‘Uzlah Nabi Muhammad SAW di Gua Hira

 
‘Uzlah Nabi Muhammad SAW di Gua Hira
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Menjelang usia 40 tahun, Muhammad SAW kerap melakukan ‘uzlah (menyendiri). Allah SWT membuatnya suka menyendiri di Gua Hira, yakni sebuah gua yang berada di sebuah bukit yang terletak di arah barat daya Makkah.

Nabi Muhammad SAW menyendiri dan beribadah di Gua Hira selama beberapa malam. Kadang-kadang beliau menyepi di sana selama sepuluh malam, terkadang lebih lama lagi, bahkan pernah hingga sebulan penuh.

Di sela-sela itu, Nabi Muhammad SAW pulang ke rumahnya sebentar saja, sekedar mempersiapkan bekal untuk menyepi kembali di Gua Hira. Demikianlah beberapa kali beliau pergi dan pulang ke Gua Hira hingga akhirnya beliau menerima wahyu dengan gemetar, yang kemudian ketika kembali ke rumah beliau ditenangkan oleh istrinya tercinta, Sayyidah Khadijah r.ha.

Butiran Hikmah

Kegiatan menyendiri yang kerap dilakukan oleh Rasulullah SAW tersebut terjadi menjelang ditetapkannya status kenabian beliau. Ini merupakan pertanda yang sangat agung dan memiliki nilai penting bagi kehidupan kaum Muslim secara umum dan bagi para pendakwah secara khusus.

Aktivitas Nabi Muhammad SAW ini menjelaskan bahwa seorang Muslim itu bisa dikatakan tidak sempurna keislamannya, meskipun dia telah menghiasi diri dengan berbagai ibadah, sebelum melakukan kegiatan menyendiri selama beberapa lama untuk introspeksi diri dan merasakan pengawasan Allah SWT serta mentadabburi fenomena alam berikut bukti-bukti keagungan Allah.

Hal tersebut penting untuk dilakukan oleh setiap Muslim yang menghendaki keislaman yang benar, terlebih lagi Muslim yang ingin menjadi juru dakwah dan menyeru orang lain untuk mengikuti jalan yang benar. Artinya dengan terus belajar dengan diiringi kesadaran penuh tentang arti kehidupan ini.

Di antara hikmah menyendiri adalah, bahwa sesungguhnya dalam jiwa kita ada kerusakan yang hanya dapat diobati dengan cara menyendiri dari keramaian, lalu mengevaluasi diri dalam suasana yang hening dari hiruk-pikuk dunia. Dengan cara itu, seseorang bisa mengurangi, bahkan menghilangkan sikap sombong, ‘ujub (mengagumi diri sendiri), dengki, riya, cinta dunia, dan hal-hal buruk lain dirinya. Sifat-sifat itu semua merupakan penyakit yang dapat merusak jiwa dan menodai kesucian hati, bahkan dapat menghancurkan batinnya meskipun dia banyak melakukan amal sholeh dan rajin beribadah. Semua itu juga tetap akan merusak, meskipun seseorang sibuk berdakwah, menasihati, mengarahkan, dan membimbing banyak orang.

Berbagai kerusakan itu tidak dapat diobati, kecuali jika si penderita pergi menyendiri untuk mengevaluasi dan merenungi hakikat dirinya, Penciptanya, serta sejauh mana kebutuhannya pada pemeliharaan dan pertolongan dari Allah SWT.

Menyendiri juga dilakukan untuk merenungkan tentang hakikat manusia dan ketidakberdayaannya di hadapan Sang Pencipta. Jadi, tidak ada gunanya menyanjung atau mencela mereka.

Kesendirian juga diperlukan untuk memikirkan fenomena keagungan Allah, Hari Akhir, Hisab (Hari Penghitungan), dengan segala fenomena yang mengiringinya; merenungkan betapa besar kasih sayang Allah dan betapa berat hukuman-Nya.

Setelah proses berpikiryang lama dan berkesinambungan mengenai segala hal itu, maka dengan hal itu terkikislah penyakit dan kerusakan jiwa. Hiduplah hati dengan cahaya makrifat dan bersih dari segala keburukan dunia.

Hal lain yang juga sangat penting dalam kehidupan kaum Muslim secara umum dan para pendakwah secara khusus, adalah pendidikan hati untuk mencintai Allah SWT semata. Sebab, ini merupakan sumber pengorbanan dan jihad serta landasan dakwah yang benar. Lagi pula, cinta kepada Allah SWT tidak muncul dari dasar keimanan yang hanya bersifat rasional saja. Sebab, berbagai persoalan rasio semata tidak pernah mempengaruhi hati dan perasaan. Andai saja berpengaruh, tentu para orientalis yang picik itu berada di barisan terdepan orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan pastilah hati mereka dipenuhi cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.

Adakah kita pernah mendengar seorang ulama yang rela mengorbankan nyawanya demi keimanannya pada rumus-rumus ilmu pasti dan lainnya?

Jadi, jalan untuk mencintai Allah SWT setelah beriman kepada-Nya adalah dengan selalu merenungkan limpahan nikmat-Nya dan memikirkan betapa besar keagungan-Nya. Kemudian diiringi dengan memperbanyak dzikir kepada-Nya dalam hati dan dengan lisan. Dan semua ini tentu hanya dapat terwujud dengan sempurna melalui kegiatan menyendiri dan menjauhi segala kesibukan dan hiruk-pikuk dunia selama waktu tertentu yang sengaja disisihkan secara berkesinambungan.

