Rihlah Pertama Nabi Muhammad SAW ke Negeri Syam

 
Rihlah Pertama Nabi Muhammad SAW ke Negeri Syam
Sumber Gambar: Pixabay, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Ketika usia Nabi Muhammad SAW genap 12 tahun, Abu Thalib melakukan perjalanan ke negeri Syam bersama kafilah dagang Quraisy. Dia pun mengajak Muhammad kecil untuk ikut serta.

Ketika rombongan itu singgah di Bashrah, mereka bertemu dengan seorang rahib yang bernama Buhaira. Dia sangat menguasai Kitab Injil dan memahami ajaran Kristen. Di sanalah Buhaira melihat Nabi Muhammad SAW. Dalam perjumpaan itu, dia memperhatikan Muhammad secara saksama dan mengajaknya bicara. Setelah itu, Buhaira menemui Abu Thalib dan bertanya kepadanya, “Apa hubungan anak itu denganmu?”

Abu Thalib menjawab, “Dia putraku.” (Abu Thalib menyebut Muhammad sebagai putranya karena saking cinta dan sayang kepadanya).

Buhaira lalu menukasnya, “Dia bukan putramu. Tidak mungkin ayah anak ini masih hidup.”

Abu Thalib terpaksa harus mengaku, “Dia keponakanku.”

“Apa yang terjadi pada ayahnya?”

“Ayahnya meninggal saat ibunya mengandungnya.”

“Engkau berkata benar. Sekarang, segera bawa pulang anak ini kembali ke negerimu dan jagalah dia dari orang Yahudi. Karena, demi Allah, jika mereka melihatnya di sini, pasti mereka akan berbuat jahat kepadanya. Ketahuilah, keponakanmu ini kelak akan memegang urusan yang sangat besar.”

Mendengar penjelasan Buhaira, Abu Thalib bergegas membawa Muhammad pulang ke Makkah. (Ibnu Hisyam, Sirah Ibnu Hisyam, jilid 1, hlm. 180)

Rasulullah mengisi masa mudanya dengan giat mencari rezeki dan juga menggembalakan kambing. Kelak, Rasulullah SAW bercerita tentang masa mudanya:

كُنْتُ أَرْعَاهَا عَلَى قَرَارِيْطَ لِأَهْلِ مَكَّةَ

“Dahulu aku menggembalakan kambing dengan upah beberapa qirath untuk penduduk Makkah.” (HR. Bukhari)

Allah pun menjaga beliau dari semua jenis permainan dan kesia-siaan yang dapat menyimpangkan anak-anak dan para pemuda. Rasuullah SAW pernah menuturkan:

