Ideologi yang Tertukar

 
Ideologi yang Tertukar

LADUNI.ID - Beberapa hari terahir, jagad media sosial diramaikan oleh hasil bahtsul masail NU tentang reinterpretasi brilian penyebutan istilah "kafir" bagi penganut agama selain Islam dalam bingkai negara bangsa Indonesia. Ada yang tidak paham lalu menggoreng, ada yang paham lalu mengkritik, dan ada yang paham lalu mengapresiasi.

Saya tidak masuk pada inti argumen para intelektual NU yang brilian itu, karena saya yakin argumen mereka sudah cukup bagi mereka yang tidak paham tetapi ingin memahaminya. Argumen mereka tidak cukup bagi mereka yang paham apalagi tidak paham yang sebenarnya sekedar utk menggorengnya agar NU menjadi jelek seperti kasus bendera HTI.

Saya hanya mengamati betapa para intelektual NU yang oleh Deliar Noer dimasukkan sebagai organisasi tradisional justru melampaui gagasan modern manapun di dunia. Pemikiran ini tidak pernah terbayangkan oleh intelektual manapun, kendati beberapa sarjana telah melakukan reinterpretasi terhadap istilah kafir seperti Izutsu. Yang tidak terbayangkan adalah ketika istilah itu dibawa ke dalam konteks negara bangsa terutama Indonesia.

Gagasan ini tidak lepas dari pandangan kebangsaan NU yang menganggap NKRI sebagai bentuk final dan sejalan dg Nilai-nilai islam.

Para intelektual NU yang lahir dari lembaga pendidikan tradisional pesantren ini melampaui pemikiran para intelektual muslim yang lahir dari lembaga pendidikan modern semacam Gontor dan organisasi modern seperti Muhammadiyah. Bahkan, beberapa lulusan kedua lembaga yang berlabel modern ini mulai mengambil alih ideologi NU tahun-tahun awal berdirinya sebelum perahu warga nahdiyyin ini dinahkodai Gus Dur. Disinilah hukum sejarah.

Mereka yang menamakan dirinya modern pada tahun-tahuan 60 atau 70-an menjadi sangat tradisional untuk saat ini karena mereka mempertahankan ideologi modern klasiknya itu dalam dunia yang sudah melampaui modern atau postmodern.

Sebaliknya, para imtelektual NU tidak hanya mengadopsi gagasan modern, tetapi juga gagasan kontemporer, sehingga mereka secara kokoh menyongsong dunia postmodern. Inilah yang membuat hasil bahtsul masail ini menjadi sangat brilian.

Munculnya reaksi berlebihan terhadap gahasan ini mencerminkan dua hal: para intelektual NU samgat brilian, dan sebaliknya, mereka yang mereaksinya menunjukkan mereka mulai ketinggalan kereta Islam berkemajuan.

Oleh: Dr Aksin Wijaya

Dosen Pascasarjana IAIN Ponorogo