Mengamalkan Akhlak Islam

 
Mengamalkan Akhlak Islam

LADUNI.ID, Jakarta - Di abad Millenium ini, globalisasi telah menjadi perbincangan di kalangan kita. Menurut pendapat kekinian, globalisasi adalah sebuah era atau zaman yang di satu sisi mendengungkan pembangunan (developmentalism), namun di sisi lain globalisasi telah menjadi racun yang bertujuan pembaratan budaya (westernization), digitalisasi, skulerisasi, konsumerisme dan sebagainya. Akibat yang paling nampak adalah lunturnya nilai-nilai lokal kemasyarakatan, tak terkecuali nilai-nilai keislaman yang dapat dilihat pada Negara yang mayoritas penduduknya beragama islam seperti di Indonesia.

Indonesia digolongkan sebagai negara dunia ketiga merupakan lahan empuk globalisasi guna menyebarkan paham-pahamnya yang anti-religiusitas. Masyarakat mulai dicekoki dengan berbagai informasi kemewahan modernitas dengan segala tetek-bengeknya. Ini terlihat dari berbagai pola hidup masyarakat era kini (terutama di Indonesia) yang cenderung mengagungkan modernitas, sementara nilai lokalitas sebagai representasi nilai keislaman kini mulai ditinggalkan. Contoh kecilnya semisal menurunnya ketakdziman murid kepada guru, dan pada lingkup yang lebih besar dan populer adalah menjamurnya budaya korupsi yang ditontonkan oleh para pejabat-pejabat negara.

Budaya ketidakjujuran semisal korupsi (sebagai contoh dari rapuhnya moral bangsa) sebenarnya merupakan illat yang pada akhirnya akan berakibat pada berbagai bidang. Kesenjangan antara si kaya dan si miskin, runtuhnya kepercayaan masyarakat terhadap pejabat publik, dan timbulnya sikap negativisme dalam berpolitik dengan banyaknya praktik money politic misalnya, adalah segelintir akibat dari budaya ketidakjujuran yang kini mengakar. Bahkan, ketidakjujuran telah diproduksi sejak anak didik berada di bangku sekolah, misalnya ketika pelaksanaan UN dengan adanya tim suksesa. Bahkan ada spekulasi yang mengatakan bahwa budaya korupsi yang mengakar di Indonesia adalah berawal dari proses pendidikan yang ada di sekolah.

Hal ini merupakan realitas masyarakat kekinian yang sangat miris bagi kita. Di mana masyarakat kini telah meninggalkan kejujuran (yang merupakan pangkal dari akhlak islam dan nilai lokalitas itu sendiri). Lokalitas hanya dianggap sebagai sebuah nilai yang kolot, primitif bahkan sengaja ditinggalkan karena tidak sesuai dengan trend kekinian. Sehingga perlahan tapi pasti secara tidak sadar masyarakat akan dibawa pada arus dekadensi moral (akhlak) yang sama sekali jauh dari ajaran-ajaran agama islam, khususnya ajaran moral islam sebagai panduan dan acuan masyarakat dalam beragama, berbudaya dan bermasyarakat.

Mari Amalkan Akhlak Islam

Islam sebagai agama rahmatan lil alamin memiliki dua dimensi yang nantinya dapat mengantarkan umat muslim pada kebaikan. Dimensi tersebut mencakup dimensi vertikal dan dimensi horizontal. Dimensi vertikal alias hablumminallah atau akhlak untuk beribadah kepada Sang Khaliq secara baik dan benar. Sedangkan dimensi horizontal atau hablumminannas yang mengatur bagaimana cara berakhlak dengan sesama makhluk Allah, manusia. Kedua dimensi ini memiliki arti yang cukup luas jika dikontekstulisasikan pada kehidupan manusia di era sekarang ini. Di mana aspek religiusitas sangat terkait erat dengan kesejahteraan dan kehidupan berakhlak.