مَا هَمَمْتُ بِقَبِيْحٍ مِمَّا كَانَ أَهْلُ الْجَاهِلِيَّةِ يَهُمُّونَ بِهِ إلَّا مَرَّتَيْنِ مِنَ الدَّهرِ، كِلْتَيْهِما يَعْصِمُنِي اللهُ تَعَالَى مِنْهُمَا، قُلْتُ ليلةً لِفَتًى كَانَ مَعِيْ مِنْ قُرَيْشٍ بأعلى مكَّةَ في أغنامٍ لأهلِهِ يَرْعاها: أَبصِرْ إلى غَنَمي حتَّى أَسْمُرَ هذهِ اللَّيلةَ بمكَّةَ كما يَسْمُرُ الفتيانُ، قال: نعم، فخرجْتُ، فجِئْتُ أَدْنى دارٍ مِن دورِ مكَّةَ، سمِعْتُ غِناءً وضَرْبَ دُفوفٍ ومَزاميرَ، فقلتُما هذا؟! قالوا: فلانٌ تزوَّجَ فُلانَة، لرَجُلٍ مِن قُرَيْشٍ تزوَّجَ امرأةً مِن قُرَيْشٍ، فلَهَوْتُ بذلكَ الغناءِ وبذلكَ الصَّوتِ حتَّى غَلَبَتْني عيْني، فما أيقَظَني إلَّا مَسُّ الشَّمسِ، فرجَعْتُ إلى صاحبي، قالما فعلْتَ؟ فأخبَرْتُهُ، ثمَّ قلتُ له ليلةً أخرى مِثْلَ ذلكَ، ففعَلَ، فخرجْتُ فسمِعْتُ مِثْلَ ذلكَ، فقيل لي مِثْلَ ما قيل لي، فلَهَوْتُ بما سمِعْتُ حتَّى غَلَبَتْني عيْني، فما أيقَظَني إلَّا مَسُّ الشَّمسِ، ثمَّ رجَعْتُ إلى صاحبي، فقالما فعلْتَ؟ قلتُما فعلْتُ شيئًا، قال رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: فواللهِ ما هَمَمْتُ بَعدَها بسُوءٍ ممَّا يعمَلُ أهلُ الجاهليَّةِ حتَّى أكرَمَني اللهُ عزَّ وجلَّ بنُبُوَّتِهِ ما هَمَمْتُ بقبيحٍ ممَّا كان أهلُ الجاهليَّةِ يَهُمُّونَ به إلَّا مرَّتَيْنِ مِنَ الدَّهرِ، كِلْتَيْهِما يَعصِمُني اللهُ تعالى منهما، قلتُ ليلةً لِفَتًى كان معي مِن قُرَيْشٍ بأعلى مكَّةَ في أغنامٍ لأهلِهِ يَرْعاها: أَبصِرْ إلى غَنَمي حتَّى أَسْمُرَ هذهِ اللَّيلةَ بمكَّةَ كما يَسْمُرُ الفتيانُ، قال: نعم، فخرجْتُ، فَجِئْتُ أَدْنى دارٍ مِن دورِ مكَّةَ، سمِعْتُ غِناءً وضَرْبَ دُفوفٍ ومَزاميرَ، فقلتُما هذا؟! قالوا: فلانٌ تزوَّجَ فُلانَة، لرَجُلٍ مِن قُرَيْشٍ تزوَّجَ امرأةً مِن قُرَيْشٍ، فلَهَوْتُ بذلكَ الغناءِ وبذلكَ الصَّوتِ حتَّى غَلَبَتْني عيْني، فما أيقَظَني إلَّا مَسُّ الشَّمسِ، فرجَعْتُ إلى صاحبي، قالما فعلْتَ؟ فأخبَرْتُهُ، ثمَّ قلتُ له ليلةً أخرى مِثْلَ ذلكَ، ففعَلَ، فخرجْتُ فسمِعْتُ مِثْلَ ذلكَ، فقيل لي مِثْلَ ما قيل لي، فلَهَوْتُ بما سمِعْتُ حتَّى غَلَبَتْني عيْني، فما أيقَظَني إلَّا مَسُّ الشَّمسِ، ثمَّ رجَعْتُ إلى صاحبي، فقالما فعلْتَ؟ قلتُما فعلْتُ شيئًا، قال رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: فواللهِ ما هَمَمْتُ بَعدَها بسُوءٍ ممَّا يعمَلُ أهلُ الجاهليَّةِ حتَّى أكرَمَني اللهُ عزَّ وجلَّ بنُبُوَّتِهِ

"Aku tidak pernah tergoda melakukan apa yang dilakukan oleh orang-orang di Masa Jahiliyah, kecuali dua kali. Allah menjagaku dari semua perbuatan mereka. Pada suatu malam aku berkata kepada anak yang menggembala bersamaku di dataran tinggi Makkah, ‘Bersediakah engkau jika untuk malam ini kau mengawasi kambing-kambingku, sehingga aku bisa ke Makkah dan begadang seperti yang dilakukan para pemuda lain?’ Temannya itu menjawab, ‘Baiklah, aku akan melakukannya.’ Maka, aku pergi hingga ketika mencapai rumah pertama di Makkah, aku mendengar nyanyian. Aku bertanya, ‘Suara apa itu?’ Orang-orang menjawab, ‘Ada pengantin.’ Aku pun duduk untuk mendengar, lantas Allah menutup kedua telingaku sehingga aku tertidur lelap. Aku terbangun di pagi hari karena paparan sinar matahari. Aku pun bergegas ke padang penggembalaan menemui temanku. Dia menanyakan apa yang ku lakukan dan aku menjawabnya. Pada malam berikutnya aku mengatakan hal yang sama kepadanya dan kemudian pergi ke Makkah. Namun, aku kembali tertidur seperti di malam sebelumnya. Setelah itu, aku tidak pernah mendambakan suatu keburukan lagi seperti yang dilakukan oleh orang-orang Jahiliyah, hingga aku memuliakanku dengan kenabian.” (HR. Hakim)

Butiran Hikmah

Kisah pertemuan Rasulullah SAW dengan Buhaira, yang diriwayatkan oleh semua ulama ahli Sirah Nabi, juga oleh At-Tirmidzi dari Abu Musa Al-Asy’ari, menunjukkan bahwa Ahli Kitab, baik Yahudi maupun Kristen, memiliki pengetahuan tentang kenabian Muhammad SAW dan tanda-tandanya. Mereka mengetahui kenabiannya dan penjelasan tanda-tanda serta karakteristiknya melalui berita yang ada di dalam Taurat dan Injil.

