Tadabbur Kebangsaan dalam Kitab ‘Idzatun Naasyi’in

 
Tadabbur Kebangsaan dalam Kitab ‘Idzatun Naasyi’in

LADUNI.ID - Dulu, nama Syekh Musthofa al-Ghalayini saya kenal tak lebih sekadar penulis dari beberapa kitab-kitab kebahasaan dan kesusastraan Arab. Karya-karya beliau seputar kebahasaan memang banyak dan masuk daftar dari sekian kitab gramatikal Arab yang bisa membuat santri menjadi liar seliar-liarnya dalam mengeksplor wawasan penguasaannya terhadap Bahasa Arab. Seperti Kitab Jami’ addurus al-Arabiyyah sebuah kitab yang sangat tebal memuat rangkuman-rangkuman pembahasan seputar nahwu-shorof dengan detil komprehensif.

Yang membuat kitab ini kurang baik bagi seorang pemula belajar Nahwu-shorof, oleh karena di dalamnya turut serta didisplay pembahasan dan pandangan ulama lain yang kadang kala terlihat kontradiksi satu sama lain. Namun, bagi mereka yang sudah lulus belajar kita-kitab primer dari dasar, mengkaji Jami’ addurus-nya Syekh Musthofa al-Ghalayini ini tentu dapat menambah wawasan kebahasaan dan kesusastraan Arab.

Namun, beberapa tahun terakhir saya mengenal salah satu karya tulisan beliau yang lain, sebuah kitab yang tidak berbicara tentang kaidah-kaidah nahwu shorof atau sastra Arab, tetapi sebuah kitab yang berbicara tentang akhlaq, adab dan sosial kemasyarakatan.  Kitab ini diberi nama ‘Idzatun Naasyi’in dalam bahasa Indonesia biasa diartikan “Nasehat bagi Anak-anak Muda”.

Untuk kitab-kitab akhlaq berbahasa Arab, kitab ini termasuk langka dipelajari di pesantren-pesantren yang ada di Kalimantan Barat. Setidaknya kesimpulan ini berangkat dari hasil survei kecil saya di Pesantren sendiri. Banyak dari santri yang ketika saya tanya “kenal ndk sama kitab ‘Idzatun Naasyi’in?Hampir semua responden bersarung itu menjawab tak kenal. Di pesantren-pesantren khususnya Kalimantan Barat lebih spesifik lagi Pontianak kitab akhlaq yang dipelajari untuk tingkat pemula tak jauh dari Akhlaqul Banin wal BanatTaisirul KhollaqTa’limul Muta’allim dan paling tinggi nanti akan bertemu dengan kitab-kitab tasawuf akhlaqi Imam al-Ghazali seperti Minhajul Abidin dan Ihya Ulumiddin. Untuk kitab yang terakhir sepertinya juga tak banyak pesantren yang mengkajinya secara rutin.

Karena langka, inilah salah satu alasan tulisan ini dibuat. Pertama untuk mengenalkan kepada mereka siapa Syekh Musthofa al-Ghalayini dan kedua untuk menjawab pertanyaan mengapa kitab beliau yang terakhir ini penting untuk kita setidaknya koleksi dan untung-untungan bisa dikaji seraya di-tabarruk-i?

Mengenal Syekh al-Ghalayini

Sohibu hadzal kitab, adalah seorang jurnalis, ahli hukum, penceramah, pakar bahasa dan juga sastra. Dilahirkan di Beirut pada tahun 1886 M / 1303 H, keluarganya merupakan keturunan al-Fawayid, salah satu suku dari Huwaithat yang tinggal antara ‘Aqabah dan sebagian Hijaz.

Syaikh al-Ghalayini mendapatkan pendidikan pertamanya melalui halaqah-halaqah yang dibuka oleh para ulama di Jami Al Umry di Beirut. Beliau belajar kepada syaikh Muhyiddin Al Khayyath, Syaikh Abdul Bashith Al Fakhury, dan syaikh Shalih Rifa’i Al Tharabalsy.

kemudian al-Ghalayini pindah ke Mesir, terdaftar sebagai mahasiswa di Jami’ al-Azhar asy-Syarif beliau menimba dari para ulama di sana. Di antaranya adalah Syaikh Sayyid bin Ali al-Murshafy, Syaikh Muhammad Abduh – mufti negara Mesir – serta banyak ulama lainnya yang ahli dalam bahasa Arab dan ilmu Syariat.

Tak lama kemudian Al Ghalayini kembali ke Beirut dan menetap ke Jami Al Umry, setelah beliau menerbitkan kumpulan tulisannya yang berjudul ‘Al Ahram Al Mishriyyah’ (Piramid-Piramid Mesir) yang berisi gagasan-gagasannya tentang perbaikan sistem pengajaran di Al Azhar Al Syarif. Setelah itu beliau bergabung dengan pengajar Universitas Utsmaniyyah.

Karya beliau begitu banyak yang meliputi sastra, bahasa bahkan hukum, sosial dan salah satunya kitab ‘Idzatun Naasyi’in ini. Sebuah kitab yang awalnya berupa tulisan-tulisan beliau yang tersebar di surat kabar harian “al-Mufid” pada rubrik yang bernama sebagaimana judul kitab ini kemudian hari.

