Mengingat Kelahiran Nabi Muhammad SAW dengan Membaca Barzanji

 
Mengingat Kelahiran Nabi Muhammad SAW dengan Membaca Barzanji

Istilah Kata

Pada umumnya, hari kelahiran Nabi Muhammad SAW disebut Mawlid, sebuah istilah kata yang juga sering berarti peringatan-peringatan yang diselenggarakan pada hari kelahiran Nabi Muhammad, tanggal 12 Rabiul Awwal. Di Jawa, bulan Rabiul Awwal dinamakan bulan mulud (diambil dari kata maulid, sebuah nama yang menunjukkan bulan kelahiran Nabi). Istilah lain dari Maulid adalah milad (hari kelahiran, ulang tahun) dan partisip pasif mawlud, dari akar kata bahasa Arab walada. (Annemarie Schimmel, 1995: 200)

Masyarakat Muslim di berbagai Negara memberikan penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW dengan beragam cara. Salah satunya adalah dengan memperingati hari kelahiran Nabi yang kemudian di Indonesia dikenal dengan istilah muludan (dari akar kata mawlid).

Menurut Schimmel, di Mesir, tradisi mawlid terus berlangsung dari zaman Fathimiyyah hingga dinasti-dinasti berikutnya. Para penguasa Mamluk pada abad ke-14 dan 15 biasa memperingati mawlid (pada umumnya bukan pada tanggal 12 rabiul awwal, tetapi tanggal 11) dengan penuh kebesaran di pelataran benteng Kairo. (Schimmel, 1995: 201-202)

Sementara di Indonesia, tradisi peringatan Nabi Muhammad SAW atau mawlid ini biasanya dengan membaca dan melantunkan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW dilakukan secara individual maupun berjamaah (komunal). Pembacaan dan pelantunan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW bagi kaum Muslim yang menganut paham Ahlussunnah wal Jamaah adalah sunnah. Oleh karena itu, pembacaan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW bagi kaum Muslim adalah sesuatu yang utama. Bentuk-bentuk bacaan pelantunan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW juga beraneka ragam. Bahkan bukan hanya shalawatshalawat yang dilantunkan, melainkan juga pembacaan biografi beliau. Salah satu bentuk pembacaan shalawat dan biografi serta sifatsifat dan perilaku Nabi Muhammad SAW dikenal dengan istilah barzanjian.

Istilah barzanjian sendiri merujuk kepada seorang pengarangnya bernama Syaikh Ja’far bin Husin bin Abdul Karim bin Muhammad Al-Barzanji. Jadi, barzanjen adalah sebuah tradisi pembacaan sirah atau biografi Nabi Muhammad SAW serta sifat dan prilakunya dan disertai dengan pelantunan shalawatshalawat dengan menggunakan kitab yang disusun oleh Syaikh Ja’far al-Barzanji.

Kitab Maulid Al-Barzanji karangan Syaikh Ja’far al-Barzanji ini termasuk salah satu kitab maulid yang paling populer dan paling luas tersebar ke pelosok negeri Arab dan Islam, baik Timur maupun Barat. Bahkan banyak kalangan Arab dan non-Arab yang menghafalnya dan mereka membacanya dalam acara-acara keagamaan yang sesuai. Kandungannya merupakan Khulasah (ringkasan) Sirah Nabawiyah yang meliputi kisah kelahiran beliau, pengutusannya sebagai rasul, hijrah, akhlaq, peperangan hingga wafatnya.

Keturunan Barzanji (Barzinji) yang menjadikan nama keluarga tersebut menjadi nama yang dikenal luas di Indonesia adalah cicitnya, Ja’far Ibn Hasan Ibn Abd al-Karim Ibn Muhammad (1690-1764), yang lahir di Madinah dan menghabiskan seluruh usianya di sana. Dia menulis sejumlah karya tentang ibadah yangmenjadi sangat populer di dunia Islam pada saat itu, dan di Indonesia sampai sekarang ini. (Martin, 2015: 31)

Kitab Al-Barzanji ditulis dengan tujuan untuk meningkatkan kecintaan kepada Rasulullah SAW dan meningkatkan gairah umat. Dalam kitab itu riwayat Nabi SAW SAW dilukiskan dengan bahasa yang indah dalam bentuk puisi dan prosa (nasar lawan dari nadzam) dan kasidah yang sangat menarik. Secara garis besar, paparan Al-Barzanji dapat diringkas sebagai berikut: (1) Sislilah Nabi adalah: Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muttalib bin Hasyim bin Abdul Manaf bin Qusay bin Kitab bin Murrah bin Fihr bin Malik bin Nadar bin Nizar bin Maiad bin Adnan. (2) Pada masa kecil banyak kelihatan luar biasa pada dirinya. (3) Berniaga ke Syam (Suraih) ikut pamannya ketika masih berusia 12 tahun. (4) Menikah dengan Khadijah pada usia 25 tahun. (5) Diangkat menjadi Rasul pada usia 40 tahun, dan mulai menyiarkan agama sejak saat itu hingga umur 62 tahun.

