Biografi KH. Abi Sudjak, Pendiri NU di Sumenep

 
Biografi KH. Abi Sudjak, Pendiri NU di Sumenep

Daftar Isi

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1  Lahir
1.2 Wafat
1.3 Riwayat Keluarga

2.    Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1  Mengembara Menuntut Ilmu
2.2  Guru-Guru

3.    Penerus
3.1  Anak-anak
3.2  Murid-murid

4.    Perjalanan Hidup dan Dakwah
4.1  Mengasuh Pesantren
4.2  Karier Beliau
4.3  Karya Beliau

5.    Mendirikan NU di Sumenep
6.   
Referensi

 

1.  Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1 Lahir
Syekh al-'Alawiyah KH. Abi Sudjak lahir pada tahun 1885. Beliau putra dari pasangan KH. Djamaluddin dan Nyai Hj Siti Shalehah. Ayahnya putra dari KH. Moh Maghfur bin KH Muhammad Aqib (Kyai Anjuk) bin Syekh Abd Manan (Bhuju' Kosambi). Secara nasab, Kyai Anjuk merupakan keturunan kelima dari Kiai Abdul Allam, Prajjan, Camplong, Sampang yang garis silsilahnya sampai ke Sunan Giri (Generasi ke-4).

Ibu Kyai Abi Sudjak putri dari KH. Thalabuddin atau kakak kandung dari KH. Zainal Arifin Tarate Sumenep yang silsilahnya bersambung dengan Sayyid Abdul Karim (Bhuju' Bhalang) bin Syits bin Abdul Alim bin Kunita bin Zainal Abidin (Sunan Cendana Kwanyar, Bangkalan).

1.2 Wafat
Pada tahun 1948, KH. Abi Sudjak berpulang ke Rahmatullahi pada usia 63 tahun. Jenazah almarhum dikebumikan di kompleks pemakaman Asta Tinggi, tepatnya di Pesantren Asta Tinggi Kebonagung, Sumenep, Madura.

1.3 Riwayat Keluarga
KH. Abi Sudjak menikah dengan Nyai Hj. Siti Fatimah binti Kyai Zainal Arifin. Dari pernikahan ini dikaruniai putra-putri, yaitu KH. Moh Munir, Nyai Hj. Makki (istri mendiang KH Usymuni bin Kiai Zainal Arifin bin Kiai Thalabuddin), Nyai Hj. Mas'udah, Nyai Hj. Rukhaniyah, Nyai Hj. Tal'atit Badriyah, Nyai Hj. Muti'atur Rahbiniyah, Nyai Halisyah (Ny Enca).

Setelah Nyai Fatimah wafat (istri pertama), KH. Abi Sudjak menikah kembali dengan santrinya asal Pandian yang bernama Nyai Hj. Zainah, putri dari Nyai Syarifah binti Kiai Mansyur bin Kiai Laisudin (Laok Sok-sok Kebonagung). Dari perkawinannya dikaruniai keturunan, Ny Hj. Mashudatun, KH. Baqir, KH. Ziddiq.

2. Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1 Mengembara Menuntut Ilmu

KH. Abi Sudjak sejak kecil dihabiskan mengenyam ilmu agama pada ayah beliau di pesantren Asta Tinggi. Sejak kecil gemar mengikuti pengajian ke berbagai tempat, salah satunya di pesantren Loteng Kota, Sumenep yang kala itu diampu oleh raja.

Kemudian, beliau melanjutkan ke Pesantren Karay Ganding, Sumenep, yang saat itu diasuh oleh Kyai Imam. Diketahui, kecerdasan KH. Abi Sudjakmengalahkan santri lainnya. Hingga pada akhirnya sang guru menulis nama KH. Abi Sudjak di dinding pesantren menggunakan bekas singkong bakar yang hangus terbakar. Tulisannya adalah ‘Abi Sudjak Wali.’

Tanda-tanda kewalian KH. Abi Sudjak yang tampak di pesantren itu membuat sang guru memondokkan ke Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan. Saking tawadhu dan takzimnya pada guru, KH. Abi Sudjak rela menemani Syaikhona Kholil ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji tanpa bekal apa pun. Di sanalah beliau menyiapkan segala kebutuhan guru sambil menuntut ilmu pada ulama ternama.

Gelar "Syekh" yang tertera di maqbarah-nya, pemberian dari Syekh Malik yang sudah lama menetap di Makkah dan getol mentransfer keilmuan pada ulama-ulama Nusantara. Berikut pernyataan Syekh Malik yang diceritakan KH. R Suharto Winata. "Wahai Kiai Kholil, khadim kamu (Kiai Abi Sudjak) adalah Syekh."

