Biografi Raden Husen ( Adipati Pecat Tandha Terung )

 
Biografi Raden Husen ( Adipati Pecat Tandha Terung )

Daftar Isi

1.  Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1  Lahir
1.2  Riwayat Keluarga Raden Husen
1.3  Nasab Raden Husen
1.4  Wafat

2.  Sanad Ilmu dan Pendidikan Raden Husen

2.1  Guru Raden Husen

3.  Penerus Raden Husen

3.1  Anak-Anak Raden Husen

4.  Perjalanan Hidup dan Dakwah Raden Husen

5.  Keteladanan Raden Husen

7.  Referensi

 

1    Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1   Lahir

Raden Husen atau yang bernama asli Raden Husain atau Raden Kusen  adalah panglima perang Kerajaan Majapahit dan seorang Adipati di kadipaten Terung. Beliau merupakan saudara berbeda bapak dari Raden Patah yang merupakan Pendiri Kesultanan Demak. Beliau lahir diperkirakan tahun 1460 an Masehi

1.2   Riwayat Keluarga Raden Husen

Beliau dikarunia putra:

  1. Raden Surodirejo (Adipati Palembang I) 
  2. Raden Santri (Pangeran Aryo Kesumo Cirebon)
  3. Raden Ayu Dewi ( Istri Sunan Kudus )
  4. Raden Ayu Putri Sundari Cempokowati

1.3   Nasab Raden Husen

Raden Husen adalah cucu dari Raja Brawijaya ke V dari putra beliau yang bernama Arya Damar atau Ario Abdillah.
1.4   Wafat

Raden Husen wafat diperkirakan sekitar tahun 1530 an dan dimakamkan dikomplek Pemakaman Ngampedenta ( Ampel )
 

2    Sanad Ilmu dan Pendidikan Raden Husen

Beliau dididik dan dibesarkan oleh ayahanda Arya Damar atau lebih dikenal Ario Abdillah. Kemudian dilanjutkan menuntut ilmu di Jawa.

2.1   Guru-guru Raden Husen

  1. Arya Damar atau Ario Abdillah
  2. Sunan Ampel
  3. Sunan Gunung Jati

3    Penerus Raden Husen

3.1   Anak-anak Raden Husen

  1. Raden Surodirejo (Adipati Palembang I) 
  2. Raden Santri (Pangeran Aryo Kesumo Cirebon)
  3. Raden Ayu Dewi ( Istri Sunan Kudus )
  4. Raden Ayu Putri Sundari Cempokowati

4.   Perjalanan Hidup dan Dakwah Raden Husen

Semenjak kecil beliau dididik dan dibimbing ayhanda beliau yang bernama AryaDamar atau lebih dikenal Ario Abdillah. Beliau di didik tentang Ilmu Kanuragan, Ilmu Agama, dan Ilmu tentang Strategi dalam sebuah Peperangan. Setelah menginjak dewasa akhirnya Ayahanda beliau mengirim ke daerah Ampel untuk memperdalam pengetahuan tentang agama Islam bersama dengan Raden Hasan ( Raden Patah ). Setelah sekian lama belajar kepada Sunan Ampel beliau melanjutkanperjalanan untuk  belajar kepada Sunan Gunung Jati dan kemudian dilanjutkan perjalanan ke Majapahit untuk bertemu dengan kakeknya Prabu Brawijaya V. Akhirnya Raden Husen diminta oleh Sang Prabu untuk menetap di Majapahit sekaligus memperdalam tentang Ilmu Kanuragan dan Strategi. Akhirnya Raden Husen di Kotaraja Majapahit, ia langsung digembleng oleh eyangnya yaitu Prabu Brawijaya V. karena ketekunan dan kepiawaian olah tanding, maka Raden Husen kemudian diangkat sebagai Adipati TERUNG (satu wilayah yang sekarang menjadi desa Terung kecamatan Krian, kabupaten Sidoarjo, dan tahun 1927 semasa pemerintahan colonial Belanda, Desa Terung dipecah menjadi Desa Terung Wetan dan Desa Terung Kulon. Perkiraan penelitian sejarah, lokasi Kraton Kadipaten Terung berada di baratnya Monumen Garuda pertigaan Desa Terung Wetan. Sebelah utaranya pertigaan Monumen Garuda, diyakini masyarakat sekitar sebagai Pasar Kembang-tempat berjualan bunga yang menjadi inti dari Tutur Tinular tentang Putri Terung .