Belajar kebangsaan dari Syekh al-Ghalayini

Demikian biografi singkat beliau, saatnya kita beranjak ke salah satu pembahasan yang disajikan di dalam kitab ini. Salah satunya isu kebangsaan atau nasionalisme, dalam bahasa Arab dikenal dengan nama “al-Wathaniyyah”. Istilah ini semakin tidak asing di tengah semakin merebaknya isu tentang perpecahan yang potensial meretakkan wadah bangsa. Isu-isu politik yang kian memanas mengambil peran penting di balik fenomena itu semua.

Sebelum memasuki pembasahan beliau, saya cuma mengingatkan bahwa pilihan bahasa dan pola rangkaian yang digunakan oleh al-Ghalayini sangatlah menawan, ini mungkin alasan kenapa membaca teks asli terasa lebih nikmat daripada terjemahan. Kepakaran beliau dalam ilmu bahasa telah memikat (minimal saya) ketika baris demi baris kita baca.

Baiklah, sewaktu-waktu kita memang perlu merasakan nikmatnya ngopi sambil ondehoi di Starbuck, namun jangan karena di sana terlalu mahal lantas kita tidak ngopi sama sekali. Dengan bahasa lain, mari kita mulai menjelajahi pituah kebangsaan yang diberikan oleh al-Ghalayini dalam kitabnya ini tepat halaman 81 versi Percetakan Raja Murah, Pekalongan. Berikut terjemahnya :

Sungguh daku terkagum-kagum pada seseorang yang selalu mengaku nasionalis, yang menyangka bahwa dirinya telah menumbalkan darah dan harta demi negerinya, kemudian kalian melihat bahwa ternyata dia sangatlah besar sikap merusaknya terhadap benteng-benteng bangsa dengan kelaliman yang selalu dia lakukan”.

Penggalan di atas adalah paragraf pertama dalam pembahasan beliau tentang wathoniyyah. Di tengah kerasnya jargon nasionalisme yang didengungkan oleh sebagian kalangan demi semboyan yang sangat kuat, singkat dan substansial seperti “NKRI Harga Mati” dan lain-lain, kita seakan disuruh bertanya oleh Syekh Musthofa al-Ghalayini, sudah nasionaliskah kita hanya? Jika hanya jargon yang demikian kita dendangkan dari majlis salawat sampai ke toilet, namun tanpa disadari ternyata kita ambil bagian pula dalam merusak sendi-sendi kebangsaan seperti keadilan dan lain-lain.

Para koruptor itu jika disuruh teriak sok nasionalis mereka paling jago, sebelum korupsi bisa jadi dia adalah sosok yang selalu diundang dalam event-event dialog menjenuhbasikan ala organisasi kemahasiswaan hari ini. Mereka jago sampai “jungkir balik” ketika berbicara tentang nasionalisme, kebangsaan dan ngecap saat sosialisasi empat pilar kebangsaan. Namun, setelah duduk di kursi pesakitan sebag terdakwa, nasionalisme yang dulu dikoarkan tak ubahnya kerupuk, ketika plastik dibuka, lemau-pun tiba. Ingat kasus” tiang listrik” tak berdosa kan?

“Tidaklah setiap orang yang mengaku bahwa dia nasionalis benar-benar sosok yang demikian nasionalis-nya. Hingga kau melihatnya bekerja untuk negeri ini dengan apa yang mampu menghidupkannya. Memberikan apa yang dia kuasai serta bersedia berhina ria dalam mencapainya demi negeri. Berlari dengan mereka yang senada guna meninggikan kedudukan negerinya serta berusaha bersama mereka yang sudi untuk menjaga identitas dan eksistensi negeri”.

Paragraf kedua ini, al-Ghalayini menjelaskan hal yang penting dari nasionalisme melebihi jargon-jargon itu, yakni sumbangsih dan kerja nyata guna menghidupkannya. Selain itu, wujud dari kecintaan terhadap negeri (nasionalisme) juga berbentuk kesediaan memberikan segala apa yang dimiliki, ilmu, materi dan tenaga yang layak didarmabaktikan bagi negeri. Pada paragraf ini, kita melihat al-Ghulayini sangatlah berapi-api ketika menganjurkan agar semua orang yang ada di dalam negeri saling bahu-membahu guna menjaga identitas dan keberadaan suatu negeri.

“Adapun dia yang senantiasa berlari guna melemahkan kekuatan dan memecahbelah pertolongan, maka sesungguhnya dia bergerak sangat jauh meninggalkan esensi nasionalisme itu sendiri. Walaupun ia berteriak, dan suaranya menggema hingga masuk seluruh penjuru negeri seraya berkata kepada rakyat : “aku seorang yang sangat nasionalis lagi tulus”

Nah, sebagaimana dijelaskan di muka, nasionalisme bukan sebuah jargon yang kosong yang darinya diukur sejauh mana rasa kebangsaan seseorang, tetapi dia adalah sebuah makna yang harus hidup di masyarakat. Jika kita seorang petani, maka wujud nasionalisme kita adalah rasa tanggungjawab dalam menjalankan peran ke-petani-an itu. begitu seterusnya. Pada intinya, mungkin sejenak kita harus menutup telinga dari teriakan orang-orang yang sok nasionalis, jika kerjaannya adalah justru merusak layaknya borok. 

Oleh: M Hasanie Mubarok

Aktivis PMII IAIN Pontianak