Dalam hadis Nabi pun dijelaskan bahwa ada tiga pilar islam, yakni iman, islam dan ihsan. Jika iman diilustrasikan sebagai pondasi, islam diterjemahkan sebagai ketundukan nyata, sedangkan ihsan sebagai aplikasi yang menerangkan kualitas ajaran islam yang didasarkan pada iman dan islam itu sendiri. Pondasi tersebut mempunyai korelasi yang cukup erat yang berpotensi menciptakan akhlak yang baik, dan merupakan inti dari ajaran-ajaran islam. Dengan kata lain, akhlak islam sebenarnya mencakup seluruh ajaran islam itu sendiri.

Pertanyaannya, bagaimanakah akhlak islam itu dapat diamalkan pada era kekinian, di mana globalisasi telah merajalela dan mengendalikan seluruh tatanan moral dan norma masyarakat beragama dan berbangsa. Di sinilah pentingnya kita membumikan kembali pemahaman kita tentang akhlak islam sebagai panduan hidup dalam konteks kekinian. Upaya pembumian pemahaman ini tidak serta merta dapat langsung ditunaikan, tetapi setidaknya dibutuhkan tiga misi.

Menumbuhkan kesadaran kolektif akan pentingnya akhlak islam, baik itu bersifat subjektivitas (timbulnya kesadaran dari diri seseorang) maupun intersubjektivitas (timbulnya kesadaran melalui interaksi antarperorangan atau antarindividu). Kesadaran kolektif ini sebenarnya merupakan tongkat estafet awal dalam upaya pembumian akhlak islam. Dengan adanya kesadaran bahwa umat islam kini tengah dirongrong oleh paham-paham yang disebabkan era globalisasi, setidaknya kemudian akan membuat umat islam berpikir bagaimana menyelamatkan diri dan generasi dari germpuran era globalisasi. Supaya akidah dan tataprilaku umat islam bisa tetap berpedoman pada ajaran-ajaran islam.

Menanamkan akhlak islam sejak usia dini. Misi ini penting dilakukan sebagai pondasi bagi pemahaman generasi muda tentang akhlak islam demi menciptakan bibit-bibit umat yang berpegang pada ajaran-ajaran islami. Dalam teori behaviorisme, penanaman akhlak islami pada anak usia dini dapat dilakukan dengan memberikan contoh-contoh prilaku baik yang ditunjukkan oleh orang-orang di sekitarnya. Sehingga hal ini dapat membentuk pribadi anak yang baik, karena lingkungan yang baik akan mempengaruhi perkembangan pribadi yang baik pula.

Re-afirmasi atau peneguhan kembali nilai-nilai keislaman (akhlak islam) yang terefleksi dalam kebudayaan dan loklitas dalam masyarakat. Nilai-nilai lokal yang banyak mengandung nilai akhlak keislaman di samping dipertahankan, setidaknya juga harus diteguhkan kembali melalui praktik-praktik prilaku sehari-hari. Hal ini harus dilakukan secara massif. Karena tanpa adanya upaya peneguhan secara massif ini lambat laun nilai-nilai lokalitas sebagai cerminan religiusitas masyarakat akan tergerus oleh globalisasi.

Misi terakhir ini juga terkait erat dengan islam seperti yang ada sekarang (khususnya islam Nusantara) ini, yang tidak lepas dari kebudayaan atau tradisi dalam masyarakat. Karena sejarah telah mencatat bahwa islam yang dibawa oleh Walisongo ke tanah jawa khususnya, juga dibaurkan dengan kebudayaan atau adat dan tradisi masyarakat Jawa, sehingga sampai saat ini Islam tetap berjaya.

Akhirnya, tulisan ini hanya bentuk dari kegelisahan penulis terhadap akhlak umat muslim yang mulai digerus oleh era globalisasi. Terlepas dari itu, penulis hanya bisa berharap mudah-mudahan ketiga misi di atas bisa segera dilakukan sehingga pada gilirannya akan menciptakan manusia-manusia yang berakhlak baik dengan nilai-nilai keislaman sebagai pondasinya. Wallahu A’lam.


Artikel ini ditulis oleh Alfaroby, Anggota Wasathi Jakarta.