Tahun 644 M: Musyawarah Besar Pemilihan Khalifah Baru

 
Tahun 644 M: Musyawarah Besar Pemilihan Khalifah Baru
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Dalam menjelajahi lorong-lorong bersejarah Islam, tahun 644 M memunculkan cahaya sorotan pada sebuah momen krusial yang mengubah peraih takdir umat Muslim. Wafatnya Khalifah Umar bin Al-Khattab meninggalkan kekosongan kepemimpinan yang memicu beragam spekulasi dan kekhawatiran.

Tahun tersebut menjadi saksi perjalanan panjang komunitas Islam, dan di tengah ketidakpastian, muncullah sebuah panggilan penting untuk menentukan siapa yang akan menjadi pewaris tongkat estafet kepemimpinan. Inilah awal kisah Musyawarah Besar Pemilihan Khalifah, sebuah proses yang tidak hanya menentukan pemimpin, tetapi juga mengukir jejak kepemimpinan yang mendalam.

Sebelum kita merambah lebih jauh, patut dipahami bahwa era sebelumnya, yang diperintah oleh dua khalifah sebelumnya, yakni Abu Bakar Al-Siddiq dan Umar bin Al-Khattab, memberikan fondasi kokoh bagi kemajuan dan stabilitas umat Islam. Mereka membuktikan diri sebagai pemimpin yang mengerti kebutuhan umat dan mampu membangun fondasi keimanan yang kuat.

Namun, dengan kepergian Umar, terbentang tantangan baru yang memaksa masyarakat untuk berpikir keras mengenai arah ke depan. Kehilangan seorang pemimpin karismatik seperti Umar membuka pintu bagi kekhawatiran akan kemungkinan terjadinya kekacauan dan perpecahan. Masyarakat yang tengah meratapi kehilangan ini menemukan panggilan untuk bersatu dalam sebuah proses yang penuh pertimbangan.

Inilah titik awal dimana Shura Committee, sebuah komite khusus yang bertugas mengoordinasikan dan merancang jalannya musyawarah, tampil ke depan sebagai garda terdepan kebijakan inklusif dan partisipatif.

Dengan merenung pada periode penting ini, kita dapat menyaksikan proses pemilihan yang tidak hanya melibatkan pertimbangan politik dan strategi, tetapi juga menyentuh nilai-nilai keadilan dan kesatuan. Salah satu tokoh sentral dalam peristiwa ini adalah Utsman bin Affan, seorang figur yang akan memainkan peran kunci dalam membimbing umat Islam melalui masa depan yang tidak pasti.

Di sisa-sisa kekuatan hidup Khalifah Umar, beliau membuat sebuah Majelis Syura dengan mencalonkan 6 orang sebagai khalifah selanjutnya. 6 orang tersebut yaitu: Zubair bin Awwam, Saad bin Abi Waqas, Abdurrahman bin Auf, Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, dan Thalhah bin Ubaidillah.

Mereka merupakan calon-calon terbaik yang dipilih Khalifah Umar pada masa itu. Zubair, Thalhah, dan Sa’ad merupakan para Panglima Islam yang sangat berkontribusi dalam ekspansi Islam ke tanah Persia dan Romawi. Ali, Ustman, dan Abdurrahman sahabat-sahabat yang sangat dekat dengan Rasulullah SAW, apalagi terdapat gelar orang-orang yang pertama masuk Islam disisi beliau semua.

Walaupun sudah terdapat 6 calon tersebut, khalifah umar masih mempunyai banyak keraguan dengan perselisihan yang terjadi. Sebenarnya, andai kata Abu Ubaidah masih hidup, Khalifah Umar lebih memilihnya langsung.

Ada beberapa sahabat yang mencoba membujuk khalifah untuk mencalonkan anaknya, yaitu Abdullah bin Umar, namun khalifah sangat marah mendengar hal itu karena ia tidak mau kekuasaan terus dipegang oleh keluarganya sendiri. Abdullah bin Umar kemudian diangkat menjadi penengah untuk Majelis Syura tersebut.

6 orang itu di tempatkan di satu tempat, beberapa pendapat menyatakan bahwa pertemuan berlangsung di rumah Miswar bin Makhramah, sementara yang lain mengklaim bahwa tempat pertemuan ada di Baitulmal. Selain itu, ada juga yang menyebutkan bahwa sidang diadakan di dalam bilik Aisyah. Tempat berlangsungnya Majelis Syura itu dijaga oleh Thalhah Al-Anshari.

