Hukum Akal dan Dalil Akal

 
Hukum Akal dan Dalil Akal

LADUNI.ID - Dalam pembahasan tauhid, dikenal yang namanya hukum akal. Ini berbeda dengan hukum taklifi berupa wajib, sunnah, mubah, makruh atau haram itu. Hukum akal maksudnya suatu putusan yang murni ditentukan berdasar proses nalar saja. Hukum akal ini sederhana sebab hanya ada tiga, yaitu pasti ada, mustahil ada dan bisa saja ada atau tak ada. Ketiganya hanya bicara soal keberadaan, bukan hal baik buruk atau benar salah.

Hukum "pasti ada" dikenal dengan istilah "wajibul wujud". Putusan hukum ini berlaku bagi sesuatu yang menurut akal pasti ada dan mustahil tak ada. Misalnya bangku kotak di taman pasti ada yang membuat, merancang bentuk kotaknya dan meletakkan di taman. Meski tak tahu siapa itu, tapi pasti ada yang melakukannya. Demikian uga dengan keberadaan Tuhan adalah pasti ada sebab semesta ini pasti ada yang merancang.

Hukum "mustahil ada" biasa disebut sebagai hukum mustahil. Mustahil di sini bukanlah secara adat kebiasaan tetapi secara akal, yang berarti betul-betul tak mungkin terjadi kapan pun di mana pun dalam kondisi apapun. Misalnya: mustahil ada bilangan yang ganjil sekaligus genap dan mustahil bola basket berukuran normal bisa masuk ke dalam lubang jarum jahit berukuran normal. Adapun keberadaan manusia terbang, semut seukuran mobil, gagak berwarna putih dan semacamnya bukan sesuatu yang secara akal mustahil, tapi sekedar sesuatu yang biasanya tak ada.

Hukum "bisa ada dan bisa tidak" dikenal dengan istilah hukum jaiz. Ini adalah putusan hukum akal yang paling banyak yang menyangkut keberadaan sesuatu yang tak harus ada tapi juga tak harus tak ada. Ia bisa saja ada dan bisa juga tak ada tanpa konsekuensi apapun secara akal. Misalnya: adanya perang di Indonesia, adanya gedung setinggi awan, adanya mobil terbang dan seterusnya yang bisa saja terjadi dan bisa juga tak terjadi. Ingat, ini tak menyangkut baik buruk dan benar salah, hanya menyangkut keberadaan.

Itulah yang dinamakan hukum akal. Sederhana tapi bisa juga rumit, terutama bila sudah menyangkut ketuhanan. Misalnya keberadaan tempat bagi Tuhan, sebagian orang menganggapnya jaiz alias bisa saja Tuhan punya tempat bagi Dzat-Nya sebagaimana seluruh materi pasti bertempat. Ini adalah keyakinan para Mujassimah. Adapun Ahlussunnah Wal Jama'ah memastikan bahwa mustahil Allah bertempat sebab Allah sudah ada sebelum adanya semua tempat sehingga sama sekali tak punya keterikatan dengan keberadaan tempat, bahkan ketika tempat sudah Allah ciptakan.

Demikian juga dengan keberadaan jisim (sosok tubuh 3 dimensi) bagi Allah. Mujassimah meyakini itu hal pasti ada sebab bagi mereka kalau tak ada jisim berarti tak ada apapun. Sedangkan sebagian musyabbihah mengatakan jisim adalah hal jaiz sehingga tak dinafikan dan tak juga ditetapkan. Bagi mereka tak masalah bila Allah berupa jisim tetapi mereka tak mau menetapkannya secara verbal dan tak juga mau menafikannya secara verbal. Yang begini ini adalah posisi jaiz yang hanya berbeda sedikit dalam prakteknya dengan para mujassimah. Adapun Ahlussunnah wal Jama'ah memastikan bahwa keberadaan jisim bagi Allah adalah sesuatu yang mustahil sebab secara akal seluruh jisim pasti ada yang merancang dan membentuknya, dan ini mustahil berlaku bagi Tuhan.

Soal ayat atau hadisnya, itu semua mengekor pada hukum akal yang terlanjur tertanam di kepala masing-masing orang. Meskipun pada orang bodoh bahkan terbelakang sekalipun, kemampuan memahami hukum akal ini berpengaruh pada pemahaman yang ia dapat dari bacaan yang dibaca atau dari berita yang ia dengar. Tak peduli ia paham istilah "hukum akal" atau tidak, sama saja pikirannya secara otomatis membentuk hal ini, baik kesimpulannya benar atau salah.

Sekarang kita beralih pada dalil akal. Yang disebut dalil akal adalah sebuah pernyataan yang pasti benar atau pasti salah secara akal. Keduanya berkaitan dengan hal yang pasti-pasti saja. Ini terkait dengan hukum akal di atas. Misalnya ada yang berkata bahwa jumlah ganjil ditambah satu akan menjadi genap, maka ini pasti benar. Atau ada yang berkata bahwa ada anak yang lahir lebih dulu dari bapaknya, ini pasti salah. Kepastian benar dan salahnya murni ditentukan oleh akal. Dalil akal ini adalah pondasi dari akidah sebab tanpanya kebenaran Rasul takkan diakui.

Adapun pernyataan yang bisa jadi benar dan bisa jadi salah, maka bukan dalil akal. Ia disebut sebagai "khabar" atau statemen biasa. Bila ada yang berkata bahwa ada orang yang tak terbakar dalam api, maka bisa jadi itu benar dan bisa jadi itu tak benar. Hanya saja biasanya tidak benar sebab lumrahnya orang akan terbakar dalam api, namun tak harus demikian. Bisa saja ada yang betul tak terbakar, seperti Nabi Ibrahim misalnya. Demikian juga untuk hal lainnya yang bersifat berita.

Nah dari sini anda tahu betapa lucu ketika ada seorang ditanya tentang benar tidaknya Islam Nusantara, misalnya, lalu ia bertanya ke orang-orang mereka setuju atau tidak terhadap Islam Nusantara? Lalu jawaban orang-orang itu dianggap sebagai dalil aqli (dalil akal) yang bisa memvonis Islam Nusantara. Itu sama sekali tak ada hubungannya dengan akal. Itu hanyalah opini, bukan dalil. Justru opini itu yang perlu dipertahankan dengan dalil, bukan malah opini dijadikan dalil.

Opini dijadikan dalil adalah akal-akalan. Jenis ini bukan dalil sebab tak punya nilai kebenaran namun dibuat seolah dalil agar orang tertipu. Misalnya pernyataan:

"Kalau bumi itu bulat, tentu kita akan jatuh".
"Kalau kami tak setuju berarti itu tak baik".
"Karena kecelakaan itu hari Rabu berarti Rabu hari sial"
"Karena dia bersama orang jahat, berarti dia juga jahat"
"Kalau berdoa di kuburan berarti menyembah kuburan"

Dan pernyataan semisal itu yang sebenarnya adalah opini salah yang justru butuh dalil tetapi malah diangkat seolah ia dalil itu sendiri.

Semoga bermanfaat.

Oleh : Abdul Wahab AHmad 

 

 

Tags