Tahun 638 M: Kakek Buyut Covid-19 dari Tanah Arab (Wabah Amwas)

 
Tahun 638 M: Kakek Buyut Covid-19 dari Tanah Arab (Wabah Amwas)
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Wabah Amwas pada tahun 638 M merupakan suatu peristiwa yang mengguncang pilar-pilar masyarakat di Syam dan menciptakan bayang-bayang yang meluas dalam catatan sejarah awal Islam. Sebagai bagian dari perluasan wilayah di bawah pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, penaklukan kota Amwas menjadi lambang kejayaan dan kemajuan umat Muslim. Namun, kedamaian yang tercipta dari keberhasilan ini terancam oleh sebuah musibah tak terduga dalam bentuk pandemi yang membawa dampak sosial dan politik yang serius.

Fondasi sosial ini, meski menciptakan harmoni, ternyata rentan terhadap guncangan yang mendalam. Kehidupan ekonomi dan kultural Syam pada abad ke-7 menciptakan suatu ekosistem yang terintegrasi dengan kesejahteraan umum, namun, pandemi ini menunjukkan bahwa keberlanjutan sistem tersebut dapat berada dalam bayang-bayang ancaman kesehatan yang tak terduga. Wabah Amwas, dengan sifatnya yang belum dapat diidentifikasi, menyebar dengan kecepatan yang menakjubkan dan menciptakan gejala klinis yang serius.

Respons cepat dan efektif Khalifah Umar bin Khattab dalam menanggapi krisis ini menjadi penekanan utama, memunculkan pertanyaan tentang kepemimpinan adaptif dan dampaknya pada kesejahteraan masyarakat. Inisiatif kemanusiaan yang diambilnya, termasuk pengiriman bantuan kesehatan dan logistik, memberikan gambaran mendalam tentang peran dan tanggung jawab seorang pemimpin dalam mengatasi tantangan kesehatan masyarakat.

Melalui artikel ini, kita dapat mengeksplorasi tidak hanya aspek kesehatan dan medis dari wabah ini, tetapi juga melihat bagaimana peristiwa tersebut meresapi struktur sosial, ekonomi, dan politik Islam pada periode tersebut.

Wabah Amwas adalah sebuah wabah sejenis pesbubo yang terjadi sekitar tahun 638 M dari daerah palestina yang diambil namanya dari salah satu kota yang ada di Palestina, yaitu kota Amwas. Tadinya, Khalifah Umar ingin menuju kota Syam pada tahun itu untuk kunjungan. Namun beberapa pemimpin militer seperti Abu Ubaidah bin Jarrah dan Yazid bin Abu Sufyan segera menemui untuk memberi kabar kepada khalifah karena adanya wabah ini.

Wabah Amwas ini sangat mengerikan, saking mengerikannya wabah ini kabarnya apabila terkena sudah dipastikan menemui ajalnya. Apa asal muasal wabah ini? Ada pendapat dari beberapa kalangan sejarawan. Mereka berpendapat bahwa, wabah ini berasal dari korban-korban peperangan. Saking banyaknya korban yang berjatuhan dalam penaklukan perang melawan Persia ataupun Romawi, banyak mayat-mayat yang tidak sempat dikuburkan. Sehingga memunculkan kuman-kuman yang tersebar di udara dan memasuki tubuh-tubuh yang rentan terkena penyakit.

Pendapat yang lain mengatakan kalau wabah itu didasari oleh azab yang diterima Orang Muslim di Syam yang sangat suka meminum Khamr. Abu Ubaidah mengabarkan ke Khalifah Umar bahwa banyak dari kalangan Muslimin yang ketagihan meminum Khamr. Yang dibalas oleh Khalifah dengan perintah apabila Muslimin itu menganggap Khamr itu halal, maka dibunuh saja dan Apabila mereka mengangap haram, maka cambuklah 80 kali.

Abu Ubaidah kemudian secara berurutan menanyai para peminum khamr, dan beruntungnya mereka tetap menyatakan bahwa khamr itu haram. Sebagai hukuman, mereka dijatuhi 80 cambuk. Setelah itu, Abu Ubaidah menyampaikan sumpah bahwa mereka mungkin akan mendapat azab dari Allah SWT.

Kita sama-sama berfikir bahwa pendapat yang pertama lebih bisa diterima oleh akal, dikarenakan  sebelum Wabah Amwas ini eksis menyebar, terjadi musibah kelaparan yang terjadi di Tanah Arab, yang menyebabkan menurunnya imun terhadap setiap orang pastinya.

Perlu diketahui bahwa sebelum wabah melanda, seluruh wilayah Arab mengalami masa sulit yang disebabkan oleh kelaparan. Aktivitas gunung berapi meningkatkan suhu permukaan tanah, menyebabkan kematian pada tanaman, dan mengakibatkan lapisan tanah menjadi hitam, kering, dan terisi abu. Akibatnya, hujan tidak turun dan semua tanaman gagal panen, menyebabkan kerugian besar bagi para petani pada saat itu.

