Seputar Hadis-Hadis Palsu tentang Puasa Rajab

 
Seputar Hadis-Hadis Palsu tentang Puasa Rajab

LADUNI.ID, Jakarta - Sebuah pertanyaan melalui SMS masuk ke HP kami. “Pak Ustaz, sekarang coba lagi Hadis tentang puasa bulan Rajab . Kami mohon apa ada dalilnya? Puasa Rajab 1 hari seperti puasa terikat, 7 hari ditutup pintu-pintu bencana Jahannam, 8 hari dibuka pintu-pintu surga, 10 hari dikabulkan segala permintaannya, dan barangsiapa yang meminta tentang ini seakan dia beribadah 80 tahun. ”

SMS ini ada yang meminta, karena itu diajukan meminta dasar dalil amalan puasa Rajab itu. Sementara itu kami pantau, banyak media informasi yang ditanyakan tentang bagaimana meminta amalan-amalan puasa hal ini menimbulkan keresahan dan dipertanyakan siapa pun yang memotivasi informasi seperti yang disebarkan.

Imam Ibnu Hajar al-Asqalani (852 H) dalam kitabnya Tabyin al-'Ajab bima Warad fi Fadhl Rajab menyebutkan bahwa tidak ada satu pun hadis yang sah (sahih) tentang fadhilah (keutamaan) puasa pada bulan Rajab. Bersama kawan-kawan, kami juga mendiskusikan hadis seperti yang dimaksudkannya dipertanyakan dalam SMS tadi.

Ternyata hadis ini adalah palsu. Yang aneh, Imam Ibnu Hajar pada abad ke-9 hijriyah telah memberikan pernyataan seperti itu. Namun faktanya, hadis-hadis palsu, dalam hal ini yang terkait dengan puasa pada bulan Rajab tidak kemudian hilang, tetapi sebaliknya berkembang dengan tambahan-tambahan yang mengkhawatirkan, seperti siapa yang menganjurkan ibadah ini akan mendapatkan pahala beribadah selama 80 tahun.

Kami sendiri memiliki pengalaman, sejak tahun 1985, kami telah berusaha, baik melalui mimbar maupun lembar, melalui tulisan dan tulisan, untuk memberikan pencerahan kepada umat tentang fenomena penyebaran hadis palsu mengikuti bahaya perpindahannya. Ketika kami sudah menginstal beberapa hadis palsu tentang Ramadhan yang kemudian kami terbitkan dalam sebuah buku, tiba-tiba di internet bermunculan hadis palsu yang baru tentang Ramadhan.

Seolah-fenomena fenomena hadis palsu memang ada pihak yang sengaja dibuat untuk kepentingan tertentu. Tuntaskan, kepentingan itu untuk meresahkan umat sehingga mereka hanya menyibukkan diri dan menguras energi untuk membahas masalah tersebut.

Kepentingan selanjutnya adalah untuk membuat orang-orang menyukai terninabobokan dengan amalan-amalan yang bersumber dari hadis palsu itu. Sebut saja misalnya, hadis palsu tentang Ramadhan yang membahas tentang tidurnya orang yang berpuasa itu ibadah dan diamnya sama dengan membaca tasbih. Hadi suka ini membawa yang buruk bagi umat Islam Jadi mereka pada siang hari lebih suka tidur dan bermalas-malasan untuk beraktivitas.

Menurut kajian ilmu hadis, salah satu ciri hadis palsu, adalah "amalannya sedikit dan pahalanya sangat besar". Kendati begitu, gejala ini belum memberikan sinyal yang positif tentang kepalsuan sebuah hadis. Kepalsuan sebuah hadis dapat dideteksi melalui matan (materi) dan sanad (transmisi hadis).

Jika dalam sanadnya terdapat rawi (periwayat) yang berperilaku dusta maka menurut disiplin ilmu hadis, hadis ini disebut sebagai Hadis palsu. Konsekuensinya, hadis seperti itu harus “dikubur”, tidak boleh diamalkan, dan tidak boleh disebut-sebut kecuali dalam rangka untuk meminta kepalsuannya.

Orang yang membantah hadis palsu, dan ia mengetahui tentang kepalsuan hadis itu, maka Nabi berbicara sebagai orang yang ikut mendustakan Nabiullah Saw. Dan orang yang mendustakan Rasul dengan sengaja menghabiskan untuk siap-siap pindah neraka.

Kendati demikian, bukan berarti puasa pada bulan Rajab karena alasan ada hadis terkait Imam Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, an-Nasa'i, ath-Thabrani, dan al-Baihaqi di mana Nabi SAW. menyuruh salah seorang sahabat dia untuk berpuasa pada bulan-bulan mulia ( al-Asyhur al-Hurum ), sementara shalat satu dari empat bulan mulia itu adalah bulan Rajab.

Sesungguhnya yang dikeluarkan dalam Islam adalah hadis palsu dan beribadah dengan berlandaskan untuk hadis palsu tersebut. Ketika kita beribadah dan ternyata memiliki landasan yang palsu, maka hal itu yang ditolak. Karenanya, kita harus berhati-hati dalam beribadah dengan memahami dasar hukumnya ( dalil ) yang valid.


(Oleh KH.  Ali Mustafa Yaqub. Sumber: islami.co dan Majalah Nabawi