Kelahiran dan Silsilah Nasab Nabi Muhammad SAW

 
Kelahiran dan Silsilah Nasab Nabi Muhammad SAW
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Rasulullah Muhammad SAW adalah putra Abdullah bin Abdul Muthalib (nama aslinya Syaibah Al-Hamd) putra Qushaiy (nama aslinya Zaid) putra Kilab putra Murrah putra Kaʻb putra Lu'aiy putra Ghalib putra Fihr putra Malik putra An-Nadhr putra Kinanah putra Khuzaimah putra Mudrikah putra Ilyas putra Mudhar putra Nazar putra Mu'id putra Adnan.

Itulah batas garis keturunan Rasulullah SAW yang telah disepakati. Susunan garis keturunan berikutnya setelah Adnan masih diperselisihkan. Namun, telah disepakati bahwa Adnan adalah keturunan Nabiyullah Ismail putra Ibrahim, Sang Khalilullah (kekasih Allah). Juga disepakati bahwa Allah SWT telah memilih Al-Musthafa dari suku yang bersih, keturunan yang paling suci dan utama. Tidak sedikit ada karat jahiliyah terkandung dalam nasabnya.

Imam Muslim meriwayatkan dengan sanad yang tersambung hingga Rasulullah SAW, bahwa beliau bersabda, "Sesungguhnya Allah memilih Kinanah dari keturunan Ismail, dan memilih Quraisy dari Kinanah, dan memilih Hasyim dari Quraisy, dan memilihku dari Bani Hasyim."

Nabi Muhammad SAW dilahirkan pada Tahun Gajah, tahun ketika Abrahah Al-Asyram bergerak untuk menyerang Makkah dan menghancurkan Kakbah. Namun, Allah menggagalkan ambisinya itu melalui mukjizat yang menakjubkan, sebagaimana diceritakan dalam Al-Quran, tepatnya di Surat Al-Fil. Kelahirannya ini, menurut riwayat yang paling kuat, jatuh pada hari Senin malam, 12 Rabiul Awwal.

Beliau dilahirkan sebagai anak yatim. Ayahnya, Abdullah, meninggal dunia saat beliau dua bulan dalam kandungan sang ibunda. Kemudian beliau diasuh kakeknya, Abdul Muthalib, dan disusukan sebagaimana tradisi Bangsa Arab saat itu kepada seorang perempuan dari Bani Sa'd bin Bakar yang bernama Halimah binti Abu Dzu'aib.

Para perawi sirah sepakat, bahwa perkampungan Bani Sa'd pada waktu itu tengah dilanda kemarau panjang yang merusak pertanian dan peternakan mereka. Tidak lama setelah Muhammad SAW menetap di rumah Halimah, tinggal di kamarnya, dan menyusu darinya, tanaman-tanaman di sekitar rumahnya kembali tumbuh subur sehingga kambing-kambingnya pulang ke kandang dengan perut kenyang dan sarat air susu.

Selama Nabi Muhammad SAW tinggal di perkampungan Bani Sa’d, terjadilah peristiwa “pembelahan dada” sebagaimana diriwayatkan Imam Muslim. (Imam Muslim, Shahih Muslim, jilid 1, hlm. 101 dan Ibnu Hisyam Sirah Ibnu Hisyam, jilid 1, hlm. 164)

Saat beliau berusia lima tahun, Halimah mengembalikan anak susuannya itu kepada ibunya. Namun, beliau tidak lama dalam pengasuhan sang ibunda, karena tak lama kemudian, Siti Aminah meninggal dunia. Kemudian beliau diasuh kakeknya, Abdul Muthalib. Tetapi tidak lama kemduian, Abdul Muthalib pun meninggal, sedangkan saat itu Muhammad SAW baru genap berusia delapan tahun. Setelah itu, sepeninggal kakeknya, beliau diasuh oleh pamannya, yaitu Abu Thalib.