Para peternak hewan juga mengalami hal yang sama, hewan-hewan mereka menjadi kurus dan banyak yang mati. Akhirnya, pasar-pasar menjadi sepi dan musim kelaparan pun terjadi. Walaupun begitu, kondisi di Kota Madinah lebih baik. Penduduk Madinah mempunyai kebiasaan menyimpan cadangan makanan untuk Musim Kemarau, karena hal ini mereka mempunyai kondisi yang lebih baik.

Tapi masalah baru muncul, banyak orang-orang diluar Kota Madinah yang datang berbondong-bondong mengungsi ke kota itu. Sehingga kota itu menjadi sesak dan persediaannya dibagi kepada mereka. Khalifah Umar bertindak cepat dengan langsung meminta sedikit bantuan dari daerah-daerah hasil ekspansi.

Abu Ubaidah gerak cepat dengan mengirim kurang lebih 4000 ribu unta dengan dipenuhi muatan makanan. Lalu dari daerah Palestina, Amr bin Ash mengirimkan 1000 ekor unta dengan muatan bahan makanan, serta 5000 pakaian. Amr bin Ash tidak hanya mengirimkan lewat jalur darat, namun ia juga mengirim lewat jalur laut. Kemudian dari Syam, Muawiyah bin Abu Sufyan mengirimkan 3000 unta dengan muatan bahan makanan dan juga 3000 ribu mantel. Dari Iraq, Sa'ad bin Abi Waqash mengirimkan 1000 ekor unta dengan muatan tepung.

Perkembangan berikutnya, Khalifah Umar membentuk sebuah tim khusus yang bertanggung jawab untuk mendistribusikan bantuan tersebut. Tim ini dengan sigap menyebarkan bantuan ke seluruh penjuru Semenanjung Arab, mencakup daerah perkotaan hingga pedalaman terpencil. Terutama, masyarakat di pedalaman menghadapi kesulitan terbesar akibat musim kelaparan ini. Perlu dicatat bahwa perbedaan nyata tampak di antara masyarakat di Kota Madinah yang cenderung menyimpan cadangan makanan untuk musim kemarau, berbeda dengan mereka yang tinggal di daerah pedalaman yang tidak memiliki keberlanjutan persediaan pangan.

Setiap hari mereka menyembelih beberapa unta untuk dibagi-bagikan. Mereka melaporkan setiap tugas yang mereka jalani, agar semua orang mendapatkan bagian. serta menghitung juga keluarga mana yang tidak ikut makan, keluarga mana yang sakit, dan apa saja yang dikeluhkan masyarakat arab mereka sampaikan langsung kepada Khalifah Umar.

Khalifah Umar benar-benar mengoptimalkan peran dan tanggung jawabnya dalam mengelola kebutuhan masyarakat Arab dan menanggapi tantangan yang dihadapinya. Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa masih terjadi banyak korban, dengan banyak individu yang terus menderita penyakit dan kehilangan nyawa. Musim kelaparan berlanjut hingga sembilan bulan, menyisakan dampak yang mendalam bagi masyarakat yang terkena dampaknya.

Karena kondisi belum juga membaik, Khalifah Umar mengumpulkan sahabat-sahabat dari kalangan Muhajirin maupun Anshar. Apa yang akan beliau lakukan? Beliau mendesak untuk melakukan Shalat Istisqa’ bersama-sama. Shalat yang dilakukan oleh Umat Islam yang dikhususkan untuk meminta turunnya hujan.

Setibanya di Al-Musalla, orang-orang berdoa dengan sungguh-sungguh. Umar, pada saat itu, menangis dengan penuh kesedihan, sehingga janggutnya basah. Al-Abbas bin Abdul-Muttalib berdiri di sampingnya, memegang tangannya, dan mengangkat mukanya seraya berujar, "Allahumma, ya Allah, kami memohon pertolonganMu dengan mengajak pamannya, RasulMu, sebagai syafaat." Abbas juga mengalirkan doa kepada Allah dengan air mata. Semua orang, dengan khusyuk dan penuh rasa takut, berdoa kepada Tuhan. Mereka meyakini bahwa kematian akan menimpa mereka jika Allah tidak membantu dengan turunnya hujan. Namun, Allah ternyata telah mengabulkan doa hamba-hamba-Nya yang tulus beriman dan percaya pada janji-Nya. Allah yang Maha Penyantun dan Maha Pemurah kepada hamba-hamba-Nya.

Hujan turun, membasahi tiap jengkal tanah-tanah semenanjung arab. Tanah mulai hidup kembali, mulai hijau kembali, kehidupan masyarakat di Semenanjung Arab membaik. Pengungsi-pengungsi kembali kedaerahnya masing-masing, serta diberi sangu oleh Khalifah berharap mereka tetap sejahtera di kampungnya.

Kembali ke topik pembahasan artikel ini. Terdapat di dalam sebuah artikel Alodokter berjudul “Peran Sistem Daya Tahan Tubuh dalam Melawan Wabah dan Infeksi Virus”, faktor yang mempengaruhi system daya tahan tubuh, ketika daya tahan tubuh menurun, tubuh menjadi sangat rentan terkena penyakit ataupun virus. Salah satu penyebabnya adalah kekurangan nutrisi.