Ketika Musyawarah itu dimulai, terdapat suara perdebatan yang sangat keras hingga terdengar keluar, membuat Thalhah Al-Anshari berfikir untuk menengahi perselisihan mereka. Thalhah berkata

“Saya lebih takut melihat kalian saling menyerang dibanding kalian saling bersaing”

Beberapa versi menyebutkan bahwa perdebatan berlangsung selama dua hari, sementara yang lain menyatakan hanya sehari. Dalam kisaran musyawarah tersebut, Abdurrahman bin Auf berhasil menemukan solusi. Meskipun di tengah musyawarah tersebut Abdurrahman bin Auf mengundurkan diri, kehadirannya tetap memberikan pengaruh signifikan sebagai penengah dalam perundingan tersebut.

Abdurrahman bin Auf menawarkan solusi dengan mengurangi jumlah calon khalifah, dan itulah alasan beliau memutuskan untuk mengundurkan diri dari musyawarah. Proses perundingan dilanjutkan, dan seiring berjalannya waktu, daftar calon semakin mengerucut. Akhirnya, tersisa dua kandidat utama, yaitu Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.

Abdurrahman meminta pandangan dari tiga tokoh yang pada saat itu telah menunjukkan bahwa mereka tidak lagi memiliki kekuatan untuk memimpin umat Islam. Dalam dialog tersebut, Abdurrahman menanyakan siapa di antara mereka yang dianggap lebih pantas menjadi khalifah selanjutnya. Zubair dengan yakin memilih Ali, Sa’ad menyuarakan dukungannya untuk Abdurrahman, sementara Thalhah memberikan pilihannya kepada Utsman.

Namun, setelah Abdurrahman mengumumkan pengunduran dirinya dan membatasi pencalonan hanya pada Ali dan Utsman, tanggung jawab memilih di antara keduanya kini sepenuhnya bergantung pada keputusannya. Dengan demikian, peran signifikan beliau sebagai penengah semakin terasa, menjadi penentu arah masa depan kepemimpinan yang akan diambil oleh umat.

Malam terakhir sesuai batas waktu 3 hari yang diberikan Khalifah Umar untuk menentukan khalifah selanjutnya, Abdurrahman memanggil kedua kandidat tersebut, berkatalah ia

“Bersumpahlah!!! Barang siapa diantara salah satu dari kalian menjadi khalifah maka berlaku adil, dan yang tidak terpilih harus taat dan patuh” Ustman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib kemudian bersumpah.

Ketika menjelang shalat Subuh, masjid sudah dipenuhi penduduk Madinah yang tidak sabar untuk mengetahui siapa khalifah baru mereka. Abdurrahman bin Auf naik ke mimbar untuk mengumumkannya,

“Kami menilai engkau lah yang pantas memimpin kami” kata Said bin Zaid kepada Abdurrahman. Tetapi Abdurrahman berkata bukan dia, dan menyuruh umat muslim menebak.

Miqdad bin Amr meneriaki nama Ali, sementara Abdullah bin Abu Rabi’ah meneriaki nama Utsman. Hal ini lama kelamaan menimbulkan beberapa keributan saling mencemooh antara kedua golongan. Abdurrahman menengahi mereka semua agar tidak terjerumus dalam keributan yang berkepanjangan.

Abdurahman bin Auf kemudian memanggil kedua orang calon khalifah, yakni Ali bin Abi Thalib dan Utsman bin Affan. Abdurrahman mengangkat pandangannya ke langit-langit Masjid, sambil dengan penuh tegas memegang tangan Utsman.

Dalam momen yang penuh keheningan dan kekhusukan, Abdurrahman dengan tekad menyatakan tiga kali,

"Dengarkanlah dan saksikanlah!"

Dia melanjutkan dengan penuh keyakinan,

"Saya sudah melepaskan apa yang dipikulkan di atas bahu saya dan saya letakkan di bahu Utsman!"

Dengan langkah mantap, Abdurrahman kemudian melakukan prosesi bai'at kepada Utsman, dan suasana di dalam Masjid pun bergolak dengan antusiasme, di mana orang-orang beramai-ramai ikut membai'atnya sebagai khalifah yang baru. []


Catatan: Tulisan ini diolah dan dikembangkan dari berbagai sumber otoritatif, khususnya dari Buku Umar bin Khattab: Sebuah Telaah Mendalam tentang Pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya Masa Itu karya Muhammad Husain Haekal (Terjemah oleh Ali Audah).

___________

Penulis: Muhammad Iqbal Rabbani

Editor: Kholaf Al Muntadar