Ada banyak dalil mengenai hal tersebut. Salah satunya adalah yang diriwayatkan oleh ulama ahli Sirah bahwa kaum Yahudi memohon dengan (perantara) Rasulullah SAW kemenangan atas Suku Al-Aus dan Al-Khazraj bahkan sebelum beliau diutus. Mereka berkata,"Seorang nabi akan diutus tidak lama lagi. Kami akan mengikutinya. Kami akan mengikutinya dan menumpas kalian seperti ditumpasnya kaum ‘Ad dan Iram." Tatkala kaum Yahudi melanggar janji mereka itu, Allah menurunkan firman-Nya:

وَلَمَّا جَاۤءَهُمْ كِتٰبٌ مِّنْ عِنْدِ اللّٰهِ مُصَدِّقٌ لِّمَا مَعَهُمْۙ وَكَانُوْا مِنْ قَبْلُ يَسْتَفْتِحُوْنَ عَلَى الَّذِيْنَ كَفَرُوْاۚ فَلَمَّا جَاۤءَهُمْ مَّا عَرَفُوْا كَفَرُوْا بِهٖ ۖ فَلَعْنَةُ اللّٰهِ عَلَى الْكٰفِرِيْنَ

“Dan setelah sampai kepada mereka Kitab (Al-Qur’an) dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, sedangkan sebelumnya mereka memohon kemenangan atas orang-orang kafir, ternyata setelah sampai kepada mereka apa yang telah mereka ketahui itu, mereka mengingkarinya. Maka, laknat Allahlah terhadap orang-orang yang ingkar.” (QS. Al-Baqarah: 89)

Al-Qurthubi dan yang para ahli tafsir lainnya meriwayatkan latar belakang turunya firman Allah SWT berikut ini:

اَلَّذِيْنَ اٰتَيْنٰهُمُ الْكِتٰبَ يَعْرِفُوْنَهٗ كَمَا يَعْرِفُوْنَ اَبْنَاۤءَهُمْ ۗ وَاِنَّ فَرِيْقًا مِّنْهُمْ لَيَكْتُمُوْنَ الْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُوْنَ

“Orang Yahudi dan Kristen yang telah Kami beri Al-Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan, sungguh sebagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui.” (QS Al-Baqarah [2]:146).

Ketika itu Umar bin Khattab bertanya kepada Abdullah bin Salam -seorang Yahudi yang kemudian masuk Islam-, “Apakah kau mengenal Muhammad SAW sebagaimana kau mengenal putramu sendiri?” Dia menjawab, “Ya. Bahkan lebih dari itu. Allah mengutus petugas-Nya di langit-Nya kepada petugas-Nya di bumi-Nya untuk menyampaikan sifatnya (Muhammad SAW) sehingga aku mengenalinya. Adapun putraku, aku tidak tahu apa yang telah terjadi pada ibunya.”

Selain itu, faktor yang menyebabkan Salman Al-Farisi masuk Islam adalah sambung-menyambungnya berita tentang Nabi SAW, berikut juga tentang sifat-sifatnya yang diuraikan di dalam Injil, keterangan para rahib, dan orang-orang yang memahami Al-Kitab.

Dengan demikian, tidak menafikan bahwa banyak Ahli Kitab yang mengingkari pengetahuan tersebut, dan bahwa Injil yang beredar sekarang tidak mengandung satu pun isyarat tentang kenabian Muhammad SAW. Mengenai hal ini, sebagaimana kita tahu, bahwa memang sudah banyak terjadi pemutarbalikan fakta terhadap kitab-kitab tersebut dengan penggantian, pengurangan, dan penambahan.

