Bedug Sebagai Alat untuk Menyampaikan Informasi Penanda Waktu Sholat Bagi Umat Islam

 
Bedug Sebagai Alat untuk Menyampaikan Informasi Penanda Waktu Sholat Bagi Umat Islam

Arti Kata dan Sejarah

Bedug merupakan sebuah alat yang terbuat dari batang kayu yang berdiameter lebar dengan lubang pada bagian tengahnya sehingga membentuk tabung dan kedua sisinya ditutup menggunakan kulit binatang seperti kulit kerbau, kulit sapi atau kulit kambing yang sudah dikeringkan yang berfungsi sebagai membran. Penggunaan alat ini dengan cara memukul membran atau kulit pada kedua sisi bedugnya dengan menggunakan tongkat kayu yang akan menimbulkan suara yang berat dan khas dan dimungkinkan dapat terdengar hingga jarak yang cukup jauh apabila dipukul dengan cukup keras. (Hery Nuryanto, 2012: 8-9).

Alat ini digunakan untuk menyampaikan informasi penanda waktu bagi kaum Muslimin atau umat Islam untuk menunaikan ibadah shalat (Hery Nuryanto, 2012: 9). Bedug sebagai sebuah alat yang menandai masuknya waktu shalat dan dipasang di serambi masjid bersandingan dengan kentongan ini digunakan di hampir seluruh masjid di Nusantara sejak awal mula masuknya Islam ke Nusantara (A. Khoirul Anam, 2014: 192).

Jauh sebelum Islam datang ke Nusantara, bedug telah ada dan digunakan oleh masyarakat Nusantara dan dijadikan sebagai media mengumpulkan warga masyarakat. Menurut Hendri F Isnaeni (2010), pada masa Hindu, jumlah bedug masih terbatas dan penyebarannya belum merata ke berbagai tempat di Jawa. Dalam Kidung Malat, pupuh XLIX, disebutkan bahwa bedug berfungsi sebagai media untuk mengumpulkan penduduk dari berbagai desa dalam rangka persiapan perang. Kitab sastra berbentuk kidung, seperti Kidung Malat, ditulis pada masa pemerintahan Majapahit.

Di sisi lain, terdapat sejumlah pendapat yang mengaitkan sejarah awal bedug dengan tradisi dan budaya Islam. Jika pandangan ini ditarik ke dalam lingkup yang lebih mikro, semisal pada budaya Jawa, keberadaan bedug Jawa dikaitkan dengan islamisasi Jawa, yang mulai intensif dilakukan pada Era Kewalian pada sekitar abad XV-XVI Masehi. Terkandung arti di dalam pandangan ini bahwa sebelum abad itu, yakni pada Masa Hindu-Buddha (abad V-XVI Masehi), terlebih lagi pada masa Prasejarah, bedug belum bercokol di Jawa. Kalaupun pada akhir masa Hindu-Buddha (abad XV-XVI Masehi) sudah mulai muncul waditra bedug, namun jumlahnya masih terbatas dan persebarannya belum merata ke berbagai tempat di Jawa. Oleh karena itu, pendapat yang menyatakan bahwa bedug baru ada di Pulau Jawa pada masa Perkembangan Islam perlu dikritisi guna menemukan kesejarahannya (Mudzakkir Dwi Cahyono, 2008).

Lebih lanjut Mudzakkir mengemukakan pendapat dengan menyodorkan catatan Cornelis de Houtman (1595-1597) yang berupa catatan perjalanan bangsa Belanda yang pertama di Indonesia. Di mana di dalamnya antara lain disebut tentang beberapa waditra di Jawa, seperti bedug, bonang, gender dan gong. Perihal bedug, Houtman menyatakan bahwa bedug merupakan waditra yang populer dan tersebar luas di Banten. Sumber data tekstual lain yang lebih awal memberitakan mengenai bedug adalah Kidung Malat (pupuh XLIX)” (Poerbatjaraka, 1968:325). Dalam penyebutan itu, waditra bedug difungsikan sebagai media untuk mengumpulkan penduduk dari berbagai desa dalam rangka persiapan perang. Kitab sastra yang berbentuk kidung, termasuk pula susastra kidung dengan lakon Panji sebagaimana halnya Kidung Malat tersebut, merupakan susastra yang ditulis pada masa pemerintah-an Majapahit. Jika benar demikian, berarti bedug telah ada sejak masa Majapahit (XIV-XVI Masehi) (Mudzakkir, 2008).