Tradisi Barzanjian di Nusantara

Menurut Martin, teks keagamaan yang paling populer di seluruh Nusantara, yang hanya kalah populer dengan al-Qur’an, adalah karya yang dikenal sebagai barzanji. Sebuah kitab mawlid yang dibaca oleh masyarakat Nusantara tidak hanya di sekitar tanggal 12 Rabi’ al-Awwal, hari kelahiran Nabi Muhammad SAW., tetapi juga pada banyak upacara yang lain: pada berbagai upacara yang mengikuti daur kehidupan manusia seperti pemotongan rambut seorang bayi untuk pertama kalinya (aqiqah), dalam situasi krisis, sebagai bagian dari ritual untuk mengusir setan, atau secara rutin dijadikan sebagai bagian dari wiridan berjamaah yang dilakukan secara rutin. (Martin, 2015: 22)

Masih menurut Martin, tradisi pembacaan dan popularitas kitab barzanji ini merupakan sebuah bukti bahwa Islam di Nusantara memiliki hubungan atau bahkan bisa dikatakan terpengaruh oleh tradisi Kurdi, Irak. Sebab, tidak pernah diperhatikan sebelumnya bahwa barzanji (lebih tepatnya: barzinji) adalah nama dari keluarga ulama dan syekh-syek tarekat yang paling berpengaruh di daerah Kurdistan bagian Selatan. (Martin, 22)

Selain kitab barzanji, beberapa kitab serupa lainnya yang juga cukup populer di tengah masyarakat Indonesia dan dibaca dalam kegiatan-kegiatan adalah diba’ (yang kemudian popular dengan istilah diba’an), simtuddurar, dliya’ al-lami’, dan kitab-kitab serupa lainnya yang berisi tentang shalawat kepada Nabi Muhammad sekaligus biografi sang Nabi dari lahir sampai wafatnya.

Definisi, Cakupan dan Kompleksitas Istilah

Istilah barzanjen (pembacaan maulid barzanji) ini kemudian pada gilirannya merujuk pada sebuah kegiatan pembacaan maulid Nabi dengan menggunakan kitab barzanji. Sebenarnya tidak hanya kitab ini yang dijadikan pedoman atau kitab yang dibaca dalam maulid. Terdapat kitab-kitab lain dengan isi yang hampir serupa dengannya seperti Diba’, Simtuddurar, atau Syaraf al-Anam, dan kitab-kitab yang berisi sirah dan pujianpujian kepada Nabi Muhammad SAW lainnya.

Di Indonesia, pembacaan maulid barzanji ini dilakukan oleh masyarakat Islam yang sering disebut kelompok tradisionalis. Kalangan pesantren dan masyarakat-masyarakat yang masih memegang tradisi yang diwariskan leluhurnya masih berpegang teguh melakukan pembacaan maulid Nabi, meski kalangan lain yang sering disebut modernis dan puritan menganggap pembacaan maulid Nabi dalam segala bentuknya adalah sesuatu yang dianggap mereka sebagai bid’ah. Sesuatu yang bukan saja tidak boleh dilakukan, melainkan harus dibuang-buang jauh.

Perdebatan-perdebatan sunnah vis a vis bid’ah dalam tradisi pembacaan barzanji ini hingga kini masih berlangsung. Bahkan bisa jadi tidak akan pernah selesai. Sebab kedua kelompok ini di samping memiliki cara pandang sendiri juga mempunyai dalil dan argumentasi yang lain. Di sisi lain, terdapat ruang yang harus dipahami oleh terutama kelompok yang menganggap bahwa tradisi barzanji ini adalah sebuah perbuatan bid’ah adalah bahwa pembacaan barzanji memiliki nilai dakwah yang cukup efektif. Ia secara tidak langung merupakan bagian dari sebuah sarana mendakwahkan akhlak, sifat, dan perilaku Nabi Muhammad SAW.

