Tahun 637 M: Pembebasan Baitul Maqdis (Yerussalem)

 
Tahun 637 M: Pembebasan Baitul Maqdis (Yerussalem)
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Pada abad ke-7 Masehi, Yerusalem menjadi saksi dari satu momen bersejarah yang mengubah wajah kota suci ini secara fundamental penaklukan Islam. Berlangsung pada tahun 637 M, peristiwa ini memperkenalkan dunia pada kehadiran kekhalifahan Islam yang dipimpin oleh Umar bin Khattab, Khalifah kedua. Yerusalem, yang sejak lama dihormati oleh tiga agama utama dunia Yudaisme, Kristen, dan Islam menjadi pusat perhatian dalam perangkat kekhalifahan yang berkembang.

Latar belakang penaklukan ini tidak dapat dipahami tanpa memperhatikan dinamika geopolitik dan agama pada saat itu. Kala itu, Yerusalem berada di bawah kendali Kekaisaran Bizantium yang tengah melemah dan berkecamuk oleh ketegangan internal. Kekuatan politik dan ekonomi yang terkonsentrasi di Timur Tengah memberikan latar belakang yang cocok bagi ekspansi Islam yang terus-menerus.

Namun, penaklukan Yerusalem tidak sekadar soal aspek politik dan militer semata. Kehadiran Islam di kota ini menciptakan pertemuan unik antar budaya. Yerusalem, yang kaya akan situs-situs suci bagi ketiga agama Abrahamik, menjadi tempat di mana keberagaman ini berkumpul dan berinteraksi. Penaklukan Islam membuka babak baru dalam sejarah kota ini, di mana toleransi agama dan keberagaman menjadi inti dari pemerintahan Islam.

Dengan memahami peristiwa ini dalam konteks sejarah yang lebih luas, kita dapat melihat bahwa penaklukan Yerusalem oleh Islam tidak hanya merubah peta politik, tetapi juga memberikan sumbangan besar terhadap warisan budaya dan keagamaan dunia. Keseluruhan peristiwa ini menjadi kisah menarik tentang bagaimana peradaban saling berinteraksi dan membentuk satu sama lain, menciptakan warisan yang tetap hidup dalam sejarah panjang Yerusalem.

Yerusalem mempunyai sejarah yang sangat panjang, tempat ini pernah menjadi Kerajaan Raja Daud pada 1000 tahun SM, yang ia taklukan dari orang–orang Yebus. Lalu pernah dikuasai oleh Persia di bawah Raja Neo-Babylonia Nebukadnezar II pada tahun 597 SM. Selama penaklukan Islam di Suriah Raya, tentara Muslim juga tiba di Palestina. Atas perintah Khalifah Umar, Yerusalem dikepung dan dikuasai bangsa Arab pada tahun 637 Masehi. Di era pemerintahan Muslim berikut, berbagai pemimpin agama yang saling bermusuhan dan terpecah belah memimpin kota itu. Yerusalem sering dikepung dan berpindah tangan beberapa kali.

Pasca Perang Yarmuk dan Pasukan Muslim memperoleh kemenangan yang tidak diduga-duga, Kaisar Heraklius cabut meninggalkan Suriah untuk selama-lamanya menuju Konstantin dan sisa-sisa Pasukan Romawi lari menuju Yerusalem.

Amr bin Ash, dengan penuh keberanian memohon izin dari Khalifah Umar untuk mengambil tindakan tegas dengan menaklukkan Yerusalem. Namun dalam hatinya, Amr bin Ash merasa sedikit cemas mengenai potensi bantuan yang mungkin dikirimkan oleh pasukan Romawi dari daerah Kaisariah yang masih tetap berada di bawah kendali mereka.

Setelah mendengarkan pertimbangan Amr bin Ash, Khalifah Umar dengan bijak dan tegas memberikan izin untuk melanjutkan rencana penaklukan tersebut. Tidak hanya memberikan izin, Khalifah Umar juga mengambil langkah lebih lanjut dengan mengutus pasukan elit Muslim untuk segera menguasai wilayah Kaisariah.

Diutuslah Muawiyah ke sana bersama Pasukan Muslim yang lain. Karena kekuatan Islam pada masa itu sangat hebat, mudah saja bagi mereka memperoleh kemenangan walaupun harus memakan waktu yang cukup lama. Tetapi dengan memutus potensi bantuan dari daerah itu, memudahkan Pasukan Muslim dalam Penaklukan Yerusalem.

