Ijtima’ Ulama III, Gerakan Makar yang Wajib Diingkari

 
Ijtima’ Ulama III, Gerakan Makar yang Wajib Diingkari

Oleh Ahmad Fairozi*

عَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ وَإِيَّاكُمْ وَالْفُرْقَةَ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ مَعَ الْوَاحِدِ وَهُوَ مِنَ الاِثْنَيْنِ أَبْعَدُ وَمَنْ أَرَادَ بِحَبْحَةِ الْجَنَّةِ فَعَلَيْهِ بِالْجَماعَةِ

Tetaplah bersama jamaah dan waspadalah terhadap perpecahan. Sesungguhnya setan bersama satu orang, namun dengan dua orang lebih jauh. Dan barang siapa yang menginginkan surga paling tengah maka hendaklah bersama jamaah.[1]

Sebagai kalangan Nahdliyin, saya kerap kali menjadikan dalil ini sebagai legitimasi atas kebenaran kelangan saya. Setidaknya untuk meyakinkan diri saya sendiri bahwa Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU) adalah satu satunya sekte yang senantiasa diselamatkan oleh Allah SAW. Alasannya sederhana saja, karena Kalangan Jami’yah ini selalu menjaga dan berpegang-teguh atas kesatuan Jam’iyah serta senantiasa menghindari perpecahan dalam kemajemukan itu sendiri.

Lebih dari sekedar itu, hadis ini, serta beberapa hadis serupa lainnya oleh Imama Syafi’i dijadikan dalil untuk penetapan “Ijma Ulama” sebagai salah satu dalil yang absah untuk menetapkan hukum agama. Melalui pendekatan Qonun al-Takwil-nya al-Ghazali, hadis ini mesti dipahami dari dua sisinya secara utuh; eksoteris dan esoterisnya yang tak terpisahkan. Sehingga melalui pendekatan makna eksoteris (dlawahirul alfadz wa ma haulahu) hadis ini menunjukkan kewajiban untuk kesatuan dan persatuan dalam suatu Jam’iyah serta melarang bercerai berai dan berpecah belah dalam hal apapun. Sedangkan secara esoteris (ma fihi al-fadz wa ma haulahu), hadis ini mengisayaratkan absahnya Ijma’ Ulama sebagai salah satu dalil untuk menetapkan hukum agama, dengan syarat ketika tidak dijumpai pertententangan sama sekali dari pihak manapun.

Tentang prihal Ijma Ulama, Syafii menyertakan beberapa syarat yang harus dipenuhi, Pertama, Terjadinya kesepakatan para mufthi atas suatu perkara, kedua kesepatan tersebut harus dapat diterima oleh semua kalangan, ketiga, kesepakatan (Ijma) harus terjadi setelah masa Rasulullah dan keempat, perkara yang disepakati adalah prihal agama. Hal sama juga disampaikan oleh al-Ghazali, Ijma hanya dianggap absah apabila; pertama, dilakukan oleh seluruh kalangan ulama (mufthi) yang kredibel, dan kedua, jelasnya perkara yang di Ijma’, yaitu sutu pokok permasalahan yang doaim pembahasannya adalah prihal agama.

Dari dua pendapat tersebut dapat disimpulankan bahwa Ijma’ Ulama mensyaratkan keterlibatan dan kesepakatan seluruh pemuka agama (mufthi) dalam suatu pokok pembahasan agama. Maka Ijma’ di luar itu tidak absah, akan tetapi oleh menurut al-Ghazali dikatakan tidak bisa dijadikan hujjah, dan bahkan tidak dapat dianggap absah (lihat al-Mustashfa min Ilmi al-Ushul, 284). Maka pertanyaanya bagaimana dengan fatwah Ijma’ sebagian Ulama Indonesia layaknya kalangan PA 212 dan ulama FPI? Jawabannya, fatwah Ulama (kalau ia adalah Ulama) termasuk fatwah makar yang haram mengikutinya.

Ijtima’ Ulama yang dilakukan oleh kalangan PA 212 dan kelompok FPI tidak termasuk kategori fatwah. Sebab di dalamnya terjadi beberapa cacat hukum, baik secara hukum agama dan apalagi hukum negara. Disengajanya sebagian ulama, termasuk juru fatwah beberapa lembaga keagamaan (MUI secara formal serta NU dan Pesantren secara kultural) untuk tidak dilibatkan dalam pengambilan fatwah, merupakan cacat hukum secara agama yang pertama. Dan cacat hukum kedua adalah tentang prihal objek pembahasan Ijtima’ itu sendiri, yaitu bukan urusan agama, akan tetapi prihal kontrak politik dan bisnis jabatan. Maka dengan ini sudah jelas bahwa mereka sudah mengingkari syarat rukun Ijma dalam agama.

Selanjutnya, Fatwah Ijtima’ Ulama (Jilid III pada hari ini) ala mereka, telah mengingkari hukum konstitusi negara Indonesia. Secara konstitusional, suatu fatwah/putusan hukum hanya dapat ditetapkan melalui proses persidangan Mahkama Konstitusi (MK) dan ataupun Mahkamah Agung (MA). Putusan fatwah dan ketetapan hukum di luar itu tidak dapat dibenarkan dan bahkan tidak wajib diikuti. Alih-alih, kalangan PA 212 dan gerombolan FPI dalam fatwahnya adalah untuk membuat demonstrasi penolakan atas akan ditetapkannya hukum negara bahwa mereka kalah dalam pilpres. Jadi talah jelas bahwa fatwah yang direproduksi oleh PA 212 CS adalah fatwah makar.

Maka, berkaitan dengan ini, Asy-Syahrastani dalam al-Milal wa al-Nihal menegaskan “Setiap orang yang memberontak kepada imam yang telah disepakati kaum Muslimin disebut Khawarij. Sama saja, apakah dia memberontak di masa Sahabat kepada Khulafaur Rasyidin, atau setelah mereka di masa Tabi’in dan para imam di setiap zaman.”[2] Hal yang sama juga disampaikan oleh Al-Imam al-Barbahari dalam Syarhus Sunnah: “Setiap orang yang memberontak kepada imam (pemerintah) kaum Muslimin adalah Khawârij, dan berarti dia telah memecah belah kesatuan kaum Muslimin dan menentang Sunnah, serta matinya seperti mati Jahiliyyah.”[3]

Terakhir, saya ingin menegaskan bahwa Ijtima Ulama Jilid III yang dilakukan oleh bandit-bandit politisi tidak termasuk Ijma yang dibenarkan oleh Syariat Islam. Akan tetapi, Ijtima Ulama Jilid III ini adalah gerakan makar yang sengaja memecah belah umat beragama serta mengadudomba ketenangan masyarakat berbangsa dan bernegara. Maka, mengikutinya adalah keharaman yang nyata.

*) Penulis adala Alumni PP. Annuqayah yang sedangn menempuh program Sekolah Pasca Sarjana di UNUSIA Jakarta.


[1] Hadis Riwayat Ibnu Abu ‘Ashim dalam as-Sunnah (87), Imam Ahmad dalam Musnad-nya (1/18), Imam at-Tirmidzi dalam Sunan-nya (2165), Imam al-Hakim dalam Mustadrak-nya (387), dan Imam al-Ajuri dalam asy-Syariah (5).

[2] Syahras Stani, al-Milal wan Nihal, h. 114.

[3] Al Barbahari, Syarhus Sunnah, dalam tahqiq Syaikh Abu Yasir Khalid ar-Raddadi, (cet. II, th. 1418 H), h. 76.