Pada waktu itu sedang terjadi banyak perang saudara. Salah satunya Perang Paregreg (perang saudara) antara Majapahit dengan wilayah kekuasaan yang memberontak yaitu Kadipaten Blambangan pimpinan Minakjinggo, hal ini melemahkan situasi Kotaraja Majapahit sehingga Raja Kediri  yaitu Prabu Girindra Wardhana dengan mudah merebut tahta kekuasaan Majapahit. Brawijaya V melarikan diri dan mendalami jati diri mendalami keyakinan Islam yang secara diam-diam telah dipeluknya, kemudian dengan para abdi setianya mengasingkan diri ke puncak Gunung Lawu hingga wafat (konon dianggap “muksa”/menghilang di puncak Lawu dan dijuluki Sunan Lawu/Hargo Dumillah/Argo Lawu, abdi setianya di makamkan sedikit di bawahnya di tempat yang disebut Argo Dalem.

Akibat perebutan kekuasaan tersebut Raden Patah yang waktu itu menjabat sebagai Adipati Demak Bintoro merasa sebagai ahli waris yang sah dari kerajaan Majapahit. Ketika Demak hendak melakukan penyerangan terhadap Majapahit, Kadipaten Terung yang saat itu dipimpin oleh Raden Husain atau Arya Terung, masih loyal kepada Majapahit. Dengan kekuatan 8000 pasukan, Arya Terung diangkat menjadi Panglima perang membela kedaulatan Majapahit dari rong-rongan para pemberontak. 
Dipihak Demak, Panglima perangnya adalah Raden Ustman Haji atau yang lebih dikenal sebagai Sunan Ngudung, beliau adalah Ayahanda Sunan Kudus, dengan memimpin 5000 pasukan, dibantu oleh Ki Ageng Sela , Iman Sumantri dan Patih Wanasalam. 
Ketika kedua belah pihak bertemu maka terjadilah perang sengit antara Majapahit dan Demak, Raden Arya Terung menggunakan siasat "GARUDA NGLAYANG" dalam pertempuran itu. Begitu juga dengan Sunan Ngudung, ternyata mengimbanginya dengan siasat yang sama, juga menggunakan siasat "GARUDA NGLAYANG". Bisa jadi simbol Garuda yang ada ditengah-tengah desa Terung yang menjadi batas antara desa Terung Wetan dan desa Terung Kulon yang sekarang sudah direnovasi sebagai lambang Pancasila itu terinspirasi dari pertempuran tersebut.

Akan tetapi karena jumlah pasukan Majapahit yang lebih besar, maka pasukan Demak mulai mundur. Mengetahui hal ini Sunan Ngudung menjadi marah, beliau menantang duel tanding dengan Arya Terung. Arya Terung yang mendengar seruan itu segera menghampiri Sunan Ngudung, maka terjadilah perang tanding yang seru. Perang tanding itu berlangsung cukup lama, akan tetapi akhirnya Sunan Ngudung roboh oleh tombak Arya Terung. Iman Sumantri dan Ki Ageng Sela menyerang Arya Terung untuk merebut jasad Sunan Ngudung, Ki Ageng Sela berhasil merebut jasad Sunan Ngudung sementara Iman Sumantri menghadapi Arya Terung. Akan tetapi Iman Sumantri juga tak berdaya menghadapi kesaktian Arya Terung, Ki Ageng Sela ingin meneruskan pertempuran akan tetapi hari sudah malam, kedua belah pihak menghentikan pertempuran.
 
