Biografi Iyas bin Muawiyah Al-Muzani

 
Biografi Iyas bin Muawiyah Al-Muzani
Sumber Gambar: Ilustrasi (foto ist)

Daftar isi Biografi Iyas bin Muawiyah Al-Muzani

1.    Riwayat Hidup
1.1  Lahir
1.2  Wafat

2.    Pendidikan
2.1  Perjalanan Menuntut Ilmu

3.    Kisah-kisah
3.1  Ditunjuk Sebagai Syekh
3.2  Debat Tentang Minuman Keras

4.    Teladan
1.2  Qadli yang Bijak dalam Memecahkan Permasalahan

5.    Referensi

1. Riwayat Hidup

1.1 Lahir

Iyas bin Muawiyah Al-Muzani dilahirkan pada tahun 46 hijriyah di kawasan Yamamah, Najd. 

1.2 Wafat

Iyas bin Muawiyah Al-Muzani tidak diketahui secara pasti hari, tanggal, bulan, dan tahun kewafatannya karena minimnya sumber informasi.

2. Pendidikan

2.1 Perjalanan Menuntut Ilmu

Iyas bin Muawiyah Al-Muzani bersama keluarganya pindah ke Bashrah. Pada masa kecilnya beliau sudah bolak-balik ke Damaskus dan menimba ilmu kepada para sahabat agung yang masih hidup dan para pemuka Tabi’in.

Beliau sejak kecil telah menampakkan tanda-tanda kecerdikan dan kecerdasannya. Orang-orang mulai menjadikannya buah bibir dalam berita-berita dan hal-hal langka yang ada padanya padahal beliau masih anak kecil.

Diriwayatkan bahwa beliau pernah belajar ilmu hisab di sekolahan milik orang Yahudi dari golongan dzimmi. Lalu berkumpulllah orang-orang Yahudi di sisi sang guru. Mereka kemudian berbincang-bincang seputar masalah agama, sedangkan Iyas mendengarkan mereka dengan seksama tanpa disadari oleh mereka. Guru itu berkata kepada sahabat-sahabatnya (orang-orang Yahudi tersebut),“Apakah kalian tidak merasa heran terhadap orang-orang Islam yang mengklaim mereka bisa makan di surga tanpa membuang hajat (kotoran)!!

Lalu Iyas menoleh kepadanya sembari berkata, “Apakah anda mengizinkanku, wahai guru, untuk berbicara tentang apa yang kalian perbincangkan barusan?”

Guru itu berkata, “Ya, silahkan.” Maka anak muda ini berkata, “Apakah setiap apa yang dimakan di dunia keluar menjadi kotoran?” Guru berkata, “Tidak.”

Anak muda itu berkata lagi, “Lalu ke mana perginya makanan yang tidak ke luar itu.?” Guru itu berkata, “Pergi (hilang) dan menjadi makanan badan (gizi).”

Anak muda itu berkata lagi, “Lalu apa alasan pengingkaran kalian terhadap sebagian apa yang kita makan di dunia pergi (hilang) dan menjadi makanan badan (gizi) bahwa kelak di surga semuanya menjadi makanan badan?” Lalu guru itu mengangkat tangannya dan berkata kepadanya, “Sungguh engkau ini anak yang luar biasa!”

Usia anak muda ini semakin bertambah dari tahun ke tahun dan kecerdasannya terus mengalami kemajuan sehingga beritanya sampai kemana pun dia berada.

Diriwayatkan, bahwa saat memasuki Damaskus beliau masih anak kecil (belum mencapai usia baligh), lalu terjadi perselisihan pendapat antara dirinya dan seorang tua, penduduk Damaskus mengenai suatu hak. Ketika beliau tidak bisa meyakinkan orangtua tersebut dengan hujjah, maka diapun mengajaknya ke pengadilan.

Ketika keduanya telah berada di hadapan Qadli (hakim), Iyas bersikap keras dan mengeraskan suaranya terhadap lawannya tersebut. Lalu Qadli berkata kepadanya, “Rendahkan suaramu! wahai anak muda sebab lawanmu ini adalah seorang yang tua umur dan kedudukannya.”

