Meminang Bulan Ramadhan dengan Mahar Ibadah

 
Meminang Bulan Ramadhan dengan Mahar Ibadah

LADUNI.ID, KOLOM-Ramadhan merupakan bulan yang paling ditunggu umat muslim dan bulan istimewa diantara bulan lainnya. Merindukan Ramadhan atau bahasa lainnya disebut tarhib harapan semua orang. Ungkapan kata tarhib berasal dari kata rahhaba,yurahhibu, tarhiiban yang berarti ‘melapangkan dada’, ‘menyambut dengan mesra serta senang hati.’

Sementara itu dalam konteks ini, tarhib Ramadhan merupakan suatu sambutan bahagia kedatangan bulan suci Ramadhan termasuk tuntunan iman yang sejati. Sebab, Rasulullah SAW biasa melakukannya.

Kita mengetahui bahwa bulan Ramadhan membawa rahmat, ampunan, balasan berganda terhadap amal baik, serta bulan yang mampu melindungi kita dari jilatan api neraka. Ramadhan adalah bulan yang penuh hikmah dan kemuliaan, sehingga Rasulullah saw di akhir bulan Syakban senantiasa mengajarkan sahabat dan keluarganya akan hikmah dan fadhilah yang dikandung Ramadhan. 

Dalam hal ini Rasulullah saw mengajak keluarga dan sahabatnya, untuk menyelami hakikat puasa dan hikmah Ramadhan, dimaksudkan untuk mendorong kaum muslimin memanfaatkan setiap detik dan menit dari waktu-waktu bulan Ramadhan dengan berbagai ibadah, baik ibadah yang bersifat ritual maupun ibadah sosial.

Kandungan hikmah dan kemuliaan Ramadhan yang amat luar biasa ini, semestinya diketahui dan dipahami oleh setiap kaum muslimin. Rasulullah saw bersabda: “Sekiranya umatKu mengetahui keutamaan Ramadhan, maka mereka akan meminta agar Allah menjadikan Ramadhan sepanjang tahun.”  

Berbagai Persiapan Pra Ramadhan
Sebelumnya, menjelang tibanya syahrul Mubarak ini, fenomena yang terjadi dalam masyarakat kita yang biasa disemarakkan oleh berbagai kegiatan serimonial dan positif keagamaan dibingkai dengan nama Marhaban ya Ramadhan.

Kegiatan semacam ini oleh mayoritas masyarakat dijadikan sebagai momentum untuk berbenah diri, membersihkan hati dan mempererat kembali tali silaturrahim dengan sanak famili. Melakukan wisata rohani berupa menziarahi kuburan leluhur dan orang tua disamping membersihkan maqbarah-nya serta berbagai aktivitas keagamaan lainnya.

Namun fenomena ini tidak sedikit masyarakat berekreasi ke tempat wisata untuk “bertaubat” diri dari pahala alias bermaksiat diri dengan memadu cinta dengan lawan jenis dan maksiat lainnya,

Mungkin syaitan membisikan dalam hati mereka bahwa bulan Ramadhan itu sebagai momentum untuk bertobat nantinya, sekarang waktunya di “minggu terakhir” Ramadhan untuk “menabung” dosa dan bermaksiat terlebih dulu. Semoga perspesi semacam ini tidak terpatri dalam dada generasi kita.

Menyambut sosok tamu “Ramadhan” akan terasa lebih indah jika kita memprioritaskan diri untuk tazkiyatun nafsi (membersihkan jiwa) dan melakukan persiapan fisik dan mental serta berbagai kajian keagamaan untuk menyambut tamu yang agung tersebut.

Siapa yang tidak senang dan gembira menyambut tamu agung, laksana seorang permaisuri yang menyambut kedatangan sang pangeran yang tampan dan menawan? Entah bagaimana perasaan dan luapan cinta yang menggebu ketika sedang menunggu saat-saat yang mendebarkan hati tersebut? Terlebih sudah ditunggu-tunggu selama sebelas bulan.

Sikap dan ekspresi tersebut merupakan wujud besarnya cinta kita terhadap sayyidul syahri (penghulu bulan). Ini bukan tidak beralasan, sejak pra Ramadhan, Rasulullah saw telah mengajari kita untuk selalu berdoa agar dipanjangkan umur dan keberkahan sampai ke Ramadhan seperti banyak riwayat.

 Salah satu dantaranya terdapat dalam riwayat yang berasal dari Anas ra bahwa ketika memasuki bulan Rajab, Rasulullah saw berdoa: “Ya Allah berkahi kami pada bulan Rajab dan Sya’ban ini. Serta sampaikan kami ke dalam bulan Ramadhan.” (HR. Tirmidzi danad-Darimi).

Pernyataan tersebut diperkuat sebagaimana disebutkan oleh Ma’la bin Fadhal, beliau berkata: “Dulu sahabat Rasul saw berdoa kepada Allah sejak enam bulan sebelum masuk Ramadhan agar Allah sampaikan umur mereka ke bulan yang penuh berkah itu. Kemudian, selama enam bulan sejak Ramadhan berlalu, mereka berdoa agar Allah terima semua amal ibadah mereka di bulan itu.”

Hal ini penting guna menanamkan kerinduan kepada Ramadhan sekaligus sebagai upaya persiapan mental (tahyi’ah nafsiyah), spiritual (tahyi’ah ruhiyah) dan intelektual (tahyi’ah fikriyah). Tentunya

tanpa persiapan mental, spiritual, dan intelektual, puasa Ramadhan hanya akan menjadi kegiatan ritual keagamaan tahunan tanpa makna, tanpa pahala dan tidak mampu memberikan pengaruh positif bagi kehidupan. Perhatikan sabda Nabi SAW, “Berapa banyak orang yang puasa tidak mendapatkan kecuali lapar dan dahaga.” (HR An Nasa’i dan Ibnu Majah).

Sebaliknya, dengan persiapan dan perbekalan yang maksimal akan mampu meraih sukses Ramadhan secara optimal. Untuk itu, di hari terakhir Sya’ban, Rasulullah SAW kembali mengkondisikan umatnya dengan menyampaikan pidato ‘kenegaraan’ menyambut Ramadhan dengan menjelaskan keutamaan-keutamaannya.

***Helmi Abu Bakar el-Langkawi, MUDI Samalanga