, 'Nabi.' Saya ('Amr bin 'Abasah) berkata, 'Apakah Nabi itu?' Beliau menjawa, 'Rasulullah.' Saya bertanya, 'Siapakah yang mengutus kamu?' Beliau menjawab, 'Allah Azza wa Jalla.' Saya bertanya, 'Dengan apa?' Beliau menjawab, 'Agar kamu menyambung silaturrahim, melindungi darah, mengamankan jalan, berhala dihancurkan, Allah semata yang disembah dan tidak ada sekutu bagi-Nya sesuatupun.' Saya berkata, 'Sangat bagus risalah yang karenanya kau diutus. Saya bersaksi sesungguhnya saya beriman kepadamu, dan saya mempercayaimu, apakah saya harus tinggal bersamamu atau bagaimana pendapatmu?' Maka beliau bersabda, 'Kamu telah melihat kebencian orang-orang atas apa yang saya bawa, maka tinggallah di keluargamu. Jika suatu hari nanti kamu mendengarku dan saya telah keluar dari tempat persembunyianku, datangilah saya.'"

Habib Ali Al-Jufri menjelaskan, bahwa cara Rasulullah SAW menjelaskan risalahnya itu dengan menyebut tiga hal mendasar dulu, yakni:

1. Menyambung Silaturrahim. Ini dimaknai oleh Habib Ali sebagai jaminan keamanan masyarakat

2. Melindungi darah. Ini dimaknai Habib Ali sebagai perlindungan terhadap kehidupan

3. Mengamankan jalan. Ini berarti, menurut Habib Ali adalah keamanan publik

Setelah tiga hal itu itu barulah Rasululullah SAW menjawab mengenai religiosity, yaitu menghancurkan berhala (ini bagian amar ma’ruf nahi munkar), dan sikap kukuh bertauhid hanya menyembah Allah (ini masuk wilayah dakwah).

Berdasarkan riwayat yang menurut Syaikh Arnaut berstatus shahih ini, Habib Ali Al-Jufri menyampaikan pesan-pesan kemanusiaannya. Kita pun memahami bahwa semua manusia dijamin keamanan dan kehormatannya, baik di level keluarga-kolega, maupun masyarakat. Setiap orang harus dimuliakan darahnya, hartanya, keluarganya, kehormatanya dan status sosialnya. Islam menghendaki setiap orang aman dan merasa nyaman berjalan-jalan di pasar, jalan raya, dan area publik lainnya tanpa khawatir akan dibully, dinistakan, atau diserang kehormatannya maupun terkena tindak kriminal seperti pencopetan, serangan teroris, atau bahkan sekadar sandal hilang di Masjid.

Dengan jaminan sosial, kehidupan dan keamanan publik itu barulah kemudian orang bisa beragama dengan khusyuk dan aman serta nyaman. Hati yang adem akan membuat sikap keberagamaan kita juga adem.

Dengan kata lain, problem yang kita hadapi dewasa ini bukan soal teks keagamaan, tapi soal kemanusiaan kita yang merasa terancam, tidak aman dan tidak nyaman. Ini menggerus kemanusiaan kita sehingga kita tidak lagi jernih, adil dan beradab dalam memahami teks keagamaan.

Pada gilirannya, sikap keberagamaan kita dipengaruhi oleh sehat atau sakitnya kemanusiaan kita. Itu sebabnya Rasulullah SAW menyentuh sisi kemanusiaan kita terlebih dahulu dengan ajaran menyambung silaturrahmi, melindungi darah sesama manusia, dan mengamankan jalan raya.

Pesan Habib Ali Al-Jufri dalam bukunya ini cocok dengan penjelasan para Kyai NU seperti Gus Mus, misalnya, yang menekankan dakwah kita itu bertujuan untuk memanusiakan kembali kemanusiaan kita. Sayang, saat ini kita mengalami krisis kemanusiaan dan malah asyik saling mencaci memaki. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 18 Januari 2019. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Penulis: Prof. Nadirsyah Hosen

Editor: Hakim