Butiran Hikmah

Dari bagian Sirah Nabi SAW ini kita dapat mengambil beberapa prinsip dan pelajaran penting, antara lain yang dapat dipetik hikmahnya adalah:

Pertama, nasab Nabi Muhammad SAW yang mulia itu mengandung beberapa dalil yang jelas bahwa Allah SWT mengutamakan Quraisy dari semua suku lain. Ini dengan jelas dapat kita baca dalam Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Ada juga beberapa Hadis lain yang semakna, salah satunya adalah Hadis yang diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi, bahwa Nabi SAW pernah berdiri di atas mimbar kemudian bertanya, “Siapakah aku?” Orang-orang menjawab, “Engkau adalah Rasulullah 'Alaikassalam.” Lalu beliau bersabda, “Aku adalah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib. Sesungguhnya Allah menciptakan manusia, lalu memilah mereka ke dalam dua kelompok, lantas Dia menjadikanku dalam kelompok terbaik, lalu Dia membuat mereka menjadi suku-suku, lantas Dia menempatkanku dalam suku terbaik, selanjutnya Dia membuat mereka menjadi rumah-rumah, lantas Dia menjadikanku di dalam rumah yang terbaik anggota-anggotanya.” (Imam At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, jilid 9, hlm. 236)

Penting diingat, salah satu keniscayaan mencintai Rasulullah SAW adalah mencintai kaum dan suku tempat beliau dilahirkan. Keniscayaan ini tidak memandang aspek pribadi atau golongan, tetapi semata-mata karena aspek hakikat. Sebab, hakikat Arab adalah Suku Quraisy, dan semua kehormatan berasal darinya dengan diutusnya Rasulullah SAW dari tengah-tengah suku tersebut. Meskipun memang ada orang Arab atau keturunan Quraisy yang menyimpang dari jalan Allah; yang merusak kemuliaan Islam yang telah dipilih oleh Allah bagi hamba-Nya. Sebab, penyimpangan atau kerusakan mereka itu terlaksana tanpa menyandarkan dirinya dengan Rasulullah SAW, bahkan mereka tak pernah menganggapnya sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan sesuatu.

Kedua, bukan kebetulan jika Rasulullah SAW dilahirkan sebagai anak yatim, lalu tidak lama kemudian beliau kehilangan kakeknya, sehingga di masa-masa awal kehidupannya, beliau jauh dari asuhan ayahnya dan bahkan ditakdirkan terhalang dari sentuhan penuh kasih sayang ibunya.

Allah SWT telah memilihkan tempat khusus bagi tumbuh kembangnya Nabi Muhammad SAW karena beberapa hikmah yang luar biasa. Bisa jadi, yang terpenting di antaranya adalah agar para pembela kebatilan tidak punya celah untuk menyusupkan keragu-raguan dalam hati manusia.

Seandainya Nabi Muhammad SAW dilahirkan tidak dalam keadaan yatim, kemudian beliau dididik dan diasuh oleh ayahnya, juga oleh kakek, dan paman-pamannya, maka akan sangat mungkin ada yang berprasangka bahwa Nabi Muhammad SAW menikmati keberhasilan dakwah yang beliau serukan sejak usia belia berkat arahan dan bimbingan ayah dan kakeknya. Sebab, Abdul Muthalib adalah pemuka kaumnya yang berwenang atas Ar-Rifadah (adalah kerja sama kaum Quraisy; masing-masing orang menyumbangkan harta semampunya lalu menghimpunnya menjadi harta benda yang jumlahnya sangat besar, kemudian mereka membeli makanan, kismis, dan nabidz, lantas memberi makan dan minum orang-orang sepanjang musim haji) dan As-Siqayah (pemberian makan dan minum bagi jamaah haji). Lalu mnurut sangkaan itu, sangat wajar jika seorang kakek mendidik cucunya atau ayah mendidik anaknya berdasarkan warisan leluhur mereka.

Kebijaksanaan Allah SWT itu benar-benar membuat para pembela kebatilan tidak punya celah untuk menyusupkan keraguan, karena Rasulullah SAW tumbuh dan berkembang jauh dari pendidikan ayahnya, ibunya, atau kakeknya, bahkan di masa-masa awal pertumbuhannya.

