Menyikapi Putusnya Harapan dari Kegagalan

 
Menyikapi Putusnya Harapan dari Kegagalan

Oleh AHMAD FAIROZI

LADUNI.ID, Jakarta - Manusia, sebagai makhluk normal, memiliki impian setinggi langit dalam hidupnya, sah-sah saja. Termasuk mengimpikan menjadi Sekjen Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dan menguasai seluruh bumi Nusantara umpannya. Itu boleh saja.  Sebagiamana fitrahnya, tak satupun manusia yeng menginginkan masa depannya suram, tidak ada harapan. Tentu, mimpi yang kita patok di dinding rumah impian itu adalah mimpi yang bagus, gemilang, dan menjanjikan. Walau kenyataanya, tak ada jaminan semua mimpi tercapai dengan sempurnah. Barangkali ini bias dari parebhasan guru SD kita “bermimpilah setinggi langit, biar kalau jatuh tak terlerai bersama tanah, karena di atas langit masih ada ruang angkasa,”

Perihal bermimpi siapapun boleh saja melakukannya, itu hak privasi dan manusiawi. Namun, yang perlu dicamkan sebelumnya, bila gagal menggapai mimpi, sadarilah bahwa kamu bukan Tuhan, yang bisa mewujudkan harapan dan keinginannya sebebas mungkin, sa’karebe dewe. Ingat, di sisimu ada sang pemimpi lain yang mungkin pada saat yang sama dengan objek yang sama pula, sedang berebut “nyata” denganmu.

Demi terwujudnya suatu mimpi, siapapun boleh saja melakukan usaha mewujudkannya. Usaha yang  secara akal sehat bakal menjadi sebab terwujudnya mimpi itu. Tentu usaha riil yang mampu menepis keraguan dan menguatkan keyakinan atas tercapainya mimpimu itu. Itu namanya cita, suatu impian yang dibarengi dengan langkah riil untuk mewujudkannya. Tentu tatap memerhatikan batasan selama tidak mengganngu pemimpi lain di sebelahmu. Yang demikian ini adalah kewajiban, yangn bila yang pertama, dan tak terima kegagalnmu, itu artinya sakit mintal. Dan bila kau mengabaikan yang kedua, dirimu seorang brutal.

Pemimpi bijak sana tidak mengabaikan dua hal. Pertama, menjaga stabilitas usaha dan doa. Usaha dalam bentuk apapun adalah modal kongkret yang harus dilakukan oleh sang pemimpi. Mulai dari membangun jaringan, menjalani proses dengan kegigihan hingga mengeluarkan biaya operasional dalam usahanya itu. Adalah suatu yang mustahil bila salah satu dari ketiganya terlantarkan, mimpi itu akan dicapai.

Pada posisi yang sama, kemantapan hati, optimisme harus selalu diteguhkan dengan doa dan permohonan pertolongan kepada Allah. Yang demikian ini tida lain hanya hanya demi menjaga “kekauan” yang mungkian akan menghilangkan keikut setaan Allah dalam segala usahanya menggapai mimpi tersebut.

Menjaga keseimbangan dua hal ini tidaklah mudah. Seba ia hanya melekat pada mereka yang sempurnah agamanaya, istiqomah imannya, dan stabil jiwanya. Bukan orang baru belajar agama. Dan apalgi hanya belajar agama dari majalah dan media sosial layaknya salah satu kandidat pilpres kita hari ini.

Kedua, mensyukuri segala bentuk hasil dari usaha dan doa yang telah dilakukan sebelumnya. Untuk hal ini perlu disadari bahwa realitas apapun yang terjadi pada masanya adalah kenyataan terbaik. Sekalipun jauh berbeda dengan taksiran dan wujud harapan yang  telah telah direcanakan sebelumnya. Maka sah-sah saja, demi munsyukuri hasil impiannya salah satu kandidat pilpres kita mengeksperisakannya dengan “sujud terimakasih”.

Kegagalan menggapai mimpi ini adalah kenyataan yang harus diserahkan kepada Allah SWT. Emosi dan ambisi yang berlebihan atas ketik puasan pada kenyataan hanya akan menyebabkan tempramintal yang membahayakan psikis.

Bagian kedua ini sangat jarang disadari. Banyak yang gagal dalam menggapai impiannya menjadi prustasi dan bahkan bunuh diri. Yang demikian ini sangat membahayakan, bahkan bisa menyebabkan kekufuran.

Terakhir, saya hanya ingin mengingantkan bahwa realitas adalah kenyataan terbaik. Bukan mimpi dan apalagi ambisi yang hanya mengantarkan sang pemimpi pada frustasi bila ambisinya tak diiringi dangan kesiapan mintal yang kuat.


Artikel ini ditulis oleh Ahmad Fairozi, Alumni PP. Annuqayah yang sedang menempuh pendidikan Pasca Sarjana Universitas Nahdlatul Umala Indonesia (UNUSIA) Jakarta.