Jasad Sunan Ngudung dibawa ke Demak dan dimakamkan didekat masjid Demak. Setelah itu dalam musyawarah para Wali diputuskan bahwa Raden Ja’far Shodiq , putra Sunan Ngudung diangkat menjadi Sunan Kudus dan menjadi panglima perang Demak menggantikan kedudukan Ayahandanya. Setelah itu Sunan Giri meminta kepada sunan Kalijaga untuk membantu Demak dengan daya dan siasat. 

Akhirnya pihak Demak merencanakan untuk melakukan serangan lagi ke Majapahit. Menurut legenda diceritakan bahwa Sunan Kalijaga meminta kepada Raden Patah untuk membawa peti Jepun dari Adipati Sriwijaya dan jubah putih dari Sunan Gunung Jati untuk menghadapi pasukan Majapahit. Akhirnya dilakukan Penyerangan ke Majapahit yang dipimpin oleh Sunan Kudus. Ketika sampai di daerah perbatasan menjelang sore hari pasukan Demak berhenti tidak jauh dari perkemahan pasukan Majapahit. Ketika tengah malam Sunan Kudus dan Patih Wanasalam mendekati perkemahan pasukan Majapahit. Sunan Kudus membaca doa-doa yang akhirnya membuat pasukan Majapahit tertidur lelap. Kemudian Patih Wanasalam mengibaskan jubah putih dari Sunan Gunung Jati tiga kali sambil menahan nafas sesuai arahan dari Sunan Kalijaga, maka keluarlah ribuan tikus dari jubah itu. Tikus-tikus itu langsung menyerang perbekalan dan perlengkapan perang pasukan Majapahit. 

Pagi hari setelah sholat subuh Sunan Kudus dan pasukannya menyerbu pasukan Majapahit. Pertempuran yang ganjil, karena pasukan Majapahit berperang dengan perlengkapan yang rusak akibat serangan tikus semalam. Akan tetapi pertempuran berjalan cukup lama, agaknya kedua belah pihak sama-sama kuat. Siasat selanjutnya Sunan Kudus memerintahkan pasukannya untuk mundur. Setelah pasukan Demak mundur, Sunan Kudus dan Patih Wanasalam membuka peti Jepun dari Adipati Sriwijaya itu, maka keluarlah jutaan tawon yang langsung menyerang laskar Majapahit. 

Arya Terung pun heran, bagaimana bisa pasukan tawon merah milik Ayahandanya itu berada ditangan orang-orang Demak? Arya Terung cepat bertindak, ia tahu bagaimana cara menghadapi pasukan tawon dari Sriwijaya itu. Ia berdiri tegak dan membaca mantra-mantra, sesaat kemudian ia menggerakkan kedua tangannya. Maka keluarlah angin kencang yang menerbangkan tawon-tawon itu hingga hilang lenyap. 

Menjelang malam kedua belah pihak menarik mundur pasukannya. Malam itu Arya Terung diganggu perasaan yang tidak nyaman yang mengganggu di pikirannya. Beliau merasa bahwa Raden Patah, raja Demak itu adalah kakaknya sendiri. Begitupun dengan perasaan Sunan Kudus, beliau merasa bahwa pertempuran melawan pasukan Majapahit tidak mendapatkan restu sepenuhnya dari Raden Patah, karena Raden Patah mengetahui bahwa Adipati Terung adalah adiknya sendiri yang dahulu bernama Raden Timbal. 
Akhirnya Sunan Kudus menyuruh Patih Wanasalam menulis surat kepada Adipati Terung untuk berdamai dan mengajak sang Adipati untuk bergabung di laskar Demak, karena sang Adipati adalah saudara dari Raden Patah, raja Demak Bintoro. Dan ternyata surat itu mendapat sambutan hangat dari sang Adipati. Segera setelah perundingan itu Adipati Terung menghadap Raden Patah untuk menggabungkan diri beserta seluruh tentaranya. Demak kemudian bersiap-siap menyusun kekuatan untuk menyerang Majapahit. Namun belum lagi serangan dilancarkan, Prabu Rana Wijaya (Girindrawardana) keburu tewas diserang oleh Prabu UDARA pada tahun 1498. Raden Patah sultan Demak memerintahkan kepada Raden Husen  agar tetap melanjutkan memangku jabatan sebagai Adipati Pecat Tandha Terung di bawah pemerintahan Demak Bintoro.