Seni Rampak Bedug

Dalam perkembangan selanjutnya, bedug yang wujudnya dapat kita temukan di hampir setiap masjid dan digunakan sebagai media informasi masuknya waktu shalat ini kemudian dijadikan sebagai salah satu model kesenian. Salah satunya adalah kesenian Rampak Bedug. Kesenian Rampak Bedug adalah kesenian yang menggunakan media bedug yang ditabuh secara serempak. 

Kata “Rampak” mengandung arti “Serempak”. Jadi “Rampak Bedug” adalah seni bedug dengan menggunakan waditra berupa “banyak” bedug dan ditabuh secara “serempak” sehingga menghasilkan irama khas yang enak didengar. Rampak bedug hanya terdapat di daerah Banten sebagai ciri khas seni budaya Banten (Muna Zakiah, 2014).

Pada mulanya seni Rampak Bedug dimaksudkan untuk menyambut bulan suci Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri, persis seperti seni ngabedug atau ngadulag. Tapi karena merupakan suatu kreasi seni yang genial dan mengundang perhatian penonton, maka seni Rampak Bedug ini berubah menjadi suatu seni yang “layak jual”, sama dengan seni-seni musik komersial lainnya. Walau para pencetus dan pemainnya lebih didasari oleh motivasi religi, tapi masyarakat seniman dan pencipta seni memandang seni Rampak Bedug sebagai sebuah karya seni yang patut dihargai (Muna Zakiah, 2014)

Fungsi Rampak bedug:

Rampak Bedug sebagai sebuah seni bukan hanya sekadar hiburan yang menjadi tontonan warga masyarakat, lebih dari itu seni Rampak Bedug memiliki fungsi dan nilai yang terkandung di dalamnya, fungsi dan nilai tersebut antara lain adalah:

  • Nilai Religi, yakni menyemarakan bulan suci Ramadhan dengan alat-alat yang memang dirancang para ulama pewaris Nabi. Selain menyemarakan Tarawihan juga sebagai pengiring Takbiran dan Marhabaan.
  • Nilai rekreasi/hiburan.
  • Nilai ekonomis, yakni suatu karya seni yang layak jual. Masyarakat pengguna sudah biasa mengundang seniman rampak bedug untuk memeriahkan acaraacara mereka.
  • “Rampak Bedug” dapat dikatakan sebagai pengembangan dari seni bedug atau ngadulag. Bila ngabedug dapat dimainkan oleh siapa saja, maka “Rampak Bedug” hanya bisa dimainkan oleh para pemain profesional. Rampak bedug bukan hanya dimainkan di bulan Ramadhan, tapi dimainkan juga secara profesional pada acara-acara hajatan (hitanan, pernikahan) dan hari-hari peringatan kedaerahan bahkan nasional. Rampak bedug merupakan pengiring Takbiran, Ruwatan, Marhabaan, Shalawatan (Shalawat Badar), dan lagu-lagu bernuansa religi lainnya.
  • Di masa lalu pemain rampak bedug terdiri dari semuanya laki-laki. Tapi sekarang sama halnya dengan banyak seni lainnya terdiri dari laki-laki dan perempuan. Mungkin demikian karena seni rampak bedug mempertunjukkan tarian-tarian yang terlihat indah jika ditampilkan oleh perempuan (selain tentunya laki-laki). Jumlah pemain sekitar 10 orang, laki-laki 5 orang dan perempuan 5 orang. Adapun fungsi masing-masing pemain adalah sebagai berikut pemain laki-laki sebagai penabuh bedug dan sekaligus kendang sedangkan pemain perempuan sebagai penabuh bedug, baik pemain laki-laki maupun perempuan sekaligus juga sebagai penari (Muna Zakiah, 2010).

Sejarah Rampak Bedug

Tahun 1950-an merupakan awal mula diadakannya pentas rampak bedug. Pada waktu itu, di Kecamatan Pandeglang pada khususnya, sudah diadakan pertandingan antar kampung. Sampai tahun 1960 rampak bedug masih merupakan hiburan rakyat, persis ngabedug. Awalnya rampak bedug berdiri di Kecamatan Pandeglang. Kemudian seni ini menyebar ke daerah-daerah sekitarnya hingga ke Kabupaten Serang.

Kemudian antara tahun 1960-1970 Haji Ilen menciptakan suatu tarian kreatif dalam seni rampak bedug. Rampak bedug yang berkembang saat ini dapat dikatakan sebagai hasil kreasi Haji Ilen. Rampak bedug kemudian dikembangkan oleh berempat yaitu: Haji Ilen, Burhata, Juju, dan Rahmat. Dengan demikian Haji Ilen beserta ketiga bersahabat itulah yang dapat dikatakan sebagai tokoh seni Rampak bedug. Dari mereka berempat itulah seni rampak bedug menyebar. Hingga akhir tahun 2002 ini sudah banyak kelompok-kelompok pemain rampak bedug (Muna Zakiah, 2014)

Sebagai sebuah kesenian daerah, tradisi rampak bedug merupakan bagian dari upaya pelestarian terhadap tradisi dan kebudayaan daerah setempat. Di tengah gempuran modernisasi ini seni Rampak Bedug harus terus melakukan inovasi-inovasi dalam mengemas seni pertunjukannya agar tetap diminati oleh masyarakat sembari tetap mempertahankan nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung di dalamnya.