Ta’rifin sebagaimana dikutip oleh Wasisto, mengatakan bahwa dalam pembacaan maulid barzanji atau berzanjen ini paling tidak memiliki nilai-nilai kebaikan berupa: Pertama, meningkatkan semangat kecintaan dan pengamalan nilai kesalehan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai uswatun hasanah yang patut dicontoh oleh masyarakat masa kini. Dalam hal ini, terdapat transfer nilai-nilai luhur yang bisa diambil dari sosok Nabi sendiri untuk bisa diamalkan dalam kehidupan seharihari. Kedua, merekatkan ukhuwah islamiyah diantara umat Islam karena pergelaran bazanji sendiri selalu melibatkan banyak orang dan massa melihatnya juga banyak sehingga disamping mendapatkan nilai edukasi dari pembacaan tradisi barzanji serta meningkatkan interaksi antar sesama masyarakat. Ketiga, meningkatkan amalan ibadah tertentu bagi individu yang senantiasa membaca barzanji di setiap waktu senggangnya karena barzanji secara langsung menuntun seseorang untuk mengamalkan salah satu poin dalam rukun iman yakni kepada Rasul dan Nabi Allah. (Wasisto, 2012)

Aspek Keberlangsungan (continuity) dan Perubahan (change) Istilah

Tradisi pembacaan barzanji yang esensinya adalah sebentuk pujian yang ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW sebenarnya telah ada semenjak rasulullah SAW masih hidup. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Syekh Ibrahim alBajuri yang mengatakan bahwa tiga sahabat Nabi yang merupakan seorang penyair, yaitu Hasan Ibnu Tsabit, Abdullah Ibnu Rawahah, dan Ka’ab Ibnu Malik. Ketiganya adalah sahabat-sahabat Nabi yang pernah membacakan puisi-puisi tentang pujian Nabi.

Sedangkan berkenaan dengan tradisi perayaan maulid nabi sendiri telah dirayakan oleh masyarakat Muslim sejak abad kedua hijriah. Hal ini berdasarkan pada apa yang ditulis oleh Nuruddin Ali dalam kitabnya berjudul Wafaul Wafa bi Akhbar Dar al-Musthafa, dikatakan bahwa Khaizuran (170 H/ 786 M), ibu Amirul Mukminin Musa al-Hadi dan alRasyid, datang ke Madinah dan memerintahkan kepada penduduk untuk mengadakan Maulid Nabi SAW di Masjid Nabawi. Kemudian beliau ke Mekkah dan memerintahkan agar penduduk Mekkah juga menyelenggarakan Maulid di rumah-rumah mereka.

Khairuzan merupakan sosok yang memiliki pengaruh cukup besar di masa pemerintahan tiga khalifah Dinasti Abbasiyyah. Yaitu pada masa pemerintahan khalifah al-Mahdi bin Manshur al-Abbas, Khalifah al-Hadi dan Khalifah al-Rasyid. Melalui “pengaruh”-nya ini, Khairuzan menginstruksikan perayaan hari lahir Nabi SAW. Al-Azraqi mengatakan bahwa kota Mekah memiliki satu sudut istimewa yang sangat dianjurkan dijadikan tempat shalat. Tempat itu adalah rumah Rasulullah SAW dilahirkan. Tempat itu, menurut al-Azraqi, kemudian dialih-fungsikan menjadi masjid oleh Khairuzan. (Tsauri, 2015: 37)

Sementara proses transmisi tradisi perayaan maulid di Indonesia tentu tidak bisa dilepaskan dengan proses islamisasi yang terjadi di negeri ini. Para penyebar dan pendakwah Islam di Nusantara menjadikan tradisi maulid ini sebagai media dakwah. Bahkan dikatakan memiliki dampak yang cukup baik.

Bersamaan dengan masuk dan berkembangnya Islam di Nusantara serta dijadikannya maulid sebagai bagian dari dakwah yang dilakukan oleh para penyebar ajaran Islam di negeri ini, peringatan maulid Nabi dalam bentuk pembacaan barzanji ini juga berlangsung. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Suparjo, bahwa masuknya tradisi barzanji ke Indonesia tidak terlepas dari pengaruh orang-orang Persia yang pernah tinggal di Gujarat yang berpaham Syiah yang pertama kali menyebarkan Islam di Indonesia. Pendapat ilmiah yang lain mengatakan bahwa tradisi barzanji sendiri dibawa oleh ulama bermahzab Syafii terutama Syekh Maulana Malik Ibrahim yang dikenal gurunya Wali Songo berasal kawasan Hadramaut (Yaman) dalam menyebarkan Islam di daerah pesisir Sumatera Timur maupun Pantai Utara Jawa yang dikenal amat toleran dan moderat dalam berdakwah dengan mengasimilasikannya dengan tradisi maupun kultur lokal. Seni barzanji kemudian turut menginsipirasi Sunan Kalijaga untuk menciptakan lagu li-ilir maupun tombo ati yang sangat familiar di kalangan pesantren dalam melakukan dakwahnya di kawasan pedalaman Jawa (Suparjo, 2008: 180).

