Menalar Logika Ditetapkannya Soeharto sebagai Pahlawan Nasional Bersamaan dengan Gus Dur dan Marsinah

 
Menalar Logika Ditetapkannya Soeharto sebagai Pahlawan Nasional Bersamaan dengan Gus Dur dan Marsinah
Sumber Gambar: Instagram/@jaringangusdurian, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Setiap tanggal 10 November, bangsa ini seolah berdiri khidmat di depan cermin sejarahnya sendiri. Di situ, terpantul wajah-wajah yang oleh negara disebut “Pahlawan Nasional”. Tapi tahun ini, sepertinya cermin itu tampak retak. Bukan karena kurangnya penghargaan, melainkan karena pantulan yang menimbulkan tanya: Siapakah sesungguhnya yang sedang kita muliakan?

Presiden Prabowo Subianto baru saja menandatangani Keputusan Presiden Nomor 116/TK/2025, menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada sepuluh tokoh; Soeharto, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Marsinah, Rahmah El Yunusiyyah, Mochtar Kusumaatmadja, Sarwo Edhie Wibowo, Sultan Muhammad Salahuddin, Syaikhona Kholil, Zainal Abidin Syah, dan Tuan Rondahaim Saragih. Nama-nama itu disambut beragam reaksi. Sebagian penuh hormat, sebagian lainnya getir. Karena di antara mereka, terselip figur yang sejarahnya tak bisa dibaca dengan satu warna saja.

Berbagai media menyoroti momen sakral di Istana Negara. Semua berjalan sesuai protokoler, penuh simbol penghargaan. Di ruang yang sama, dua nama besar; Soeharto dan Gus Dur, yang seakan disebut dalam satu napas. Satu simbol otoritarianisme, yang lain ikon demokrasi dan kebebasan beragama. Dua ekstrem sejarah Indonesia disatukan oleh selembar keputusan presiden.

UNTUK DAPAT MEMBACA ARTIKEL INI SILAKAN LOGIN TERLEBIH DULU. KLIK LOGIN