Hal itu karena memang Allah SWT benar-benar menghendaki beliau menjalani masa itu di dusun Bani Sa'd, jauh dari lingkungan keluarganya. Ketika kakeknya meninggal dunia, beliau diasuh oleh pamannya, Abu Thalib, yang meninggal dunia tiga tahun sebelum hijrah. Terlebih lagi, pamannya tersebut tidak memeluk Islam hingga akhir hayatnya, sehingga tidak mungkin bagi siapa pun untuk menuduh bahwa pamannya itu memengaruhi risalahnya, atau bahwa persoalan ini adalah persoalan suku, keluarga, kepemimpinan, dan pangkat.

Demikianlah kebijaksanaan Allah SWT yang menghendaki agar Rasulullah SAW tumbuh berkembang sebagai anak yatim, dan kemudian diasuh dalam pemeliharaan Allah SWT.

Beliau tumbuh tanpa orang-orang yang memanjakannya dan tanpa keberlimpahan harta yang menambah kenyamanan hidupnya. Dengan begitu, jiwanya tidak cenderung pada keagungan harta benda atau martabat, dan agar beliau tidak disilaukan oleh jabatan, kedudukan sosial, dan ketokohan di tengah masyarakatnya. Jadi, kenabiannya tidak dicampuri hasrat duniawi dan popularitas. Tujuan lainnya adalah agar manusia tidak menuduh beliau berpura-pura menjadi nabi, dan dianggap hanya bermaksud mengincar kenikmatan dunia.

Ketiga, para perawi Sirah Nabi SAW sepakat adalah fakta bahwa tempat-tempat yang disinggahi Halimah As-Sa'diyah kembali menghijau, padahal sebelumnya kering kerontang. Kantong susu unta tuanya pun menjadi penuh, padahal sebelumnya kering, tidak mengeluarkan setetes pun susu.

Semua itu menunjukkan keagungan Rasulullah SAW dan ketinggian martabatnya di sisi Allah, bahkan sejak beliau masih kanak-kanak. Salah satu wujud pemuliaan Allah SWT pada beliau yang paling menonjol adalah, bahwa Dia memuliakan rumah tangga Halimah As-Sa’diyah yang mendapat kehormatan untuk menyusui.

Hal tersebut bukanlah fenomena yang aneh atau mengherankan, karena syariat Islam telah mengajari kita untuk memanjatkan doa Istisqa’ lewat keberkahan orang-orang yang sholeh serta Ahlul Bait Muhammad SAW ketika hujan tidak kunjung turun, dengan harapan agar Allah mengabulkan doa kita. (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, jilid 2, hlm. 265)

Jadi, tidaklah aneh jika tempat yang dilewati dan kemudian ditinggali Rasulullah SAW dilimpahi kebaikan, kesuburan, dan kemakmuran. Meski saat itu beliau masih bayi yang dipangku dan disusui oleh Halimah. Dan menghijaunya tanah kering di sekitarnya adalah karena kedudukan beliau, lebih luar biasa daripada turunnya hujan dan mengalirnya mata air. Semua itu terjadi karena kekuasaan Allah, dan hanya Allah semata penyebab seluruh sebab.

Maka, sangat pantas jika Rasulullah SAW berada di urutan paling depan dalam rangkaian sebab-sebab keberkahan dan pemuliaan Allah, karena beliau adalah rahmat Allah bagi manusia, bahkan bagi seluruh alam, sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya:

وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ

“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad), kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiya’: 107)

Keempat, peristiwa pembelahan dada yang dialami oleh Nabi SAW ketika berada di perkampungan Bani Sa'ad dianggap sebagai salah satu tanda kenabian dan bukti bahwa Allah memilihnya untuk mengemban urusan yang agung.