Pada saat yang bersamaan, Amr bin Ash berhadapan dengan sisa Pasukan Romawi di Ajnadain yang dipimpin oleh Panglima Atrabun. Pertempuran yang sengit melibatkan kedua belah pihak, dengan keadaan bertukar-tukar kemenangan dan kekalahan. Di tengah-tengah gempuran peperangan, kabar baik mulai tersebar, memberikan semangat baru bagi Pasukan Muslim. Kabar tersebut adalah kemenangan Pasukan Khalid bin Walid dan Abu Ubaidah di Utara Syam.

Seiring berakhirnya hari, Atrabun melihat pasukannya yang terhuyung-huyung, tampak kelelahan setelah pertempuran yang berat. Dengan sangat terpaksa, Atrabun memutuskan untuk menarik semua pasukan yang masih bertahan untuk mundur dan kembali ke Yerusalem. Pasukan Muslim pun meraih kemenangan dalam pertempuran tersebut, mengukir prestasi gemilang di medan perang yang krusial.

Kekalahan di Ajnadain membuat pihak Romawi semakin yakin bahwa kota Yerusalem akan segera dikuasai pihak Arab, mereka yang ada di kota itu mendesak Uskup Agung Severinus segera memindahkan Salib Suci dan benda-benda suci lainnya untuk dibawa ke Raja Konstantinopel lewat jalur laut. Yang pada akhirnya Salib itu diletakkan di Gereja Santo Aya Sophia. Panglima Atrabun juga segera meninggalkan kota itu dan menuju ke Mesir.

Pengepungan kota Yerusalem pun dilakukan oleh Pasukan Muslim yang dipimpin oleh Amr bin Ash dengan waktu cukup lama serta perlawanan yang sengit. Karena Paus Agung Severinus tahu bahwa kota ini tidak akan lama lagi benar-benar akan dikuasai oleh Pasukan Muslim, ia meminta berunding dengan Amr bin Ash untuk membahas jalan perdamaian. Dengan syarat, Khalifah sendiri yang diharap untuk datang ke Yerussalem untuk perjanjian damai tersebut.

Khalifah Umar menyetujui hal itu, namun sebelum berangkat beliau mengadakan diskusi kecil dengan para sahabat di masjid mengenai ajakan itu. Memunculkan pendapat yang berbeda dari dua sahabat yang akan menjabat sebagai khalifah setelah Sayyidina Umar, yaitu Sayyidina Utsman dan Sayyidina Ali.

Utsman bin Affan berpendapat bahwa lebih baik Khalifah Umar tetap di Madinah agar menunjukan kewibawaannya, lagipula sebentar lagi mungkin mereka akan menyerah dan membayar jizyah. Ali bin Abi Thalib tidak sependapat dengan Utsman, beliau berpendapat bahwa lebih baik Khalifah Umar berangkat saja dengan alasan Pasukan Muslim sudah sangat lama berjuang di sana, menghadapi cuaca yang dingin, serta jauh dari kampung halamannya, kedatangan Khalifah bisa jadi penyemangat dan penyejuk bagi mereka.

Khalifah Umar menerima pendapat Ali bin Abi Thalib dan segera berangkat dengan pasukannya, menyerahkan segala urusan di Madinah di tangan Ali bin Abi Thalib. Tujuan beliau adalah daerah bernama Jabiah. Setelah sampai di Jabiah, Khalifah segera memanggil Komandan-Komandannya untuk segera bertemu dan berunding.

Datanglah Yazid bin Abu Sufyan, Abu Ubaidah, dan Khalid bin Walid. Mereka datang dengan sangat memukau, sambil mengenakan pakaian dari sutera. Khalifah marah melihat mereka, dan melempari mereka dengan batu serta berkata

”Cepat! Pergi dari sini saya tidak mau melihat kalian!! Untuk menyambut saya kalian berpakaian seperti ini!!!”

Mereka meminta maaf lalu menjelaskan bahwa pakaian itu hanya luaran saja, mereka masih tetap membawa senjata di pinggang (Pakaian itu mereka dapat dari hasil perang dengan Persia). Khalifah Umar mengizinkan hal itu. Kemudian Khalifah Umar menetap di Jabiah untuk melakukan perjanjian damai.

Sesuai perjanjian, utusan Yerusalem datang ke Jabiah untuk mengadakan perjanjian damai. Mereka disambut baik oleh Pasukan Muslim atas perintah Khalifah Umar. Disaksikan oleh Khalid bin Walid, Abdurrahman bin Auf, Amr bin Ash, dan Muawiyah bin Abu Sufyan. Isi dari perjanjian damai tersebut yaitu:

”Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, ini adalah jaminan yang diberikan oleh hamba Allah, Umar Amirul Mukminin, kepada pihak Aelia.