Musim Kelaparan yang melanda masyarakat di Semenanjung Arab telah menciptakan kondisi kekurangan nutrisi yang serius, mengakibatkan rentan terkena penyakit karena kelemahan sistem kekebalan tubuh. Dalam konteks ini, Wabah Amwas dapat dengan mudah menyasar individu dengan imun yang lemah, memberikan dampak kesehatan yang lebih serius di tengah keterbatasan sumber daya yang ada.

Khalifah Umar saat itu benar-benar menghawatirkan para penduduk Syam, terutama terhadap Abu Ubaidah bin Jarrah. Khalifah sangat takut bila Abu Ubaidah Terkena wabah tersebut dan wafat karenanya. Khalifah memikirkan cara untuk membuat Abu Ubaidah keluar dari kota itu, namun dia jugua tahu bahwa, Abu Ubaidah memiliki iman yang sangat tebal. Abu Ubaidah tidak akan meninggalkan pasukannya begitu saja, ia tidak akan lari dari takdir Allah SWT.

Kemudian Khalifah Umar membujuk dengan mengirimkan sebuah surat, yang isinya mengenai ajakan berbicara empat mata untuk membahas suatu hal. Abu Ubaidah yang menyadari akan niat sebenarnya dari Khalifah mengirimkan surat balasan yang isinya

"Sudah saya ketahui maksud Anda terhadap saya. Saya berada di tengah-tengah pasukan Muslim, dan tidak ingin menjauhi serta berpisah dari mereka hingga Allah menetapkan keputusanNya bagi saya dan mereka. Saya memohon kepada Anda, wahai Amirul Mukminin, untuk melepaskan saya dari keinginan Anda dan membiarkan saya tetap bersama perajurit saya."

Menangislah Khalifah Umar membaca surat itu. Karena faktanya, Khalifah tidak ingin menerima kabar kematian Abu Ubaidah, Khalifah Umar sangat menyukai Abu Ubaidah, bahkan menyiapkan beliau untuk menggantikan sebagai khalifah setelahnya. Tidak putus asa, Khalifah Umar berdiskusi dengan banyak orang cerdas mengenai bagaimana cara untuk menyelamatkan orang-orang di Syam, terkhusus Abu Ubaidah.

 Dikirimkan lagi surat kepada Abu Ubaidah,

“Anda menempatkan mereka di wilayah yang gersang. Pindahkanlah mereka ke daerah yang lebih tinggi dan memiliki kondisi kesehatan yang lebih baik."

Namun, nasib malang menimpa ketika Abu Ubaidah bermaksud untuk melaksanakan perintah tersebut; Wabah Amwas ternyata lebih cepat lagi menjalankan tugasnya yang tragis. Abu Ubaidah pun akhirnya meninggal dunia, lalu, Muaz bin Jabal ditunjuk sebagai penggantinya. Sayangnya, takdir berkata lain, karena Muaz bin Jabal pun tidak terhindar dari maut yang sama akibat wabah tersebut. Kemudian perintah tersebut diambil alih oleh Amr bin Ash.

Segera semua Pasukan Muslim berpencar-pencar di dataran yang lebih tinggi. Perintah itu membuahkan hasil, penyebaran pun terhenti, dan lama kelamaan wabah itu benar-benar menghilang dari Bumi Arab.

Berapa besar dampak yang dihasilkan oleh Wabah Amwas ini? Wabah ini tidak hanya menyebabkan kematian sebanyak 25.000 prajurit Muslim beserta keluarga mereka, melainkan juga merenggut nyawa dari panglima-panglima utama, seperti Abu Ubaidah bin Jarrah, Muadz bin Jabal, Yazid bin Abi Sufyan, dan Syurahbil bin Hasanah, yang semuanya merupakan para sahabat Nabi dalam ajaran Islam. Tak hanya itu, keberadaan wabah ini tidak hanya terbatas pada mengambil nyawa ribuan individu, tetapi juga menjadi pemicu bagi pengungsian penduduk asli Syam yang beragama Kristen.

Dalam keadaan Pasukan Muslim yang porak poranda seperti itu, serta berkurangnya banyak kekuatan dari pihak Pasukan Muslim. Bukankah sebuah kesempatan pula bagi Romawi dan Persia untuk mengambil lagi daerah mereka yang dikuasai Pasukan Muslim? Namun kenyataannya mereka semua juga sangat takut dengan wabah mematikan ini, sehingga mengurungkan niat mereka untuk menguasai kembali daerahnya. []


Catatan: Tulisan ini diolah dan dikembangkan dari berbagai sumber otoritatif, khususnya dari Buku Umar bin Khattab: Sebuah Telaah Mendalam tentang Pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya Masa Itu karya Muhammad Husain Haekal (Terjemah oleh Ali Audah).

Penulis: Muhammad Iqbal Rabbani

Editor: Kholaf Al Muntadar