Maha Benar Allah yang berfirman dalam Kitab-Nya:

وَمِنْهُمْ اُمِّيُّوْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ الْكِتٰبَ اِلَّآ اَمَانِيَّ وَاِنْ هُمْ اِلَّا يَظُنُّوْنَ فَوَيْلٌ لِّلَّذِيْنَ يَكْتُبُوْنَ الْكِتٰبَ بِاَيْدِيْهِمْ ثُمَّ يَقُوْلُوْنَ هٰذَا مِنْ عِنْدِ اللّٰهِ لِيَشْتَرُوْا بِهٖ ثَمَنًا قَلِيْلًا ۗفَوَيْلٌ لَّهُمْ مِّمَّا كَتَبَتْ اَيْدِيْهِمْ وَوَيْلٌ لَّهُمْ مِّمَّا يَكْسِبُوْنَ

“Di antara mereka ada yang umi (buta huruf), tidak memahami Kitab (Taurat), kecuali hanya berangan-angan dan mereka hanya menduga-duga. Celakalah orang-orang yang menulis kitab dengan tangan mereka (sendiri), kemudian berkata, “Ini dari Allah,” (dengan maksud) untuk menjualnya dengan harga murah. Maka, celakalah mereka karena tulisan tangan mereka dan celakalah mereka karena apa yang mereka perbuat.” (QS. Al-Baqarah: 78-79)

Ada tiga bukti penting terkait dengan aktivitas Nabi Muhammad Saw.menggembala kambing dan mencari rezeki.

Pertama, melalui aktivitas itu Nabi Muhammad SAW memiliki kepekaan dan kepedulian sosial yang tinggi. Meskipun pamannya sangat mencintai beliau dan menjaganya sepenuh hati layaknya anak sendiri, Rasulullah SAW tidak mau berpangku tangan dan berdiam diri. Beliau sejak kecil telah belajar mencari nafkah dan bekerja keras guna meringankan beban pamannya. Mungkin saja manfaat atau hasil dari pekerjaan yang dipilihkan Allah SWT bagi beliau ini hanya sedikit dan tidak berarti bagi Abu Thalib. Namun, itu mencerminkan akhlak luhur yang merupakan wujud ungkapan terima kasih sekaligus mencerminkan watak seorang pemuda yang rajin, gigih, cerdas, dan berbakti.

Kedua, aktivitas itu mengandung rambu-rambu mengenai model kehidupan yang diridhoi Allah SWT bagi hamba-Nya yang sholeh di dunia. Tentu sangat mudah bagi Allah Yang Maha Kuasa untuk menyediakan berbagai sarana hidup dan kenyamanan bagi Muhammad sejak masih kecil, sehingga beliau tidak perlu bekerja keras atau menggembalakan kambing untuk memenuhi nafkah hidup dan keluarganya. Namun, dengan kebijaksanaan dari Allah SWT itu, kita mengetahui bahwa harta benda terbaik yang dimiliki seseorang adalah yang dia upayakan dengan kerja keras tangannya sendiri, dan dengan melayani masyarakat serta kaumnya sendiri. Sementara harta benda yang terburuk adalah yang didapatkan dari hasil keringat orang lain, diperoleh dengan berleha-leha, tanpa berusah-payah sedikit pun dan tidak memberi manfaat bagi masyarakat.

Ketiga, juru dakwah siapa pun tidak akan bisa mengembangkan dakwahnya di tengah manusia jika nafkahnya diperoleh dari dakwahnya itu, atau hany mengandalkan pemberian dan sedekah orang lain. Maka, para juru dakwah Islam sudah semestinya bekerja keras mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarganya, tidak meminta-minta dan mengandalkan pemberian orang lain. Dengan begitu, dia tidak berutang budi kepada siapa pun dalam urusan dunianya. Jika dia bersandar pada orang lain, dia tidak akan bisa menyampaikan dakwah dan nasihatnya secara independen dan secara terus terang kepada mereka tanpa memedulikan apa pun reaksi mereka.

Oleh karena itu, Rasulullah SAW telah dididik sejak kecil untuk mencari nafkah, bekerja, membantu pamannya memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarga. Beliau melakukan semua itu tanpa mengetahui atau menduga bahwa kelak akan mengemban tugas yang sangat berat dan agung, menyampaikan risalah llahi kepada seluruh umat manusia.

Demikianlah pendidikan yang disiapkan Allah SWT bagi Nabi Muhammad SAW. Semua ini menjelaskan betapa Allah SWT menghendaki agar kehidupan Muhammad SAW sebelum diutus sebagai Nabi tidak mengandung sedikit pun hal yang bisa merintangi jalan dakwahnya atau berdampak negatif terhadap keberlangsungan dakwahnya.

Kisah yang diceritakan Nabi SAW tentang dirinya sendiri, bahwa beliau dipelihara Allah dari segala keburukan sejak kanak-kanak dan di awal masa remajanya mengandung penjelasan bagi kita tentang dua hikmah yang sangat penting, yaitu:

Pertama, bahwa Nabi SAW memiliki karakteristik sebagai manusia seperti manusia lainnya. Beliau memiliki kecenderungan fitrah yang juga ditemukan dalam jiwa setiap pemuda. Semua orang memiliki kecenderungan itu sebagai bagian dari kebijaksanaan Allah SWT.