Lalu Iyas berkata, “Akan tetapi, haq (kebenaran) lebih besar (tua) daripada dia.” Maka Qadli marah kepadanya dan berkata, “Diam!”

Anak muda itu berkata, “Lalu siapa yang menyampaikan argumentasiku jika aku diam?!” Maka Qadli semakin marah, dan berkata, “Sejak masuk majlis peradilan, Aku tidak melihatmu kecuali selalu mengucapkan kebatilan.”

Lalu Iyas berkata, “ La ilaha illallah wahdahu la syarikalah, apakah ini haq atau batil?”
Qadli terdiam dan berkata, “Haq, demi Tuhan Ka’bah, itu adalah haq.”

Anak muda al-Muzanni ini kemudian rajin menekuni ilmu dan menimbanya dengan sepuas-puasnya hingga sampai kepada derajat yang menjadikan para syekh tunduk kepadanya, mengikuti dan berguru di depannya, meskipun dia masih berusia muda.

3. Kisah-kisah

3.1 Ditunjuk Sebagai Syekh

Pada suatu tahun, Abdul Malik bin Marwan mengadakan kunjungan ke Bashrah sebelum dia menjadi khalifah, lalu beliau melihat Iyas yang waktu itu masih seorang pemuda belia dan belum lagi tumbuh kumisnya.

Abdul Malik melihat di belakangnya ada empat orang Qurra‘ (ahli baca al-Qur’an) yang berjenggot dan mengenakan pakaian hijau mereka (pakaian kebesaran orang alim) sementara Iyas ada di hadapan mereka. Lantas, Abdul Malik berkata,“Percuma dengan orang-orang berjenggot ini. Apakah di antara mereka tidak ada syekh yang mengetuai mereka.? Maka merekapun menyodorkan anak muda ini.

Kemudian Abdul Malik menoleh kepada Iyas seraya berkata,“Berapa umurmu wahai anak muda.?”

“Umurku -mudah-mudahan Allah memanjangkan umur Amir (yang menjabat saat itu), seusia dengan umur Usamah bin Zaid ketika Rasulullah SAW, mengangkatnya sebagai panglima perang yang di dalamnya ikut serta Abu Bakar dan Umar (Waktu itu umur Usamah belum sampai dua puluh tahun)” Katanya.

Abdul Malik berkata,“Maju…Majulah wahai anak muda, semoga Allah memberkati kamu.”

Dan pada suatu tahun yang lain, orang-orang sedang ke luar untuk melihat bulan sabit awal Ramadhan dan yang memimpin mereka adalah seorang sahabat agung, Anas bin Malik al-Anshari yang pada waktu itu sudah lanjut usia mendekati seratus tahun.

Orang-orang melihat ke langit dan mereka tidak melihat tanda apa-apa. Akan tetapi,  Anas bin Malik mulai mengamati langit dan berkata,“Aku sungguh melihat bulan…nah itu dia.” sembari menunjuk ke arah bulan sabit teresbut dengan tangannya namun orang-orang tidak melihat apa-apa.

Ketika itu Iyas melihat Anas bin Malik RA, ternyata ada sehelai rambut panjang menempel di alisnya dan menggantung di depan matanya. Maka Iyas pun dengan soapn minta permisi dan mengulurkan tangannya ke arah sehelai rambut tersebut, lalu mengusapnya dan meratakannya, kemudian berkata kepada Anas, “Apakah anda masih melihat bulan sabit itu sekarang wahai sahahabat Rasulullah?”Lalu Anas melihat-lihat lagi seraya berkata,“Tidak, aku tidak melihatnya lagi, aku tidak melihatnya lagi.”

3.2 Debat Tentang Minuman Keras

Berita kecerdasan Iyas semakin santer dan menyebar, maka orang-orang berdatangan kepadanya dari berbagai penjuru dan menumpahkan segala permasalahan mereka yang berkenaan dengan ilmu dan agama kepadanya. Sebagian mereka memang ingin mencari ilmu dan sebagian yang lain hanya ingin menjatuhkan dan mengajaknya berdebat kusir secara batil.