Jaminan keselamatan untuk jiwa dan harta mereka, untuk tempat ibadah mereka seperti gereja dan salib, baik untuk yang sedang sakit maupun yang sehat, dan juga untuk kelompok agama lainnya. Tempat ibadah mereka tidak boleh dihuni atau dirobohkan, dan tidak ada pengurangan atau kerusakan yang boleh dilakukan terhadapnya, termasuk salib dan harta benda mereka. Mereka tidak boleh dipaksa untuk mengubah keyakinan agama mereka atau mengalami gangguan dalam praktik ibadah mereka. Orang Yahudi tidak diizinkan tinggal bersama mereka di Aelia.

Penduduk Aelia diwajibkan membayar jizyah, sebagaimana yang dilakukan oleh penduduk Mada'in. Mereka harus mengusir orang-orang Romawi dan pencuri-pencuri dari wilayah tersebut. Mereka yang memutuskan untuk pergi akan dijamin keamanan untuk diri mereka dan harta benda mereka hingga sampai ke tujuan yang aman. Jika ada yang memilih untuk tetap tinggal, mereka juga berkewajiban membayar jizyah sebagaimana penduduk Aelia.

Bagi mereka yang ingin pergi bersama pihak Romawi, mereka diizinkan untuk melakukannya, dan bagi yang ingin kembali kepada keluarga mereka, mereka bebas untuk melakukannya. Tidak boleh ada tindakan penahanan atau pemungutan sebelum mereka menyelesaikan panen mereka. Semua isi dalam surat perjanjian ini adalah janji yang dijamin oleh Allah, dengan jaminan Rasul-Nya, para khalifah, dan oleh orang-orang yang beriman, terkait dengan kewajiban pembayaran jizyah yang menjadi tanggung jawab mereka.”

Perjanjian di atas ditandatangani langsung oleh Khalifah Umar.

Setelah utusan tersebut kembali ke Yerusalem, surat perjanjian itu dibaca oleh Paus Agung Severinus. Alangkah bahagianya beliau membaca surat perjanjian tersebut, faktanya perjanjian itu sangat menguntungkan sekali untuk masyarakat Yerusalem. Mereka bebas memegang teguh agama mereka, dijamin keamanannya, bisa keluar kota tersebut dengan aman, hasil bumi mereka tetap mereka miliki sampai panen, dan persyaratannya hanya dengan membayar Jizyah.

Sungguh sangat bijaksana keputusan Khalifah Umar saat itu, membuat daerah-daerah di sekelilingnya mencoba mengikuti untuk melakukan perjanjian yang sama, sangat berbeda sekali dengan Raja Heraklius yang memaksa untuk mengikuti kurikulum keagaaman mereka kalau tidak mau, terima sendiri akibatnya.

Perjanjian damai pun terbentuk, Khalifah Umar beserta seluruh Pasukan Muslim memasuki kota Yerusalem. Mereka disambut oleh Paus Agung Severinus, tidak lama setelah memasuki kota itu, masuklah pula waktu Shalat Dzuhur. Paus Severinus menyarankan Khalifah untuk melaksanakan shalat di dalam Gereja Sepulcre.

Dengan sangat halus Khalifah menolak hal itu, mempertimbangkan di masa yang akan datang takut Gereja tersebut direbut dan diubah menjadi masjid oleh umat Muslim. “Kalau saya shalat di situ, dikhawatirkan di kemudian hari umat Islam merampas gereja Tuan untuk dijadikan masjid.”

Umar kemudian shalat di tempat yang selanjutnya didirikan sebuah masjid. Masjid itu didirikan oleh Umar bin Khattab di lokasi Masjid Al-Aqsha sekarang. Ketika itu, bangunannya masih sederhana dengan dinding kayu dan atap akar pohon.

Dengan mengingat peristiwa penting dalam sejarah pembebasan Yerusalem pada tahun 637 M, kita dapat menarik berbagai pembelajaran yang relevan hingga saat ini. Keberhasilan pasukan Muslim di bawah kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab mengajarkan kita tentang kekuatan tekad, persatuan, dan keadilan dalam mencapai tujuan yang besar.

Meskipun peristiwa ini memiliki dampak sejarah yang signifikan, penting bagi kita untuk memahami bahwa perjalanan Yerusalem tidak berakhir di sini. Kota ini terus menjadi pusat perhatian dunia dan simbol penting bagi berbagai keyakinan. Oleh karena itu, mari kita terus merenung dan belajar dari sejarah ini untuk membangun dunia yang lebih toleran, adil, dan damai bagi generasi mendatang. []


Catatan: Tulisan ini diolah dan dikembangkan dari berbagai sumber otoritatif, khususnya dari Buku Umar bin Khattab: Sebuah Telaah Mendalam tentang Pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya Masa Itu karya Muhammad Husain Haekal (Terjemah oleh Ali Audah).

Penulis: Muhammad Iqbal Rabbani

Editor: Kholaf Al Muntadar