Tentu saja sebagai remaja, beliau ingin sekali-kali merasakan nikmatnya permainan dan begadang bersama para remaja lain. Namun, Allah menjaganya dari semua itu demi keberhasilan dan kelangsungan dakwah Islam di masa depan.

Kedua, Allah SWT senantiasa menjaga dan melindunginya dari semua fenomena penyimpangan dan segala hal yang tidak sesuai dengan tuntutan dakwah yang dipersiapkan Allah SWT. Bahkan, ketika beliau tidak diberi wahyu atau syariat yang menjaganya dari banyak godaan nafsu, tetap ada hal lain yang diam-diam menjaga dan menghalangi beliau dari apa pun yang mungkin dikehendaki nafsunya, yang tidak sesuai dengan sosok orang yang ditakdirkan untuk memiliki akhlak mulia dan menegakkan syariat Islam.

Berpadunya dua fakta ini dalam diri Nabi Muhammad SAW mengandung dalil yang jelas bahwa penjagaan Allah SWT secara khusus mengarahkan dan menuntun beliau tanpa perantaraan sebab-sebab yang diketahui, semisal pendidikan atau pengarahan.

Nah, siapakah kiranya yang mengarahkan beliau di jalan penjagaan (ma’shum) ini, sementara semua keluarga, kaum, dan tetangganya terasing dari jalan ini, dan tersesat dari arah ini?

Jika demikian, pastilah semua itu adalah penjagaan dari Allah yang sangat istimewa, yang mengarahkan jalan bagi Muhammad untuk menembus kegelapan Jahiliyah. Ini menjadi salah satu tanda paling agung ihwal kenabian yang dipersiapkan Allah untuk beliau. Dengan jalan itu, beliau sanggup mengemban beban risalah dan kenabian yang sangat berat dan agung. Ini juga menjadi tanda paling agung bahwa kenabian merupakan dasar yang membentuk kepribadiannya, orientasi jiwanya, pemikirannya, dan perangainya dalam menjalani kehidupan.

Tentu saja mudah bagi Allah untuk menciptakan dan menakdirkan Muhammad SAW sebagai manusia yang bersih dari segala dorongan nafsu dan naluri, sehingga, misalnya, dia tidak tertarik sedikit pun untuk ikut bermain bersama kawan-kawan remajanya menikmati malam dengan segala kesenangannya.

Tentu saja mudah bagi Allah untuk menyucikannya dari semua kecenderungan naluri seperti itu, sehingga, misalnya, tak terlintas sedikit pun keinginan untuk meninggalkan kambing-kambingnya dan menitipkannya kepada temannya agar bisa ikut bermain dengan para pemuda lain yang sedang menikmati malam dan berhura-hura.

Jika demikian, tidak ada yang patut dijadikan teladan pada diri Rasulullah SAW bagi seluruh manusia, karena sejak awal, sejak dilahirkan, beliau telah suci dari segala kecenderungan naluri dan hasrat nafsu. Sementara, Muhammad SAW diutus sebagai nabi dan rasul agar seluruh manusia bisa meneladani, karena sesungguhnya beliau adalah manusia biasa yang memiliki segala karakteristik manusia pada umumnya.

Dengan begitu, manusia bisa mencontoh seluruh aspek kehidupan beliau, baik aktivitas lahiriahnya maupun pengembangan dan pendisiplinan yang beliau lakukan terhadap jiwanya. Meski, tentu hakikatnya Rasulullah SAW bukan seperti manusia biasa. Beliau diibaratkan permata di antara bebatuan, sebagaimana beliau di antara manusia lainnya.

Tetapi yang jelas, bahwa kebijaksanaan Allah SWT tersebut menjelaskan kepada manusia tentang pemeliharaan-Nya bagi Rasulullah SAW yang mulia, sehingga umat manusia dapat mengimani risalahnya serta menjauhkan pikiran mereka dari segala sesuatu yang meragukan kebenaran ucapannya. []


Catatan: Tulisan ini diolah dan dikembangkan dari berbagai sumber otoritatif, khususnya dari Kitab Fiqhus Sirah An-Nabawiyah karya Dr. Ramadhan Al-Buthi dan Buku Membaca Sirah Nabi Muhammad (Dalam Sorotan Al-Qur’an dan Hadis-Hadis Shahih) karya Prof. Quraish Shihab.

___________

Editor: Hakim