Oleh karena itulah, tradisi barzanji ini kemudian berkembang pesat di kalangan pesantren-pesantren yang tersebar di Jawa Tengah maupun Jawa Timur. Nahdlatul Ulama (NU) yang notabene dianggap sebagai pesantren besar dianggap sebagai organisasi pelestari tradisi ini. Hal ini dikarenakan pengaruh Syi’ah di NU sangat besar dan mendalam. Kebiasaan membaca barzanji atau Diba’i yang menjadi ciri khas masyarakat NU berasal dari tradisi Syi’ah. Makanya kemudian Kiai Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pernah menyebut bahwa salah satu pengaruh tradisi Syiah dalam corak keislaman di Indonesia adalah praktik nyanyian (biasa disebut juga pujian) menjelang shalat yang biasa dipraktikkan di kalangan warga nahdliyyin (NU). Nyanyian itu berisi pujian untuk “ahl albait” atau keluarga Nabi, istilah yang sangat populer di kalangan Syiah maupun nahdliyyin. Bunyi nyanyian itu ialah: Li khamsatun uthfi biha, harra al Waba’ al Hathimah, al Mushthafa wa al Murtadla, wa Ibnuahuma wa al Fathimah. Terjemahannya: Aku memiliki lima “jimat” untuk memadamkan epidemi yang mengancam; mereka adalah al Musthafa (yakni Nabi Muhammad), al Murtadla (yakni Ali Ibnu Abi Talib, menantu dan sepupu Nabi), kedua putra Ali (yakni Hasan dan Husein), dan Fatimah (istri Ali). Gus Dur menyebut gejala ini sebagai “Syiah kultural” atau pengaruh Syiah dari segi budaya, bukan dari segi akidah. (Wasisto Raharjo Jati, 2012)

Pembacaan barzanji dilakukan oleh masyarakat Nusantara memiliki beragam tradisi dan kekhasan di setiap daerah masing-masing. Sebagian besar masyarakat Islam Nusantara membacakan naskah kitab barzanji ini pada bulan mulud (Rabiul Awwal) bulan dimana Nabi Muhammad SAW lahir sebagai bagian dari rangkaian peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Pembacaan ini biasanya dilakukan di masjid-masjid atau mushalla. Jadi, pembacaan barzanji ini tidak bisa dilepaskan dari tradisi maulid Nabi Muhammad SAW.

Selain dilakukan di masjid dan mushalamushala, pembacaan barzanji juga diadakan di rumah-rumah masyarakat. Biasanya, orang yang menjadi tuan rumah pengajian barzanji ini memiliki hajat baik berbentuk tasyakuran atas kelahiran anak dan hal lainnya. Mereka mengundang tetangga-tetangganya untuk turut serta dalam pembacaan maulid barzanji di rumahnya. Tuan rumah akan menyediakan hidangan makan dan menyiapkan “berkat” (makanan yang dibungkus dengan sebuah wadah atau plastik) untuk dibagikan kepada para jamaah yang datang mengikuti pembacaan barzanji.

Dalam tradisi masyarakat Muslim Bugis, tuan rumah yang mengadakan pembacaan barzanji di rumahnya terlebih dahulu membuat sebuah hidangan yang akan dibawa keluar dan diletakkan di depan Imam (seorang ulama yang memimpin pembacaan barzanji). Hidangan yang dalam bahasa Bugis dinamakan “nanre barzanji” (makanan barzanji) ini kemudian didoakan oleh sang Imam agar menjadi berkat bagi tuan rumah dan para jamaah yang mengikuti pembacaan barzanji. (M. Junaid, 2005)

Hampir sama dengan tradisi pembacaan maulid barzanji yang dilakukan oleh masyarakat Islam di Bugis adalah tradisi pembacaan barzanji di daerah-daerah lain seperti Cirebon. Selain dilakukan di Masjid dan mushala, masyarakat Muslim yang memiliki hajat baik berupa tasyakuran dalam segala bentuknya juga melakukan pembacaan maulid ini di rumahnya masing-masing. Di sebuah desa di Cirebon misalnya, masyarakat yang telah melakukan walimah ursy atau khitan, esok hari setelah acara walimah akan mengundang tetangga-tetangganya untuk membacakan maulid barzanji secara berjamaah. Penduduk sekitar diundang untuk turut mendoakan acara walimah yang dilakukan sehari sebelumnya sekaligus sebagai bentuk tasyakuran.

