Pengrajin Bidai dan Tikar di Perbatasan Terancam Punah

 
Pengrajin Bidai dan Tikar di Perbatasan Terancam Punah

LADUNI.ID, BENGKAYANG -  Kerajinan tangan masyarakat perbatasan terutama di Kecamatan Seluas dan Kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, terkenal dengan hasil kerajinan berupa bidai atau tikar. 

Namun kerajinan ini terancam punah lantaran bahan baku untuk membuatanya berupa rotan sudah langka didapat. Saat ini, bahan baku bidai atau bide sudah  susah didapatkan karena tidak ada dukungan pemerintah baik untuk melestarikan maupun penanaman ulang rotan,  juga kayu kapuak atau tuhup

Hal itu yang disampaikan mantan Kepala Bagian Perbatasan, yang sekarang menjabat sebagai Plt. Camat Seluas, Gustian Adniwinata. Lebih jauh Gustian menjelaskan, Bidai dari bahasa Dayak "Bide" adalah satu di antara warisan budaya, tempat menerima tamu-tamu terhormat zaman dahulu kala.  

Maka kepala Kampung zaman dulu menyebutnya Ama Bide. Bide berarti alas duduk dan tempat berkumpul masyarakat untuk tamu-tamu terhormat, ataupun digunakan pada kegiatan pesta besar masyarakat suku Dayak Borneo. 

Pada tahun 1997, bidai mulai diminati oleh negara tetangga, Malaysia. Selain karena bahan dari tumbuhan alam, juga mengandung seni yang cukup tinggi. Ternyata menurut mereka, bidai enak dijadikan alas duduk para tamu. Selain sebagai alas duduk, tikar bidai bisa dijadikan aneka ragam turunannya, seperti lapis dinding, lapis Sopa, alas meja, serta dijadikan plafon rumah. 

"Bidai pada zaman dulu, hanya dibuat tanpa dihadiri motif dan corak yang menarik. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, ternyata bidai  ini menjadi berkembang dengan berbagai corak, sesuai perkembangan ilmu seni yang ada," ujar Gustian. 

Seiring makin dikenal oleh mancanegara dan dipadukan dengan desain menggunakan teknologi informasi,  maka saat ini menjadi andalan penghasilan warga lokal perbatasan Indonesia - Malaysia. 

"Bidai atau bide ini sekarang menjadi primadona pengunjung Pasar Indonesia di Serikin, Sarawak, Malaysia yang dibuka setiap hari Sabtu dan Minggu," ucapnya. Namun, saat bidai menjadi tren pembeli di luar Negeri, Malaysia pun mengambil kesempatan untuk membuat hak paten industri bidai. 

Hal itu disebabkan lantaran Instansi terkait kurang peduli untuk membuat perlindungan hak inteletual atau paten terhadap karya anak bangsa yang ber-SDM masih di bawah rata-rata. 

Selain itu, masyarakat Indonesia juga belum memiliki rasa cinta produk-produk lokal, yang terbuat dari alam. Sehingga, banyak hasil kerajinan kreatif masyarakat lokal terpaksa dijual di luar negeri. Gustian Andiwinata yang juga tokoh masyarakat perbatasan mengatakan,  keberadaan sejumlah hasil kerajinan masyarakat Jagoi Babang harus menjadi perhatian pemerintah. 

Terlebih saat ini, hasil kerajinan tersebut diklaim oleh pedagang di Malaysia dengan memberikan merk 'Made In Malaysia'. Setelah diklaim sebagai  produk Malaysia, kemudian dipasarkan kembali di negara tetangga lainnya, termasuk kembali dijual ke Indonesia.

Secara umum, masyarakat Malaysia tidak bisa membuat anyaman bidai, kecuali memodifikasi menjadi lebih bagus dan  berkualitas tinggi, serta  menghasilkan karya seni yang tinggi. Tentu, dengan harga jual lebih tinggi pula. 

"Pengrajin Bidai sebenarnya adalah warga Indonesia, penduduk Pulau Borneo, khususnya masyarakat yang bermukim di perbatasan," ungkapnya. 

Sebagai upaya pengakuan hasil kerajinan masyarakat Jagoi Babang, Gustian yang pernah menjabat sebagai Kepala Bagian  Perbatasan, sudah berupaya selama jabatannya, yakni  merancang tugu titik Nol Perbatasan Jagoi Babang-Malaysia. 