Peristiwa tersebut diriwayatkan melalui berbagai jalur yang shahih dan dari banyak sahabat. Imam Muslim meriwayatkan dari Anas bin Malik r.a, bahwa Rasulullah SAW didatangi Jibril ketika beliau bermain bersama anak-anak lain, lalu Jibril menggendongnya dan menelentangkan beliau. Lantas Jibril membelah dadanya untuk mengeluarkan jantungnya, lalu mengeluarkan dari jantung itu segumpal daging, lalu berkata, “Ini adalah bagian setan darimu.” Selanjutnya, dia mencuci jantungnya dalam bejana emas dengan air zamzam, lalu mengembalikannya ke tempat semula. Anak-anak (yang melihat itu) berlarian memberi tahu ibu susuannya, sambil berteriak-teriak, “Muhammad dibunuh!” Dan memang mereka menemukan Muhammad kecil dalam keadaan pucat pasi. (Imam Muslim, Shahih Muslim, jilid 1, hlm. 101)

Ketika diamati lebih mendalam, kita akan menemukan bahwa hikmah peristiwa tersebut -Wallahu A’lam- bukanlah pencabutan kelenjar jahat dengan akar-akarnya dari diri Rasulullah SAW. Sebab, jika sumber kejahatan adalah sebuah kelenjar dalam tubuh atau segumpal daging, niscaya kita bisa mengubah orang jahat menjadi orang baik melalui bedah operasi. Namun, hakikat hikmah peristiwa ini adalah pengumuman ihwal Rasulullah SAW dan sekaligus menjadi persiapan bagi beliau untuk menerima sifat ma’shum dan wahyu sejak kanak-kanak melalui media yang bersifat materi. Dan semua itu, tidak lain adalah agar beliau lebih mudah dipercaya manusia dan risalahnya lebih mudah diterima. Jadi, ini adalah operasi penyucian ruhani yang dilakukan melalui cara yang bersifat jasmani dan dapat diindra agar pengumuman Ilahi mengenai keterpilihan Muhammad dapat dipersepsi oleh manusia pada umumnya.

Tapi, apa pun hikmahnya, tidak patut kita mencari-cari jalan untuk menanggalkan informasi Hadis tersebut dari makna tekstual dan menakwilkannya dengan penjelasan yang direkayasa dan terkesan terlalu dipaksakan. Jika hal itu dilakukan, maka tentu tidak akan ditemukan orang yang mau mendengarkan takwil seperti itu, kecuali orang yang lemah imannya kepada Allah SWT.

Jadi, penerimaan riwayat ini adalah dengan pertimbangan kebenaran dan keshahihannya. Jika riwayat itu jelas-jelas terbukti shahih, tidak ada secuil pun alasan untuk menolaknya.

Pertimbangannya adalah dengan panduan dan hukum-hukum bahasa Arab. Pada dasarnya, kata-kata adalah hakikat. Lagi pula, seandainya setiap penulis dan pembaca boleh menyimpangkan kata-kata dari arti sebenarnya menuju berbagai kiasan sesuka hati, tentu bahasa dan kata-kata kehilangan nilanya; lambang dan simbol tak lagi bermakna, dan akibatnya timbullah kebingungan dalam hati.

Lantas, mengapa ada orang yang cenderung membuat takwil dan mengaburkan makna yang sebenarnya?

Bisa jadi hal itu adalah sebab lemahnya iman kepada Allah serta lemahnya keyakinan pada kenabian Muhammad SAW dengan kebenaran risalahnya. Jika tidak, maka tentu mudah untuk meyakini semua berita yang shahih periwayatannya, baik hikmah dan sebabnya diketahui ataupun tidak. []


Catatan: Tulisan ini diolah dan dikembangkan dari berbagai sumber otoritatif, khususnya dari Kitab Fiqhus Sirah An-Nabawiyah karya Dr. Ramadhan Al-Buthi dan Buku Membaca Sirah Nabi Muhammad (Dalam Sorotan Al-Qur’an dan Hadis-Hadis Shahih) karya Prof. Quraish Shihab.

___________

Editor: Hakim