Pendidikan Akhlak di Zaman Now

 
Pendidikan Akhlak di Zaman Now

LADUNI.ID, KOLOM- Dalam memperingati Hari pendidikan Nasional 2019, Kemdikbud mengusung tema, ”menguatkan pendidikan, memajukan kebudayaan”. Tema ini merupakan pengulangan tema peringatan Hardiknas 2018. Pengulangan tema ini tentu saja telah melewati tahapan kajian para staf ahli Mendikbud.

Moga-moga saja bukan karena lupa. Namun, keinginan untuk tetap menguatkan (baca: meningkatkan) kualitas pendidikan di seantero nusantara.  Pada peringatan Hardiknas 2018, dalam harian tercinta ini (Analisa, 19 Mei 2018) tulisan saya dengan judul, Perlunya Pendidikan Kembali ke Rahim Kebudayaan Nasional, telah mengulas secara singkat keterkaitan pendidikan dan kebudayaan. Esensinya ialah agar tindak pendidikan sejak PAUD hingga PT senantiasa merefleksikan kebudayaan nasional (di antaranya kebersamaan/keberagaman, kesetiakawanan, keramahtamahan, kejujuran, dan keadilan). 

Kemungkinan besar, para pengambil kebijakan di Kemdikbud masih merasakan adanya ketimpangan dalam menjalankan praktik pendidikan selama setahun ini. Terlebih dengan hajatan demokrasi (pemilu/pilpres) yang seharusnya sebagai perekat justru dijadikan pembedah kebersamaan elemen bangsa. 

Tulisan ini betujuan mendialogkan penguatan pendidikan pada era pasca-kebenaran yang sedang menggempur ibu pertiwi. Saat ini bukan saja para politisi yang senang mengeliminasi data dan fakta. Hampir semua kelompok masyarakat di negeri ini sedang dijangkiti virus opini personal.

Fenomena ini terasa sangat kental sejak dimulainya tahapan pemilu. Bahkan hingga saat ini berbagai keanehan muncul bagaikan jamur di musim hujan dengan sejumlah manifestasi yang menggelikan. Intinya, bangsa ini sudah tercabut dari akar budaya luhur nenek moyang. 

Pendidikan

Usaha pemerintah dan seluruh masyarakat Indonesia menghadirkan pendidikan yang mengedepankan kecerdasan spiritual, intelektual, dan emosional/moral telah tertera dalam dokumen perundang-undangan. Tujuan pendidikan adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (UU Nomor 20 Tahun 2003). 

Untuk mewujudkan roh pendidikan ini berbagai usaha dilakukan. Mulai dari penyediaaan sarana/prasarana hingga peningkatkan kualitas dan kesejahatera pendidik/tenaga kependidikan. Anggaran pun secara bertahap memenuhi amanah undang-undang. Hasil dan dampaknya?

Setidaknya dari sisi kualitas cukup membanggakan (angka partisipasi kasar/angka partisipasi murni sudah mulai memenuhi harapan) Namun, dari sisi kualitas, terutama karakter/moral masih perlu perjuangan panjang. 

Dari berbagai pendapat para pakar pendidikan moral dapat ditarik benang merah bahwa orang yang berpendidikan tanpa moralitas akan menjadi bandit dan orang yang bermoral tanpa pendidikan akan menjadi bangsat.

Inferensi ini tidak terlalu sulit ditemukan di negara kita saat ini. Bukankah orang-orang yang menyandang gelar pendidikan tinggi justru mempertontonkan kedunguan level akut? Demikian juga mereka-mereka yang hanya bermodalkan moral-keagamaan juga sering tergelincir pada jurang kebringasan. 

Dalam kondisi seperti ini, saya yang telah menjalani panggilan 35 tahun menjadi pendidik sering berenung, ”Mengapa kami (para pendidik) gagal mendidik putra-putra Indonesia yang berkualitas dan bermoral?” Mengapa semboyan Ki Hajar Dewantoro (ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karso, tut wuri handayani) sulit membumi di negeri yang terkenal religius ini?

Dalam kontemplasi tersebut ada bisikan halus agar saya dan jutaan pendidik di negeri ini melayani peserta didik dengan semboyan ”mendidiklah dengan hati”. 

***Sadieli Telaumbanua, Penulis adalah Dosen  Universitas Prima Indonesia. analisadaily.com.