Hormat dan Penghargaan Setingi-tingginya untuk Para Guru

 
Hormat dan Penghargaan Setingi-tingginya untuk Para Guru
Sumber Gambar: darunnajah.com, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Guru selalu menjadi sosok yang berdiri di garis depan peradaban. Mereka adalah penjaga cahaya ilmu, penanam karakter, dan penggerak kemajuan. Namun ironisnya, di negeri yang begitu bangga dengan jargon “mencerdaskan kehidupan bangsa”, guru justru masih menghadapi keadaan yang timpang dan jauh dari kata adil. Ketimpangan itu terasa jelas ketika kita melihat perbedaan antara guru yang berstatus pegawai negeri sipil, guru honorer, dan guru yang mengabdikan dirinya di pesantren (meski tidak menyebut untuk generalisir).

Mereka yang berstatus PNS memang hidup lebih mapan. Gaji terjamin, tunjangan profesi tersedia, dan kedudukan sosial pun relatif dihormati. Tidak ada yang salah dengan itu. Sebab memang layaknya mereka memang memikul tanggung jawab besar. Tetapi di sisi lain, masih banyak guru honorer yang berdiri di ruang kelas dengan beban kerja serupa namun penghargaan yang jauh berbeda. Ada yang menerima upah sekadar cukup untuk ongkos pulang, bahkan tidak sedikit yang gajinya hanya cukup memenuhi kebutuhan satu atau dua hari. Itu pun sering kali dibayar telat, bahkan dirangkap dua sampai tiga bulan. Mereka tetap datang ke sekolah, mengajar dengan sepenuh hati, sekalipun masa depan kariernya seperti kabut yang tidak jelas kapan akan menyingkap. Di balik senyum hangat kepada murid-muridnya, tersimpan keresahan yang tak pernah benar-benar selesai. Bisa jadi kondisi yang demikian ini yang membuat generasi sekarang cenderung turun minatnya untuk menjadi guru.

Sementara itu, keadaan yang jauh timpang tampak jelas jika kita menengok ke dunia pesantren. Para ustadz dan kyai yang setiap hari mengajar kitab kuning, membimbing ibadah, menemani santri dari Subuh hingga larut malam, hampir tak pernah menghitung jerih payah mereka dengan angka. Bisyaroh yang mereka terima sering kali jauh dari layak, bahkan tak jarang hanya berupa ucapan terima kasih atau doa dari pengasuh. Mereka tetap bertahan karena kesadaran bahwa tugas yang mereka emban bukan sekadar profesi, tetapi pengabdian. Di pesantren, seorang guru bukan hanya mengajar, tetapi mendidik sepenuhnya dan juga menuntun jiwa. Tidak hanya memberi materi, tetapi meneladankan akhlak, adab, dan cara pandang hidup. Sehingga kelak anak didiknya, para santri itu menjadi manusia-manusia yang berguna, bermanfaat, dan berkah dalam menjalani hidupnya, apa pun profesinya.

UNTUK DAPAT MEMBACA ARTIKEL INI SILAKAN LOGIN TERLEBIH DULU. KLIK LOGIN