Tinju Murid dan Refleksi Esensi Pendidikan

 
Tinju Murid dan Refleksi Esensi Pendidikan

LADUNI.ID - Innama bu’itstu mu’alliman hadits ini sangat populer di lingkungan akademisi. Secara substansial kandungan hadits ini merupakan deklarasi profetik dari kehadiran Rasulullah di tengah-tengah umatnya sebagai seorng guru. Untuk itulah profesi guru dalam tradisi Islam merupakan profesi mulia sebagai bentuk semangat dalam melanggengkan misi kerasulan untuk memerdekakan umat dari belenggu kebodohan.

Posisi ini tanpa disadari semakin hari mengalami degradasi yang semakin merosot. Hingga pada suatu saat posisi guru tidak jauh berbeda dengan profesi lainnya yaitu sebagai penyanggah dan penyambung hidup belaka. Berbagai standar formal disematkan, mulai dari keharusan berpendidikan formal hingga detil materi, waktu dan tujuan yang seragam dari hulu hingga ke hilir.

Aktifitas-aktifitas mulia mendidik murid hanya sebatas pemenuhan kepentingan pragmatis, baik bagi murid maupun bagi guru itu sendiri. Kepentingan pragmatis bagi murid hanya sebatas mengisi kemampuan kognitif, sementara kepentingan bagi guru hanya sebatas pemenuhan untuk mendapat imbalan materi yang pantas untuk setiap upaya yang telah diilakukan oleh guru.

Alur pendidikan transaksional ini melaju cukup pesat, sehinggal lembaga pendidikan tidak jauh berbeda dengan situasi pasar pada umumnya. Kedekatan antar murid dan guru semisal dengan pelanggan dan penyedia layanan, begitu masing-masing sudah mendapatkan kepuasannya maka terputuslah hubungan keduanya. Bahkan tidak jarang di sela-sela proses pendidikan berlangsung terjadi tarik menarik kepentingan antara murid dan guru, sehingga terkadilah murid melaporkan gurunya atau sebaliknya guru memberlakukan muridnya dengan semena-mena.

Fenomena pendidikan beraroma transaksional pragmatis di atas tentu suatu kondisi yang pahit. Namun demikian, realita tersebut perlu diungkap secara jujur, walau tentu tidak dapat dipungkiri masih terdapat guru-guru yang konsisten dengan misi kenabian. Bagi mereka yang masih istiqamah tentu perlu terus didorong agar dapat mengimbangi laju pendidikan transaksional yang semakin kuat.

Sekitar 4 hari yang lalu (1/2/2018) tinju seorang murid telah menghabisi nyawa seorang guru Ahmad Budi Chayono. Kabar kekerasan dalam pendidikan yang berujung maut itu telah membuat warganet meledak-ledak. Pelaku pemukulan mendapat kecaman berlebihan walau di sisi lain kasus tersebut telah ditangani secara hukum. Namun demikian, kejadian yang tak wajar ini tentu dapat dimaklumi ketika mendapatkan perhatian lebih, baik di dunia maya maupun di realitas faktual.

Pemukulan oleh murid terhadap guru tentu tidak dapat dibenarkan. Nurani yang bersih akan tetap mengecam kebiadaban kekerasan tersebut. Namun luapan emosional tersebut perlu diakhiri. Publik perlu kembali duduk tenang meredam kemarahan dan mengkonversinya menjadi energi positif bagi kebaikan wajah pendidikan masa depan di negeri ini. Biarlah kasus tersebut diselesaikan secara hukum, semoga korban almarhum menjadi syahid di sisi Allah.

Kejadian mengagetkan di atas nampaknya cukup untuk menjadikan kita semua menarik diri untuk membuka kembali memahmi esensi pendidikan. Menurut al-Gahzali, pendidikan adalah suatu upaya untuk mengenal manusia sebagai “hamba Allah” dan sebagai “kholifah”. Sebagai konsekuensinya, maka ada dua cara. Pertama dengan cara pembelajaran dan yang kedua dengan cara berfikir reflektif. Cara yang pertama mengandaikan jalan untuk persoalan keholifahan dalam mengatur keduniaan sementara, berfikir reflektif adalah cara mewujudkan manusia sebagai hamba Allah.

Lembaga pendidikan dan sosok guru harus sepenuhnya nemahami esensi dan dua jalan tersebut. Maka upaya dari seluruh rangkaian proses pendidikan adalah proses mengasah akal dan hati. Dalam hal ini hati ditempatkan sebagai bagian yang harus dominan, karena hati menurut al-Ghazali adalah asyrafu ma fil insan (unsur yang paling mulia dalam diri manusia). Sementara dalam prakteknya unsuk hati ini banyak dilupakan dan lebih dominan pada persoalan akal. Sebagai konsekuensinya, didapatkanlah manusia-manusia yang terlalu congkak dengan akalnya dan dengan hati yang mati suri.

Proses pendidikanpun makin pragmatis dan terjadilah seperti kasus hilangnya nyawa guru oleh muridnya sendiri. Kasus memilukan ini tidak perlu terjadi lagi di masa-masa yang akan datang. Peringatan al-Ghazali untuk lebih memperhatikan hati menurut hemat penulis dirasa tepat agar esensi pendidikan ini kembali pada semangat kenabian. Wallahu a’lam bil showab.

Oleh: Ach. Tijani*)

Anggota LAKPESDAM NU Pontianak 

 

 

Tags