Tugu yang terletak di titik Nol, antara Indonesia-Malaysia itu jelas dibuat motif tikar bidai. Hal tersebut untuk menunjukkan bahwa bidai adalah karya asli anak bangsa dan sebagai ciri khas kerajinan masyarakat perbatasan, terutama masyarakat Jagoi dan masyarakat Seluas. 

Selain upaya itu, memang ada upaya lain pemerintah dalam melestarikan kerajinan, seperti membentuk 'Kampung Kreatif' di kampung Jagoi Kindau, Kecamatan Jagoi Babang.

"Kampung Kreatif 85 persen  warganya membuat aneka ragam kerajinan tangan berbahan tumbuhan alam, seperti rotan, bambu, dan lainnya," tutur Gustian. Hasil kerajinan warga Kampung Kreatif tersebut dijual ke Malaysia. Sebab di sana, ada agen penampungan serta dimintai banyak orang.

"Sekarang yang menjadi keluhan warga di Kampung Kreatif sampai saat ini, belum ada pemerintah maupun orang Indonesia bisa menampung hasil mereka," ujarnya. Di sisi lain, masyarakat di Kampung Kreatif, Dusun Jagoi Kindau, hanya bisa menikmati hiburan TV Malaysia. Karena untuk siaran Indonesia harus dengan parabola yang tak terjangkau oleh warga. (nar/lha)

Sebagai masyarakat yang tinggal di perbatasan Indonesia- Malaysia, masyarakat Jagoi Babang dan Seluas tentu tidak asing lagi bergaul dengan masyarakat Malaysia. 

Bahkan etnis Dayak kedua negara ini masih dalam satu rumpun. Kental dan sangat terjaga. Sehingga tak heran, apabila masyarakat perbatasan terus berbagi kehidupan, termasuk dalam bidang perdagangan. 

Sebagai masyarakat yang ahli dalam menganyam, baik menganyam tikar bidai, bubu, bakul, dan anyaman lain, masyarakat Jagoi Babang  kerap diminta para agen di Malaysia untuk membuat anyaman tersebut dan kemudian dikemas serta dijual kembali. Ternyata, permintaan agen di Malaysia untuk warga Jagoi Babang membuat anyaman ini sudah berlangsung lama.

 Bahkan sudah  berlangsung puluhan tahun. Dalam hal itu, tentu masyarakat Jagoi Babang yang tinggal di perbatasan tidak bisa disalahkan. Sebab menurut mereka, selama ini di Indonesia tidak ada tempat penampungan ataupun agen untuk membeli dan menjualnya kembali. 

Satu di antara pengrajin bidai Jagoi Babang, Isen, mengaku menjual bidai ke Malaysia karena besarnya permintaan. Tak jarang, warga Malaysia datang langsung ke lokasi untuk mengambil barang kerajinannya."Permintaan terhadap bidai kita tinggi, jadi kita lebih banyak jual di Malaysia," ujar Isen . 

Menurutnya, selain permintaan yang tinggi, hasil jual kerajinan di Malaysia pun lebih tinggi dan menguntungkan, karena pembayaran dilakukan secara tunai. Hal yang sama juga dikatakan oleh pengrajin Jagoi Babang lainnya, Nuryani. Ia  mengaku sudah menganyam puluhan tahun. Sejak tahun 90-an, telah berhubungan dagang dengan agen-agen di Malaysia.

"Saya  tahun 90-an sudah menganyam dan jual di Malaysia. Saya juga ada beberapa agen di Serikin dan Bau. Untuk di Indonesia sendiri, jarang ada permintaan. Jadi saya tidak jual di Indonesia," ungkapnya. 

Sementara itu, penampung hasil kerajinan warga perbatasan 'Kampung Kreatif',  Hery mengaku, sebagai penampung dirinya juga menjual bidai ataupun kerajinan lain milik masyarakat Jagoi Babang ke Malaysia. Oleh agen di Malaysia, barang kerajinan tersebut menjadi milik dan dicap sebagai merk Malaysia. 

Warga Kampung Kreatif Jagoi Babang berharap, ke depan pemeritah menyediakan tempat pemasaran khusus bagi pengrajin yang ada di  di Kabupaten Bengkayang agar hasil kerajinan terjual dengan baik. 

"Karena selama ini bidai yang sudah kita jual di Malaysia, kemudian mereka akan modifikasi kembali dan dijual kembali di Indonesia dengan motif dan harga yang lebih tinggi. Karena sudah dicap sebagai buatan Malaysia," tutupnya.