2.2 Guru-Guru:

  1. KH. Djamaluddin
  2.  Kyai Imam
  3. Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan
  4. Syekh Malik

3. Penerus Perjuangan

3.1  Anak-anak

  1. KH. Moh Munir
  2. Nyai Hj. Makki
  3. Nyai Hj. Mas'udah
  4. Nyai Hj. Rukhaniyah
  5. Nyai Hj. Tal'atit Badriyah
  6. Nyai Hj. Muti'atur Rahbiniyah
  7. Nyai Halisyah (Ny Enca)
  8. Ny Hj. Mashudatun
  9. KH. Baqir
  10. KH. Ziddiq
     

3.2 Murid-murid

  1. Kyai Abd Aziz
  2. Kyai Mursaha
  3. Kyai Abd Rahman
  4. Kyai Abdullah (muassis Pesantren Mathaliul Anwar Pangarangan Sumenep)

4. Perjalanan Hidup dan Dakwah

4.1 Mengasuh Pesantren
Setelah dinyatakan tamat oleh Syaikhona Kholil, beliau melanjutkan perjuangan ayahnya di Pesantren Asta Tinggi. Dari sinilah beliau mensyiarkan Islam Ahlussunnah wal Jama'ah An-Nahdliyah atas instruksi Syaikhona Kholil pada seluruh santri dan masyarakat.

Pesantrennya yang berada di perbukitan, tidak hanya menjadi candradimuka-nya ilmu keagamaan, tetapi dijadikan markas pejuang kemerdekaan. Banyak kalangan pengurus NU, santri, dan laskar dibekali ilmu bela diri, kekebalan, latihan menggunakan senjata. Bahkan, Abuya terlibat dalam mengijazahi seorang laskar agar kebal dari senapan dan senjata tajam.

4.2 Karier

  1. Pengasuh pesantren AstaTinggi
  2. Ketua Tanfizdiyah NU Sumenep

4.3 Karya-karya

KH. Abi Sudjak menulis kitab Sirajul Bayan li Nawaziliz Zaman. Kitab ini menjelaskan tentang akidah, syariat dan muamalah yang seharusnya diamalkan oleh masyarakat yang notabenenya bermazhab Syafi'i. Penulisannya berbentuk dialog. Ada pertanyaan dan jawaban yang berdasarkan dalil naqli dan aqli.

Diketahui, buku ini ditulis untuk menjawab problem masyarakat yang tak bisa dipecahkan.
Pada Bab I, membahas tentang hukum maulid nabi yang dihelat setiap bulan Rabiul Awal.
Bab II membahas fungsinya doa, padahal sudah ada qadha dan qadar.
Bab III membahas hukum bertawasul dan memohon syafaat.
Bab IV membahas hukum ziarah kubur, membaca Al-Qur'an di kuburan dan mengucapkan salam pada ahli kubur.
Bab V membahas hukum tabarruk atau ngalap barakah pada para ulama.
Bab VI membahas hukum ruqyah dan azimat.
Bab VII membahas tentang bersedekah atau menghadiahkan makanan pada jamaah. Juga menghadiahkan tahlil dan doa pada ahli kubur.

Kitab Sirajul Bayan li Nawazili Zaman itu sudah lama ditulis oleh Kiai Abi Sudjak. Tampak jelas dalam sampul buku bahwa buku itu dicetak oleh NU di Surabaya 1187 H.

5. Mendirikan NU di Sumenep

KH. Abi Sudjak mendapat restu dari PBNU dan dikeluarkannya SK kepengurusan oleh Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur pada tahun 1930-an, beliau menggelorakan dakwahnya dari perkotaan, pedesaan, dan kepulauan.

Dakwahnya tidak kaku itu diterima oleh masyarakat pesisir yang notabene abangan, khususnya di Desa Pinggir Papas, Kalianget, Sumenep. Petik Laut dan Nyadar yang dihelat setiap tahun oleh masyarakat pesisir kini diyakini sebagai kebudayaan.

Dakwahnya yang dikenang warga adalah ia aktif di setiap kegiatan kemasyarakatan. Sebut saja kumpulan shalawat Diba'i setiap malam Jumat Pahing dan kumpulan Sarwah di Kebonagung. Keberhasilan syiar ke-NU-an ini, tidak lepas atas kedekatannya dengan KHR As'ad Syamsul Arifin Sukorejo dan KH Abdul Hamid Pasuruan yang dirajut saat nyantri di Bangkalan. Dari sanalah beliau mendapatkan masukan dari ulama masyhur di tanah Jawa.

Kealiman KH. Abi Sudjak diakui pula oleh pamannya, KH. Zainal Arifin. Setiap berkunjung ke Pesantren Tarate, pamannya memilih tidak mengajar. Beliau memberikan kitab yang diampu kepadanya dengan alasan KH. Abi Sudjak sudah sampai pada maqam-nya. Jadi, pengajian kitab kuning yang biasa dihelat pada hari Ahad pagi, diampu oleh KH. Abi Sudjak ketika berkunjung ke Tarate.

Berkat kealimannya, banyak santri menjadi ulama kharismatik. Sebut saja Kyai Abd Aziz, Kyai Mursaha, Kyai Abd Rahman, Kyai Abdullah (muassis Pesantren Mathaliul Anwar Pangarangan Sumenep). Ada pula santri yang berasal dari luar Madura, yaitu Jember, Bondowoso, Situbondo, Besuki, dan Banyuwangi.

6. Referensi
Diolah dan dikembangkan dari data-data yang dimuat di situs:

  1. Radar Madura
  2. https://www.lontarmadura.com
  3. https://www.nu.or.id

 

 

 

 

 

Lokasi Terkait Beliau

List Lokasi Lainnya