Khazanah dan Identitas Kebudayaan Islam Warisan Kesultanan Ternate

 
Khazanah dan Identitas Kebudayaan Islam Warisan Kesultanan Ternate

Ela-Ela dan Kolano Uci Sabea (Kesultanan Ternate)​

Kesultanan Ternate adalah salah satu kesultanan Islam tertua yang ada di Nusantara wilayah timur. Kesultanan tersebut berdiri sejak tahun 1257 M dan masih eksis hingga saat ini. Selama berabad-abad lamanya, kesultanan tersebut tumbuh dan berkembang sebagai kekuatan yang besar di kawasan timur Nusantara, termasuk menjadi kekuatan politik dan ekonomi.

Kesultanan Ternate juga mewariskan khazanah dan identitas kebudayaan Islam yang unik, kaya, dan khas. Di antara warisan budaya dan tradisi keislaman khas Kesultanan Ternate yang turun temurun dari dulu hingga kini adalah “Ela-ela” dan “Kolano Uci Sabea”.

Ela-Ela

Ela-ela adalah sebuah festival rutin tahunan yang diselenggarakan untuk memeriahkan dan menyemarakkan Malam Lailatul Qadar pada tanggal 27 Ramadhan. Malam Lailatul Qadar adalah malam yang istimewa sekaligu sakral dalam kepercayaan umat Muslim, di mana malam tersebut dikatakan dalam al-Qur’an sebagai malam yang lebih baik dari seribu bulan, malam yang diberkati, ketika malaikat turun ke bumi, ketika doa-doa yang dipanjatkan oleh siapapun akan didengar dan dikabulkan oleh Allah SWT.

Umat Muslim dianjurkan untuk merayakan malam yang istimewa dan sakral ini dengan memperbanyak ibadah, dzikir, do’a, munajat, dan melakukan amal-amal kebajikan lainnya. Seluruh umat Muslim di pelbagai negeri di dunia, memperingati, menyemarakkan, dan menyambut kedatangan Malam Lailatul Qadar dengan berbagai macam perayaan yang berbeda-beda.

Salah satunya adalah yang dilakukan oleh masyarakat Muslim di Kesultanan Ternate. Mereka menyambut, menyemarakkan, dan merayakan Malam Lailatul Qadar dengan sebuah tradisi yang unik dan khas, yaitu “Elaela”.

Ela-ela sendiri dalam bahasa lokal Ternate berarti “obor” atau “suluh”. Pada malam 27 Ramadhan yang diyakini sebagai Malam Lailatul Qadar, masyarakat Muslim Ternate di pelbagai pelosok menggelar tradisi “Elaela” untuk menyambut, menyemarakkan, dan memeriahkan malam sakral tersebut.

Setiap rumah di Ternate, pada malam 27 Ramadhan, memasang obor di pekarangan rumah mereka dan menyalakannya, sebagai ungkapan sambutan mereka akan datangnya Malam Lailatul Qadar yang disucikan dan diberkati. Pada malam tersebut seluruh perkampungan di Ternate tampak terang benderang dan semarak oleh cahaya obor yang menyala di setiap sudut.

Selain menyalakan obor di pekarangan masing-masing rumah, masyarakat juga menggelar ritual bersama selepas melaksanakan shalat tarawih berjamaah. Selesai tarawih, masyarakat berkumpul di halaman masjid sambil melaksanakan do’a bersama, sekaligus menggelar pengajian dan tausiah keagamaan yang disampaikan oleh pemuka agama, di mana masyarakat diingatkan untuk selalu menjaga ketakwaan kepada Allah, mematuhi perintahNya dan menjauhi laranganNya, senantiasa beramal saleh, berbuat baik kepada sesama manusia dan alam semesta, serta berpegang teguh pada nilai-nilai luhur agama Islam.

Setelah itu, masyarakat menggelar pawai obor mengelilingi kampung. Ratusan warga ikut serta dalam pawai ini, mulai dari anakanak hingga orang tua. Hampir di setiap rumah warga di masing-masing kelurahan, terdapat ela-ela. Masing-masing rumah menyediakan tiga sampai empat ela-ela, baik yang terbuat dari bambu ataupun botol bekas minuman. Ela-ela yang disiapkan warga ini untuk dinyalakan usai salat Tarawih.