Pada tahun 1517 Prabu Udara selaku Raja Majapahit merasa terancam kedudukannya karena melihat Demak didukung oleh GIRI KEDATON semakin kuat. Akhirnya pada tahun 1517 Demak menyerang Prabu Udara yang telah merampas tahta Majapahit secara tidak sah. Kemudian penyerangan yang dilakukan oleh Demak kepada Prabu Udara itu pun berhasil, maka jatuhlah Majapahit ditangan Demak.

Akhirnya beliau meneruskan jabatannya menjadi Adipati Pecat Tandha di daerah terung yang kemudian melakukan dakwah di sekitaran daerah Terung sampai Akhir Hayatnya.

5    Keteladanan Raden Husen

Raden Husen adalah tokoh yang jarang disebutkan dalam berbagai babad dan cerita rakyat sebagai salah satu pelopor penyebaran Islam di Jawa. Raden Husen juga merupakan salah satu tokoh kunci proses Islamisasi di tanah jawa yang hidup pada jaman Walisongo yang mampu menembus dinding kebesaran kerajaan Majapahit. Beliau adalah cucu dari Prabu Brawijaya V dan Saudara se ibu dengan Raden Hasan atau yang lebih dikenal dengan nama Raden Patah Pendiri Kesultanan Demak Bintoro.
Raden Husen memiliki semangat tinggi dalam memperjuangkan agama Islam. Awal dimulai dakwah Setelah jatuhnya Kerajaan Majapahit dan daerah Terung masuk dalam Wilayah Demak Bintoro. Beliau banyak melakukan kegiatan keluar masuk desa untuk memantau desa-desa yang masuk dalam wilayah kadipaten Terung dan juga melakukan dakwah tentang Agama Islam. Kegiatan dakwah pun berjalan lancer. Komunitas muslim pun semakin bertambah dan semakin kian tertata.

Penampilan yang sejuk tutur bicara yang santun ketika beliau menyampaikan dakwah hingga beliau dianggap tokoh yang dianggap mampu menentramkan situasi kerajaan Majapahit yang stelah dilanda kekacauan pada waktu itu. Perlahan tapi pasti, masyarakat kelas bawah mulai berbondong-bondong memeluk agama Islam, mengikuti ajaran Raden Husen yang dengan bijak dan santun menyampaikan misi dalam dakwahnya.

6         Referensi

  1. Buku Atlas Wali Songo, Agus Sunyoto,
  2. Buku Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan, Agus Sunyoto, Jakarta: Transpustaka, 2011
  3. Babad Wali Songo, Yudhi AW,2013
  4. Sejarah Wali Sanga, Purwadi,
  5. Dakwah Wali Songo, Purwadi dan Enis Niken,
  6. Hasan Djafar. 2012. Masa Akhir Majapahit “ Girindrawarddhana & Masalahnya”.   Jakarta:   Komunitas Bambu
  7. Krisna B. 2012. Buku Pintar Raja-Raja Jawa Dari  Kalingga  Hingga  Kesultanan Yogyakarta  ”Mengungkap  Sejarah dan  Biografi  Para  Raja  Berdasar Fakta Terbaru”. Yogyakarta: Araska
  8. Purwadi. 2005. Babad Majapahit. Yogyakarta: Media Abadi
  9. Purwadi.  2012.  Babad  Demak  “Sejarah Perkembangan    Islam    Di    Tanah Jawa”. Yogyakarta: Pustaka Utama
  10. Slamet    Muljana.    1965.    Menudju    Puntjak Kemegahan  (  Sedjarah  Keradjaan Madjapahit).  Jakarta:  P.N  Balai Pustaka
  11. Slamet    Muljana.   2005.   Runtuhnya   Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara- Negara Islam di Nusantara (terbitan ulang 1968). Yogyakarta: LKIS
     
 

Lokasi Terkait Beliau

    Belum ada lokasi untuk sekarang

List Lokasi Lainnya