Apabila seorang Muslim mengikuti langkah-langkah ini, niscaya akan tumbuh dalam hatinya kecintaan yang besar kepada Allah, memandang kecil segala perkara keduniawiaan, mengabaikan segala godaan, serta menganggap enteng segala penindasan dan siksaan di dunia.

Selain itu seorang Muslim yang demikian, tentu dapat mengatasi berbagai tindakan orang yang memusuhi, menghina, dan mencelanya. Dan inilah pembekalan penting yang harus dilakukan oleh setiap pendakwah, sehingga memiliki komitmen yang tinggi dan konsisten dalam menyeru umat manusia kepada Allah. Hal ini pula yang menjadi bekal yang dipersiapkan Allah SWT bagi kekasih-Nya, Muhammad SAW, sehingga beliau siap memikul beban risalah Islam yang sangat berat.

Mengapa demikian? Pasalnya, motif-motif perasaan, seperti kecemasan, cinta, dan harapan dapat melakukan pelbagai hal yang tidak bisa dilakukan akal.

Imam As-Syathibi r.a. ketika membedakan motif-motif tersebut di antara kaum Muslim yang memikul beban taklif (kewajiban syariat) dengan motif keislaman mereka secara umum dan kaum Muslimin khusus yang memikul beban taklif dengan motif yang lebih dari sekadar rasio dan pemahaman, menuturkan berikut ini:

"Keadaan golongan pertama seperti orang yang beramal karena ikatan keislaman dan keimanan tanpa tambahan apa pun. Sementara keadaan golongan kedua seperti orang yang beramal karena didominasi rasa cemas dan harap atau cinta. Rasa cemas tak ubahnya cambuk, rasa harap tak ubahnya kusir yang mengendali, sedangkan cinta tak ubahnya kereta yang mengangkut. Orang yang cemas pasti beramal meskipun ada kesulitan. Karena, rasa cemas atas hal yang jauh lebih sulit akan membuatnya bersabar melakukan hal-hal yang lebih ringan meskipun itu sulit baginya. Begitu juga, orang yang memiliki rasa harap pasti akan beramal meskipun dihadang kesulitan. Karena, rasa harap membuatnya merasa nyaman, sehingga dia dapat bersabar menghadapi kesulitan. Dan, orang yang merasa cinta pasti beramal sungguh-sungguh, karena dia merindukan kekasihnya. Dengan cinta, pekerjaan yang sulit menjadi mudah, dan jarak yang jauh menjadi dekat. Segala kekuatan lenyap apabila dia tidak menepati janjinya dengan sang kekasih dan tidak bersyukur atas nikmat." (Imam As-Syathibi, Al-Muwafaqat, hlm. 111-112).

Lalu berbagai sarana pun digunakan untuk mewujudkan motif-motif perasaan dalam hati ini, yang arti pentingnya telah disepakati para ulama. Bahwa mayoritas ulama menyebutnya sebagai tasawuf. Tapi ada sebagian ulama yang menyebutnya sebagai ihsan, atau ada juga yang menyebutnya suluk, seperti halnya pernah dijelaskan oleh Imam Ibnu Taimiyah r.a. (Syaikh Ibnu Taimiyah, Fatawa As-Syaikh Ibnu Taimiyah, juz 10. Di dalam kitab ini kita bisa menemukan nilai ajaran tasawuf hakiki yang ada dalam diri Syaikh Ibnu Taimiyah, dan dari sini kita tahu betapa jauhnya kebohongan yang dibuat-buat mengenai dirinya oleh orang-orang yang berupaya melakukan propaganda kebatilan dengan cara mendompleng namanya)

Kegiatan menyendiri yang dipraktikkan oleh Nabi Muhammad SAW menjelang kenabiannya merupakan salah satu sarana untuk mewujudkan motif-motif kebaikan di dalam jiwanya. Karenanya tidak bisa hanya memahami aktivitas Nabi SAW tersebut dalam pengertian khalwat, yakni sepenuhnya berpaling dari manusia lalu menjadikan gua-gua dan gunung-gunung sebagai tempat tinggal seraya menganggapnya sebagai keutamaan pribadi. Tentu yang demikian ini jauh dari pengertian yang hendak dicapai dari pengertian ‘uzlah atau menyendiri sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW.

Sekali lagi, bahwa pemahaman yang demikian itu bertentangan dengan petunjuk Nabi Muhammad SAW dan contoh yang dilakukan oleh para sahabatnya.

Khalwat yang dianjurkan adalah yang bertujuan untuk memperbaiki diri seperti yang telah diuraikan di atas. Karena kedudukannya sebagai obat, khalwat mestilah sesuai dengan ukuran dan waktu mengonsumsinya. Jika berlebihan, obat justru akan berubah menjadi penyakit yang patut dihindari. Lagi pula, apabila kita mencermati riwayat hidup orang-orang sholeh yang terus melakukan khalwat dan menjauhi masyarakat, itu merupakan kondisi khusus sesuai dengan kebutuhan pribadinya dan perlu dipahami  bahwa hal itu tidak bisa dijadikan hujah atau argumentasi bagi orang kebanyakan. []


Catatan: Tulisan ini diolah dan dikembangkan dari berbagai sumber otoritatif, khususnya dari Kitab Fiqhus Sirah An-Nabawiyah karya Dr. Ramadhan Al-Buthi dan Buku Membaca Sirah Nabi Muhammad (Dalam Sorotan Al-Qur’an dan Hadis-Hadis Shahih) karya Prof. Quraish Shihab.

___________

Editor: Hakim