Ihtiyath dalam Mengaji dan Mengkaji Al-Quran

 
Ihtiyath dalam Mengaji dan Mengkaji Al-Quran

LADUNI.ID - Sewaktu di pesantren dulu, Guru kami, Almarhum KH.Abdul Hannan As`ad (w.th. 1999), pengasuh Pesantren Miftahul Ulum Malang, sering mengingatkan para santrinya agar dalam membaca al-Qur`an hendaknya membacanya secara tartil, dengan baik, tidak grasa grusu, apalagi sampai parade adu kecepatan. Pesan beliau, jangan sampai niat baik membaca al-Qur`an untuk mendapatkan ridho dan pahala dari Allah swt. malah berubah menjadi perbuatan maksiat dan berbuah dosa disebabkan ketidak hati-hatian dan "sak karepe dewe" dalam membacanya. Terdapat makhraj yang tidak benar, hukum mad yang teralpakan, bahkan terjadinya pengurangan dan penambahan huruf dalam Al-Qur`an, yang semuanya disebabkan kesembronoan dalam membacanya. Beliau memang terkenal sangat teliti dalam mengajar tahsin al-Qur'an, sehingga wajar saja bila santri santri baru yang diajar ngaji oleh beliau baru bisa menyelesaikan tahsin surat al-Fatihah sampai berbulan-bulan, termasuk yang saya alami di awal masa nyantri.

Di sela pengajian Kitab Risalatul Mahid, Almarhum Gus Ahmad Yusa` Nawawi (w.th. 2019) pernah menguraikan pandangan ulama fiqh tentang tampilnya perempuan di sektor publik dan menjadi seorang pemimpin. Dalam penjelasan itu, beliau menguraikan kandungan QS. An-Nisa`: 34, sembari mengingatkan kepada kami, para santri nya, agar dalam menyampaikan kandungan ayat Al-Qur`an hendaknya dipahami dulu maksudnya, pelajari dulu tafsirannya, baca dan pahami pendapat para mufassirin dalam kitab-kitab tafsir, tidak asal mengambil dari dohir lafadnya semata. Kira-kira pesan semacam itu yang beliau sampaikan kala itu, sekitar tahun 2001 bertempat di dalem (kediaman) yai Hannan.

Pesan tersebut saya pahami sebagai bentuk “teguran halus” pada saya, sekalipun beliau tidak menyebutkannya secara langsung. Sebab, malam sebelumnya, tepatnya malam Selasa, pada sesi Muhadharah (latihan pidato) di Mushalla pesantren, saya sempat berpidato di depan para santri dengan menyitir QS. an-Nisa: 34 tersebut dan menjadikannya sebagai pijakan pelarangan wanita tampil menjadi pemimpin. Seingat saya, waktu itu memang saya belum sempat membaca berbagai interpretasi para mufassirin, dan hanya berbekal terjemahan dan pengetahuan seadanya.

Pesan para guru kami yang telah disampaikan sejak belasan tahun yang lalu tersebut sangat melekat kuat pada ingatan saya. Kesan yang saya ambil, begitu hati-hatinya para guru, para ulama ketika berinteraksi dengan al-Qur`an. Baik pada aspek pembacaannya, terlebih dalam memahami makna dan interpretasinya, baik dalam mengaji ataupun mengkajinya.

Sikap kehati-hatian (ihtiyath) dan tanggung jawab yang diperlihatkan para guru dalam menyampaikan kandungan Al-Qur’an sejatinya merupakan kewajiban yang harus dipegang teguh oleh siapa saja yang akan berbicara mengenai kitab suci ini. Al-qur`an sebagai “pesan langit” yang bersifat sakral memiliki kedalaman dan keluasan makna, ia perlu diterjemahkan dengan baik ke dalam “bahasa bumi” agar kemudian mampu diinternalisasikan dalam kehidupan nyata (membumikan al-Qur`an). Untuk menangkap pesan-pesan ilahiyah tersebut memerlukan bimbingan dari para ahlinya serta berbagai perangkat pengetahuan yang melingkupinya.

Nabi Muhammad saw. pernah memberikan peringatan keras bagi siapa saja yang berbicara tentang Al-Qur’an secara sembarangan:

مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ. (َرَوَاهُ التَرْمِذِيْ فِي جَامِعِهِ وَ قَالَ عَنْهُ: هَذَا حَدِيْثُ حَسَنٌ صَحِيْحٌ)

Barang siapa yang berkata  (menafsirkan)  Al-Qur’an tanpa ilmu maka dipersiapkan baginya tempat duduk dari Api neraka. (HR. Tirmidzi dengan derajat Hasan Shahih)

Dalam kajian Al-Qur`an berbasis hikmah, guru kami juga sering mengingatkan, bahwa dari 6.666 keterangan ayat al-Qur`an mayoritas objek kajiannya adalah pada diri, guna memperbaiki diri. Ketika al-Qur`an berbicara tentang kafir dan mukmin, maka jangan dengan mudahnya kita menyematkan cap kafir pada orang atau kelompok lain di luar kita, sementara dengan entengnya kita mengklaim diri kita terbebas darinya. Sebab mukmin dan kafir sejatinya dapat bersemayam dalam diri kita sebatang. Sifat kufur, ingkar tidak dapat terlepas pada diri manusia, pada saat sifat kufur itu dominan dan menguasai diri, maka pada saat itulah kita masuk dalam kelompok kafir (isim fa`il dari kata kufr). Demikian pula ketika berbicara tentang surga dan neraka. Maka jangan cepat kita mengkapling surga sebagai tempat berlabuh di kehidupan akhir kita, sementara neraka kita pastikan kepada mereka yang tidak sealiran, se-pemahaman dan segolongan dengan kelompok kita.

Pun demikian, ketika Allah swt. memberikan perumpamaan anjing yang suka menjulur-julurkan lidahnya bagi setiap orang yang mengikuti hawa nafsu dan mendustakan ayat-ayat Nya, yang Dia digambarkan pada QS. al-A`raf: 176 (bukan al-Isra` seperti yang di”dustakan” oleh SNR), maka dalam membaca dan mendekati ayat ini kita tidak bisa ceroboh dengan menyematkan perumpamaan ini kepada kelompok lain, dan seakan-akan kita terlepas dan terbebas dari peringatan Allah swt ini. Apalagi menjadikannya sebagai legitimasi penyematan nama binatang, (cebong, kampret dsb) pada keleompok tertentu. Bukankah ini malah menjadi bentuk “pemerkosaan” ayat untuk pemuasan nafsu dan hasrat semata ???

Boleh jadi, ayat ini hakikatnya adalah menyindir diri kita, yang seringkali mendustakan ayat-ayat Tuhan dalam diri. Suara kebenaran dalam diri seringkali diabaikan bahkan malah kita lebih mendengarkan bisikan nafsu sebagai bukti ketundukan diri pada unsur hawa nafsu,dunia setan (HNDS).

Filosofi sederhana yang sering diingatkan para guru, "tatkala satu jari telunjukmu menunjuk orang lain salah, orang lain sesat, kelompok lain buruk, maka ingatlah bahwa pada saat itu juga tiga jari lainnya menunjuk pada dirimu sendiri".

Begitulah contoh kebijaksanaan yang diajarkan oleh para guru sebagai bekal bagi santri-santrinya dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Semoga keberkahan guru-guru, keridhoan dan keluhuran ilmunya selalu menyinari kehidupan para murid-muridnya.

Salam takdzim untukmu wahai para guru

Oleh: Buhori

Pengurus Wilayah GP.Ansor Kalimantan Barat