Festival Bedug

Di sejumlah daerah di Indonesia, festival bedug diselenggarakan di setiap tahun. Festival bedug merupakan bagian dari upaya pelestarian tradisi khas Indonesia. Biasanya festival ini diadakan di malam hari raya Idul Fitri dan diadakan di alun-alun kota atau kabupaten. Selain sebagai sebuah lomba yang diikuti oleh masyarakat, festival bedug juga merupakan bagian dari upaya menjalin ukhuwah islamiyyah dan mengandung nilai dakwah.

Bedug Terbesar di Dunia

Bedug Kyai Bagelen atau Bedug Pendowo adalah bedug salah satu bedug peninggalan bersejarah yang cukup terkenal. Bedug yang berada di dalam masjid Darul Muttaqien Purworejo ini merupakan bedug terbesar di dunia. Bedug ini merupakan karya besar umat Islam Indonesia. Pembuatan bedug ini atas perintah dari Adipati Cokronegoro I, bupati Purworejo pertama yang terkenal sangat peduli terhadap perkembangan agama Islam.

Pada awal mulanya, ia ingin mempunyai sebuah bangunan masjid agung yang terletak di pusat kota alun-alun purworejo. Maka dari itu kemudian di bangunlah sebuah masjid di sebelah barat alun alun purworejo pada tanggal 16 april 1834 M dan tepatnya hari minggu. Bupati Cokronagoro I memerintahkan pembuatan Bedug dengan ukuran yang luar biasa besar dengan tujuan supaya dentuman bunyi bedug tersebut terdengar sejauh mungkin sebagai panggilan waktu shalat umat Islam untuk berjamaah di masjid agung tersebut.

Raden Patih Cokronagoro bersama Raden Tumenggung Prawironagoro yang juga merupakan adik dari Cokronagoro I menjadi pelaksana tugas membuat Bedug besar itu. Sama seperti bahan pembuatan masjid yang menggunakan kayu jati pilihan, bedug besar ini pun juga disepakati untuk dibuat dari pangkal kayu jati bang bercabang lima. Daerah tempat asal pohon jati tersebut adalah Dusun Pendowo, Desa Bragolan, Kecamatan Purwodadi.

Bedug yang mempunyai nama bedug Kyai Bagelen atau Bedug Pendowo tersebut mempunyai panjang sekitar 282 cm garis tengah depan 194 cm garis tengah belakang 180 cm keliling bagian depan 601 cm keliling bagian belakang 564 cm dengan jumlah paku depan 120 buah dan jumlah paku belakang 98 buah dan lulangnya dari kulit banteng, menjadikan bedug ini termasyhur dan terkenal di Asia dan Dunia.

Sampai sekarang bedug pendowo menjadi cagar budaya atau peninggalan budaya yang harus di jaga dan dirawat untuk mengenang para pembuatnya juga perkembangan Islam di tanah Bagelen atau Purworejo nama kabupaten saat ini. Bedug yang sudah berusia 177 tahun kini menjadi ikon kebanggan umat Islam di wilayah Purworejo dan akan menjadi saksi sejarah perkembangan Islam di daerah selatan wilayah Jawa Tengah. [Jamaluddin Muhammad]

Sumber Bacaan

Hery Nuryanto, Sejarah Perkembangan Teknologi dan Informasi, Jakarta: Balai Pustaka, 2012 https://www.telusurindonesia.com/menengok-bedug-terbesar-purworejo.html# Hendri F Isnaeni, Tak-Tak-Tak, Dung, Ini Sejarah Bedug, Dung, 2010 https://historia.id/budaya/taktaktak-dung-inisejarah-bedug Mudzakkir Dwi Cahyono, Waditra Bedug dalam Tradisi Jawa, 2008 https://nasional.kompas.com/ read/2008/09/24/18422736/waditra.bedug.dalam.tradisi.jawa https://banjarkab.go.id/festival-bedug-tahun-ini-lebih-meriah/ Muna Zakiah, Kesenian Rampak Bedug dari Banten, 2014, https://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/1439/kesenianrampak-bedug-dari-banten

SUMBER : ENSIKLOPEDI ISLAM NUSANTARA (Edisi Budaya)​