Selama pawai, dalam perjalanan mereka juga melantunkan shalawat kepada Nabi Muhammad, doa-doa kebaikan, dan juga pujipujian. 

Pawai “Ela-ela” ini bukan hanya ajang bagi masyarakat untuk menyambut kedatangan Malam Lailatul Qadar semata, tetapi juga sebagai ajang silaturahim, saling berbagi, mengaji, melantunkan shalawat kepada Nabi dan memanjatkan do’a bersama, mengingat tradisi leluhur dan sejarah Islam di Ternate, sekaligus mengkampanyekan syiar Islam dengan festival khas yang sarat akan kearifan lokal.

Kolano Uci Sabea

Berasamaan dengan perayaan “Ela-ela”, berlaku pula perayaan tradisi khas Islam Kesultanan Ternate lainnya, yaitu “Kolano Uci Sabea”.

 “Kolano Uci Sabea” sendiri dalam bahasa lokal Ternate berarti “Raja (Kolano) Turun Shalat (Uci Sabea)”. Maksudnya, pada saat itu, Sultan Ternate akan keluar dari istana dan shalat berjamaah dengan masyarakat di Masjid Agung Kesultanan Ternate. Sang Sultan keluar untuk menemui rakyat sekaligus bersilaturahim dengan mereka.

Namun, khusus untuk “Kulano Uci Sabea” yang dilakukan pada malam “Ela-ela” atau Malam Lailatul Qadar, ada nuansa yang khas dan tersendiri.

Pada malam 27 Ramadhan, selepas berbuka puasa menjelang waktu isya, Sultan keluar istana dengan disertai iring-iringan seluruh pembesar dan perangkat kesultanan. Sultan duduk di atas kursi tandu yang ditandu oleh beberapa pengawalnya. Rombongan pengiring Sultan juga membawa umbul-umbul dan panji-panji kesultanan, dengan diiringi alunan musik khas Kesultanan Ternate yang disebut “Cika Momo” dan dibunyikan dari seperangkat Gamelan pemberian Sunan Gresik.

Rombongan iring-iringan Sultan tersebut melewati jalan menuju Masjid Agung Kesultanan yang tak jauh dari istana, yang di samping kanan-kiri jalan diterangi dengan obor “Ela-ela”, dan dipenuhi oleh barisan masyarakat Ternate.

Sultan dan rombongan istana lalu melaksanakan shalat isya dan tarawih berjamaah di Masjid Agung Kesultanan yang diimami oleh Imam Besar Kesultanan yang sekaligus menjabat sebagai Qadhi dan Mufti Kesultanan. Sultan duduk di barisan paling depan, tepat di belakang imam.

Masjid Agung Kesultanan dibangun pada tahun 1606 M, tepatnya saat masa-masa akhir kekuasaan Sultan Saidi Barakat Syah bin Sultan Babullah Syah (memerintah pada tahun 1583- 1606 M), yang dilanjutkan oleh puteranya, Sultan Muzaffar Syah bin Sultan Saidi Barakat Syah (memerintah pada tahun 1607-1627 M).

Setelah pelaksanaan shalat tarawih berjamaah, sang Sultan akan kembali ke istana dengan ditandu seperti ketika keberangkatannya ke masjid. Sementara, sebagian masyarakat ada yang melaksanakan festival “Ela-ela” atau pawai obor.

Di istana, Sultan bersama permaisuri memanjatkan doa di area makam para leluhur. Usai berdoa, sultan dan permaisuri duduk di singgasana ruang utama (Foris Lamo) untuk menerima rakyat yang hendak bersalaman dan bersungkeman dengan sang Sultan. Setelah prosesi salaman dan sungkeman selesai, Sultan akan menuju pendopo istana untuk bersilaturahim dan makan bersama bersama rakyat.

[A. Ginanjar Sya’ban]