Hukuman Seorang Suami yang Berhubungan Seksual Saat Istri Sedang Haid

 
Hukuman Seorang Suami yang Berhubungan Seksual  Saat Istri Sedang Haid

LADUNI.ID, Para Ulama berbeda pendapat apakah haram di sini termasuk dosa besar atau dosa kecil. Menurut ulama mazhab syafi’i, menjimak istri saat haid itu termasuk dosa besar, sebagaimana disebutkan dalam kitab Hasyiah al-‘Abbadi demikian:

قَالَ فِي الْعُبَابِ وَالْوَطْءُ مِنْ عَامِدٍ عَالِمٍ مُخْتَارٍ كَبِيرَةٌ يَكْفُرُ مُسْتَحِلُّهُ

Artinya: penulis kitab al-‘Ubab mengatakan, menjimak (istri yang sedang haid) dengan sengaja, mengetahui (keharamannya), dan kehendak sendiri itu termasuk dosa besar, dan yang menganggapnya halal itu dapat menjadi kafir.

Bagi suami yang sudah tidak tahan berhubungan badan dengan istri, padahal istrinya sedang haid, maka ulama mazhab syafi’i memberi solusi. Dengan catatan, apabila hasratnya tidak terpenuhi saat itu juga suami itu dikhawatirkan terjatuh dalam perbuatan zina. Solusi tersebut itu dijelaskan dalam kitab Hasyiah al-‘Abbadi:

لَوْ خَافَ الزِّنَا إنْ لَمْ يَطَأْ لْحَائِضَ بِأَنْ تَعَيَّنَ وَطْؤُهَا لِدَفْعِهِ جَازَ لِأَنَّهُ يَرْتَكِبُ أَخَفَّ الْمَفْسَدَتَيْنِ لِدَفْعِ أَشَدِّهِمَا بَلْ يَنْبَغِي وُجُوبُهُ وَقِيَاسُ ذَلِكَ حِلُّ اسْتِمْنَائِهِ بِيَدِهِ تَعَيَّنَ لِدَفْعِ الزِّنَا

Artinya: seandainya suami takut melakukan zina apabila tidak bisa menggauli istrinya yang sedang haid, yang mana tidak ada pilihan lain selain menggaulinya, maka hal tersebut boleh. Hal ini karena menimbang mafsadat yang paling ringan untuk menghindar mafsadat terberat. Bahkan, seyogianya menjimak istri yang haid dalam keadaan di atas itu menjadi wajib. Analoginya, onani dengan menggunakan tangan sendiri itu juga halal untuk menghindari zina.

Namun demikian, jika orientasinya hanya memenuhi hasrat dengan mengeluarkan mani, suami boleh meminta istrinya untuk melakukan oral seks jika istri bersedia. Hal ini karena dalam istilah fikih semua jenis istimta’ (bercumbu) dengan istri saat haid itu diperbolehkan, kecuali jimak atau hubungan badan.

Baca Juga :  Kenali Macam-macam Warna dan Sifat Darah Haid
Sekalipun menggunakan kondom, berhubungan badan saat istri sedang haid tetap haram atau termasuk dosa besar. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Tuhfatul Muhtaj:

 يَحْرُمُ (مَا بَيْنَ سُرَّتِهَا وَرُكْبَتِهَا) إجْمَاعًا فِي الْوَطْءِ وَلَوْ بِحَائِلٍ

Artinya: haram melakukan apa pun di antara pusar dan dengkul istri yang menjerumuskan sampai hubungan badan, walaupun menggunakan penghalang (kondom).

Berbeda dengan mazhab Syafi’i, ulama mazhab Hanbali menganggap hubungan badan saat istri haid termasuk dosa kecil, bukan dosa besar sebagaimana pendapat ulama mazhab Syafi’i. Namun demikian, sebagian ulama mazhab Hanbali mewajibkan bayar kifarat bagi pasangan yang melakukan hubungan intim suami-istri sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Mubdi’ fi Syarh al-Muqni’:

الْوَطْءُ فِي الْحَيْضِ لَيْسَ بِكَبِيرَةٍ خِلَافًا لِلشَّافِعِيِّ، وَإِنَّمَا شُرِعَتِ الْكَفَّارَةُ زَجْرًا عَنْ مُعَاوَدَتِهِ، وَلِهَذَا أَغْنَى وُجُوبُهَا عَنِ التَّعْزِيرِ فِي وَجْهٍ

Artinya: menjimak (istri) yang sedang haid itu bukan dosa besar, yang berbeda dengan pendapat Imam Syafi’i. Pembayaran kifarat disyariatkan agar pelakunya tidak mengulangi perbuatan haram ini. Oleh karena itu, kewajiban bayar kifarat merupakan bentuk takzir (pada pelakunya) menurut salah satu pendapat.

Mengenai pria yang menjimak istrinya saat sedang haid, terdapat katerangan di dalam kitab Musnad Abu Ya’la yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas yang mendengar Rasulullah Saw. bersabda:

إِنْ كَانَ دَمًا عَبِيطًا فَلْيَتَصَدَّقْ بِدِينَارٍ، وَإِنْ كَانَ فِيهِ صُفْرَةٌ فَنِصْفُ دِينَارٍ

Artinya: apabila darah haid masih kental (karena masih di awal masa haid), maka bersedekahlah dengan satu dinar. Apabila warna darah sudah berwarna kekuning-kuningan, maka bersedekahlah dengan setengah dinar.

Sebagian ulama mazhab Hanbali mewajibkan bayar kifarat dengan satu dinar saat istrinya yang haid itu baru masuk di masa awal haid, sehingga darahnya masih kental dan merah. Namun, apabila sudah hampir berhenti darah haidnya, maka cukup bayar setengah dinar. Satu dinar saat ini dapat disamakan dengan empat seperempat gram emas. Namun demikian, bayar kifarat seperti ini hanya sunah menurut mazhab Syafi’i, namun perbuatannya dikategorikan dosa besar. Wallahu a’lam bis shawab.

Sumber : Dari Berbagai Sumber