Di antara kisah itu, dikisahkan bahwa ada seorang pejabat besar suatu kawasan datang ke majlisnya, lalu berkata,“Wahai Abu Wa‘ilah, apa pendapatmu tentang minuman keras?”Iyas menjawab, “Haram”

Pejabat itu berkata, “Apa alasan keharamannya padahal ia hanyalah berupa buah-buahan dan air yang dimasak di atas api dan semua itu adalah boleh-boleh saja, tidak apa-apa.”

Iyas berkata, “Apakah sudah selesai bicaramu, wahai sang pejabat atau masih ada yang nantinya ingin kau utarakan?”

Pejabat itu berkata, “Ya, sudah itu saja.”Lalu Iyas berkata,“Seandainya aku mengambil segenggam air lalu aku pukulkan ke tubuhmu, apakah itu akan menyakitimu?”Pejabat itu berkata, “Tidak.”

“Seandainya aku mengambil segenggam pasir lalu aku pukulkan ke tubuhmu, apakah itu akan menyakitimu,?” Katanya lagi. Pejabat itu berkata, “Tidak.”

“Seandainya aku mengambil segenggam lumpur, lalu aku pukulkan ke tubuhmu, apakah itu akan menyakitimu,?” katanya lagi. Pejabat itu berkata, “Tidak.”

“Seandainya aku mengambil pasir lalu aku lapisi dengan lumpur lalu aku siram air, lalu aku aduk-aduk, kemudian aku jemur kumpulan adukan itu di bawah terik panas matahari hingga kering, kemudian aku pukulkan itu ke tubuhmu, apakah itu akan menyakitimu,?” katanya lagi. Pejabat itu berkata, “Kalau itu, ya, bahkan bisa membunuhku!.”

Lalu Iyas berkata,“Begitulah dengan khamar; ketika bahan-bahannya disatukan dan diragikan, maka haram hukumnya.”

4.         Teladan
4.1       Qadli yang Bijak dalam Memecahkan Permasalahan

Ketika Iyas menjabat sebagai Qadli, banyak tampak jelaslah beberapa sikapnya yang menunjukkan kecerdasanya yang memang demikian berlebihan, keluasan wawasannya dan kemampuannya yang luar biasa di dalam menyingkap kenyataan.

Di antara contohnya, bahwa ada dua orang laki-laki yang berhakim kepadanya. Salah satunya mengklaim telah menitipkan uang kepada sahabatnya itu namun ketika dia memintanya, sahabatnya itu mungkir. Lalu Iyas bertanya kepada si tertuduh (terdakwa) tentang titipan itu tetapi orang itu pun mengingkarinya seraya berkata, “Bila sahabatku yang menuduhku itu memiliki bukti, maka silahkan dia menghadirkannya. Bila tidak, berarti aku tinggal bersumpah saja.”

Manakala Iyas khawatir orang itu memakan harta dengan sumpahnya, maka dia menoleh ke arah orang yang menitpkan (si pendakwa) sembari berkata kepadanya, “Di mana anda menitipkan uang kepadanya?”

Orang itu menjawab, “Di tempat anu.” Iyas berkata, “Benda apa yang ada di tempat itu?”
Orang itu menjawab, “Pohon besar, waktu itu kami duduk-duduk di bawahnya dan makan-makan bersama di bawah naungannya. Ketika kami ingin pulang, aku menyerahkan uang itu kepadanya.”

Iyas berkata lagi kepadanya, “Pergilah ke tempat yang ada pohonnya itu, barangkali jika kamu telah sampai di sana, kamu akan teringat di mana kamu menaruh uang dan apa yang kamu lakukan dengannya. Kemudian temui aku lagi untuk menyampaikan apa yang kamu lihat.”
Maka orang itu berangkat menuju tempat tersebut sedangkan Iyas berkata kepada si terdakwa,
“Duduklah, sampai temanmu itu datang.”