Dalam pembacaan barzanji ini ada sebuah istilah lain yang merujuk pada sebuah waktu saat pembacaan naskah barzanji telah sampai pada kalimat “asyraqal badru ‘alaina” yang kemudian diikuti dengan tindakan berdiri oleh para peserta atau jamaah. Berdirinya para jamaah ini sebagai bentuk penghormatan terhadap Nabi Muhammad SAW yang diyakini turut hadir dalam pembacaan barzanji. Istilah lain untuk menyebut hal ihwal ini adalah marhabanan atau mahallul qiyam (posisi berdiri).

Pada saat mahallul qiyam ini kemudian pujian-pujian terhadap Nabi Muhammad dilantunkan. Pujian-pujian berbentuk puisi Arab ini dibacakan oleh seorang Imam yang diikuti oleh para jamaah dengan khusyuk. Syair-syair indah dibacakan dengan nada-nada tertentu dan pilihan serta terkadang diiringi dengan tabuhan rebana.

Pembacaan barzanji atau barzanjen adalah salah satu tradisi yang memiliki akar yang kuat dan bertahan hingga sekarang. Sebuah pembacaan sirah atau biografi, sifatsifat, prilaku, dan puisi-puisi yang berisi pujian kepada Nabi Muhammad SAW yang umumnya dilaksanakan pada bulan mulud (rabiul awwal), serta bulan-bulan lainnya, diadakan di masjidmasjid, mushala bahkan di rumah-rumah penduduk sebagai bentuk penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW.

Dari Masjid-Masjid ke Pangung Teater

Barzanji tidak hanya menjadi daya tarik di kalangan santri atau masyarakat Islam di pedesaan-pedesaan. Ia bahkan sejak lama telah merambah ke dalam panggung teater. Barzanji di pentaskan secara teatrikal oleh para seniman dan pegiat kebudayaan. Adalah WS Rendra, seniman yang dikenal sebagai “burung merak” menampilkan teater kasidah barzanji. Pementasan Shalawat Barzanji beranjak dari naskah terjemahan Syubah Asa yang sebenarnya merupakan sequel dari Kasidah Barzanji yang pernah menghebohkan jagad perteateran nasional pada tahun 1970. Sekuel ini kali pertama dimainkan di Taman Ismail Marzuki Jakarta, yang pada waktu itu berhasil menyedot penonton paling banyak sepanjang sejarah pertunjukan teater di Indonesia.

Ken Zuraidah, istri dari WS Rendra, sepeninggal suaminya mencoba melakukan sosialisasi teater barzanji ini ke pesantrenpesantren. Hasilnya, ia berhasil menarik simpati kalangan pesantren. Bahkan ia melakukan kolaborasi dengan pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon melakukan pementasan Kasidah Barzanji ini di Taman Ismail Marzuki Jakarta dan tiga kota lainnya. Pementasan teater barzanji ini menarik simpati banyak kalangan. [Muhammad Idris Mas’udi]

Sumber Bacaan

Ahmad Tsauri, Sejarah Maulid Nabi; Meneguhkan Semangat Keislaman dan Kebangsaan Sejak Khairuzan (173 H) Hingga Habib Luthfi Bin Yahya, Pekalongan: Menara Publisher, 2015 A. Khoirul Anam, dkk, Ensiklopedia NU, Jakarta: Mata Bangsa dan PBNU, 2014 Annemarie Schimmel, And Muhammad is His Messenger: The Veneration of the Prophet in Islamic Piety, penterjemah Astuti dan Ilyas Hasan, (Bandung: Mizan, 1998) cet. V Martin Van Bruinessen, Pesantren, Kitab Kuning dan Tarekat (Jogjakarta: Gading Publishing, 2015) Cet. II M. Junaid, Tradisi Barzanji Sya’ban Masyarakat Bugis Wajo Tanjung Jabung Timur, Jurnal Kontekstualita Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan Vol. 20 No. 1 tahun 2005 Ta’rifin, Tafsir Budaya atas Tradisi barzanji dan Manakib, Jurnal Penelitian Vol. 7 No. 2 tahun 2010 Wasisto Raharjo Jati, Tradisi, Sunnah, dan Bid’ah: Analisa Barzanji dalam Perspektif Cultural Studies, Jurnal el Harakah Vol. 14 No. 02 Tahun 2012 https://www.djarumfoundation.org/aktivitas/detail_kegiatan/284/5/kalung-permata-barzanji