Relasi Dzikir dan Kualitas Kemanusiaan

 
Relasi Dzikir dan Kualitas Kemanusiaan
Sumber Gambar: Freepik, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Dzikir adalah inti dari penghambaan. Secara etimologis dzikir bermakna mengingat. Berikutnya, makna dzikir digunakan secara etimologis sebagai sebuah rangkaian upaya yang dilakukan oleh seorang hamba agar selalu terhubung kepada Allah SWT.

Dalam Al-Qur'an disebutkan, fadzkuruni adzkurkum (ingatlah kepadaku, maka akan aku ingat kamu). Ayat tersebut erat kaitannya dengan persoalan dzikir, di mana fungsi dzikir adalah menjaga keterhubungan yang saling menguatkan antara hamba dengan Tuhannya. Begitu seorang hamba mengingat Allah, maka Allah akan membalas dengan mengingat hamba tersebut, begitu juga berlaku sebaliknya.

Pada pemahaman berikutnya, mengingat Allah (dzikrullah), semestinya adalah proses yang terus berjalan tanpa henti sepanjang hayat kehidupan manusia. Karena konsekuensi dari melupakan Allah akan berakibat pada ketidak-hirauan Allah terhadap manusia. Persoalan tidak dihiraukan Tuhan adalah persoalan yang serius, dapat menggagalkan fungsi indenitas kemanusiaan.

Dzikir itu ibarat hubungan sinyal dengan handphone. Tanpa sinyal maka fungsi handphone sama dengan sekadar handphone mainan, tidak dapat digunakan untuk berkomunikasi dan melakukan fungsi lainnya. Hanya elegan dan memukau dalam pandangan.

Begitulah manusia tanpa dzikir, dia hanya gelondongan daging berbalut busana. Pamer kesana kemari, namun tidak memiliki fungsi kemanusiaan. Namun sebaliknya, bagi mereka yang terus berada dalam dzikrullah dia akan selalu berada di puncak kualitas kemanusiaan yang tinggi.

Intinya dzikir adalah bagian dari upaya meningkatkan kualitas kemanusiaan. Makin sering dan lekat dzikir pada kehidupan kita, maka makin tinggi kualiatas kemanusiaan kita. Sehingga kita akan menjadi manusia yang peka pada persoalan kemanusiaan. 

Dengan demikian, indikator dzikir bukan hanya terletak pada seberapa sering seseorang melafadhkan kalimat dzikir. Indikator itu ada pada sikap kemanusiaan. Berkata dan berbincang-bincang yang baik-baik, jujur, tidak menabar hoak dan tidak mencemooh bisa jadi adalah bentuk dzikir  dalam kehidupan nyata. Sudah sampai manakah dzikir kita? Mari introspeksi. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 24 Februari 2019. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Penulis: Ach Tijani (Dosen IAIN Pontianak)

Editor: Hakim