Lalu orang itu pun duduk. Kemudian Iyas menoleh ke arah orang-orang lain yang memiliki perkara, dan mulai memutuskan perkara mereka sambil melirik secara diam-diam ke arah si terdakwa itu. Hingga ketika dia melihatnya sudah dalam kondisi diam dan tenang, dia menoleh ke arahnya seraya bertanya kepadanya lagi dengan secara tiba-tiba, “Menurut perkiraanmu, sahabatmu itu telah sampai ke tempat dia menyerahkan uang kepadamu itu atau belum.?” Maka orang itu menjawab tanpa berpikir terlebih dahulu, “Tentu belum sebab tempat itu amat jauh dari sini.” jawabnya tanpa berpikir panjang.

Ketika itu, Iyas berkata kepadanya, “Hai musuh Allah, kamu mengingkari telah menyimpan harta itu padahal mengetahui dimana kamu mengambil uang itu? Demi Allah, sungguh kamu ini seorang pengkhianat.!”

Orang itupun bungkam dan mengaku pengkhianatan yang telah dilakukannya. Lalu Iyas menahannya sampai pemiliknya itu datang dan menyuruhnya supaya mengembalikan titipan tersebut kepada pemiliknya.

Contoh lainnya, diriwayatkan bahwa ada dua orang laki-laki saling berselisih kepadanya mengenai dua potong bahan beludru yang yang biasa dipasang ke atas kepala dan disampirkan ke kedua pundak. Salah satunya berwarna hijau, baru dan mahal dan yang satu lagi berwarna merah namun lusuh.

Si pendakwa (penuduh) berkata,“Pada waktu itu, aku pergi ke telaga untuk mandi, lalu aku meletakkan beludru hijauku bersama pakaianku di pinggir kolam, lalu datanglah orang ini dan meletakkan beledrunya yang berwarna merah di samping milikku, kemudian dia juga turun ke telaga dan ke luar sebelumku. Dia mengenakan pakaiannya dan mengambil beledru milikku lalu mengenakannya ke kepala dan kedua pundaknya. Setelah itu, dia pergi membawanya. Selanjutnya, aku keluar juga dan menyusulnya seraya meminta beledru milikku itu. Akan tetapi, dia malah mengklaim bahwa itu adalah miliknya.”

Lalu Iyas berkata kepada si tersangka,“Apa jawabmu?” Orang itu berkata, “Ini adalah beledru milikku dan sudah berada di tanganku.” Iyas berkata kepada si pendakwa, “Apakah kamu memiliki bukti?”

Orang itu menjawab, “Tidak.” Lalu Iyas berkata kepada penjaga pintu rumahnya, “Ambilkan sisir untukku.!”

Lalu sisir dihadirkan untuknya, kemudian Iyas menyisir rambut kedua orang itu, maka keluarlah dari kepala salah satunya bulu (serbuk) berwarna merah dari rontokan bulu bahan beledru, dan dari kepala yang lainnya keluar bulu (serbuk) berwarna hijau. Setelah itu, Iyas memutuskan bahwa beledru berwarna merah untuk orang yang di rambutnya ada bulu (serbuk) merah itu dan beledru hijau untuk orang yang di rambutnya ada bulu (serbuk) hijau. (mengingat biasanya serbuk dari bahan itu suka menempel)

5. Referensi

1. Akhbaru al-Qudlat karya Waki’, h.312-374.
2. Syarh al-Maqamat karya asy-Syuraisyi: 1/113-115.3
3. Al-Bayân wa at-Tabyin karya al-Jahizh, Jld.I, h.56
4. Al-‘Iqd al-Farid karya Ibnu ‘Abdi Rabbih,
5. Hilyah al-Awliy karya Abu Nu’aim, Jld.III, h.123 dan setelahnya.
7. Wafayat al-A’yan karya Ibnu Khalakan, Jld.I, h.247 dan setelahnya.
7. Tsimar Al-Qulub karya at-Tsa’alabi, h.92-94.

 

Lokasi Terkait Beliau

    Belum ada lokasi untuk sekarang

List Lokasi Lainnya