Sastra Indonesia, Mengapa Tidak Mendunia?

 
Sastra Indonesia, Mengapa Tidak Mendunia?

LADUNI.ID - Tema di atas, selain menjadi judul, juga ingin mencari jawaban, "Mengapa"?. Pertanyaan ini dimunculkan oleh Azhar Ibrahim, Ph.D. Dosen NUS (National Universty of Singapore), ketika menyampaikan seminar tetang, "Mendekati Sastra Indonesia: Persaingan Ideologi, Pergerakan dan Intelektualisme" yang diselengarakan oleh Fakultas Humaniora UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.

Yang paling saya ingat, ketika ia mencoba menguraikan beberapa pemikirannya tentang perkembangan Sastra Indonesia dan tidak adanya gaung di pentas dunia, adalah; 1) Kebanyakan sastra Indonesia tidak mengangkat tentang kemanusiaan, kecuali beberapa saja. 2) Para penelitinya, lebih mementingkan teori/prespektif dari luar, dari pada mengungkit dan mengangkat masalah yang ada di Indonesia, seakan-akan belajar teori bukan isi dari yang dikaji. 3) Jarang karya sastra Indoensia diterjemah keberbagai bahasa Asing, terutama Inggris, kecuali beberapa saja.

Menurut Dosen Sastra Indonesia di Singapur ini, Bahwa Sastra Indonesia sebagai Sastra Duniabila membincang 1) Pergolakan manusia dalam sejarah – menempuh tahap sejarah; feudalism, kolonialisme, nasionalisme, globalisme, 2) Perkembangan negara dan masyarakat membangun – kemiskinan, kelas menengah, demokratisasi, autoritarianisme, 3) Pemikiran dunia Islam – persaingan dalam dan pengaruh luar; tradisionalisme, reformisme, revivalisme. Ini sebenarnya bisa menjadi kunci Sastra Indonesia untuk lebih dikenal di Dunia.

Azhar Ibrahim, selain dosen di NUS dan Lulusan Swiss ini, ia juga penggiat Sastra Indonesia di Asia tenggara, dan mungkin satu-satunya dosen Sastra Indonesia di Singapore. Ia sangat mengagumi Indonesia dan sastranya, karena selain kekayaan budayanya, juga pengalan kesusastraannya yang sudaj cukup lama. Maka, sastra Indonesia penting untuk dipelajari, dengan;1) Mengenali dan menilai pemikiran dalam ranah budaya, tentang manusia, masyarakat, politik, ekonomi, agama, tradisi, 2) Meninjau pengungkapan estetis dengan eksplorasi bentuk, gaya, bahasa, 3) Memahami gaya pemikiran dan gaya kesenian yang menpengaruhi, yang tersudut dan yang tak-terfikirkan, 4) Mensejajarkan letaknya sastra Indonesia dengan sastra dunia yang lain; secara komparatif guna menilai tingkat kemanusiaan kita (Azhar, pp).

Bapak Azhar juga menyampaikan tentang beberapa sastrawan Indonesia yang dikenal dunia, juga membincang tentang sastra dan polemik budaya, juga tentang sejarahnya mulai dari; 1900-1940 dari 1) Hikayat ke novel - Pemantapan genre novel , - novel yang mengungkap naratif tentang masyarakat sekaligus sebagai kritikan tentang apa yang berlangsung dalam masyarakat, 2) Juga disaksikan lahirnya Puisi modern yang menjangkaui syair dan pantun - “lahir” dari pena ilham , cth. Muhamad Yamin, Sanusi Pane, Rustam Effendi, 3) Keindividuan baru walaupun bentuknya masih belum terlepas penuh dari langgam lama, 4) Paling ketara ialah - Kelahiran kesadaran kelompok dan nasionalisme Indonesia sebagai anak bangsa yang terjajah. (Azhar)

Dan perkembangan selanjutnya adalah:
1) Sastra Peranakan Tionghua (Cina-Melayu); Sastra daerah (Jawa/Sunda); Sastra Melayu Tinggi (Sumatra) – Sastra Golongan Kiri, 2) Permulaan kritik sastra - Muncul debat sastra, seni dan budaya, 3) 1920an-30an – Monopoli penulis dari Sumatra – juga pertama kali inteligensia Jawa tampil menulis dalam bahasa Melayu cth Mas Marco Kartodikromo dan Semaoen. Dan perkembangan sastra Indonesia setelahnya.

Menariknya, selain ia banyak memahami tentang sastra Indonesia, ia juga mengkritisinya, dan hal tersebut saya jarang melihatnya di forum- forum Sastra Indonesia.

Oleh: Halimi ZUhdy

Dosen Sastra Arab UIN Malang