Maksud Suatu Redaksi (Kaidah Kedua)

 
Maksud Suatu Redaksi (Kaidah Kedua)

LADUNI.ID - 

مقاصد اللفظ على نية اللافظ
"Maksud suatu kata adalah sesuai niat pengucapnya".

Kaidah ini adalah salah satu cabang dari kaidah الأمور بمقاصدها yang dibahas sebelumnya. Urgensi kaidah ini adalah membatasi tafsiran suatu perkataan/ucapan pada maksud pengucapnya saja, bukan apa yang dipahami atau disangka oleh pendengar. Namun bila pengucapnya tak punya maksud khusus, maka biasanya hukumnya kembali pada makna kata itu sendiri secara umum.

Contoh penerapannya:

1. Bila seorang suami berkata pada istrinya: Kau sudah kucerai, kucerai, kucerai. Berapa talak yang jatuh? Bila si suami mengulang kata cerai itu dalam rangka memulai cerai baru, maka jatuh tiga talak. Bila maksudnya adalah sekedar menguatkan yang pertama saja, maka jatuh satu talak. Bila asal mengulang saja tanpa niat spesifik, barulah jatuh tiga sesuai jumlah kata itu.

2. Bila seorang suami memanggil istrinya "mama" atau "ibu" dengan niatan dhihar, maka jatuhlah hukum dhihar atasnya dan dia harus menjalani sanksi. Bila maksudnya adalah sekedar panggilan meniru anak-anaknya, dan ini yang lumrah di negara kita, maka tak masalah.

3. Bila seorang istri meletakkan nama suami di belakang namanya, maka bila ia bermaksud intisab atau mengaku sebagai anaknya si suami secara nasab, maka itu haram. Namun bila ia melakukan itu hanya untuk memberi tahu orang lain bahwa dirinya adalah istri dari orang yang namanya dia sertakan, maka tak masalah. Yang kedua inilah yang biasa berlaku di Indonesia di mana seringkali seorang istri berada di lingkungan kerja suaminya sehingga orang pun lebih mudah mengenal seorang wanita bila ia menyebut suaminya siapa.

4. Shalat fardlu dengan niat sunnah, maka yang diperhitungkan adalah niatnya sehingga shalatnya tidak sah.

5. Dalam hal akidah, bila seseorang berkata suatu perkataan yang bisa ditafsirkan sebagai kesyirikan dan bisa juga tidak, maka maksud yang diperhitungkan hanyalah maksud pengucapnya saja. Misalnya berkata: "Dokter telah menyembuhkanku", bila maksudnya adalah dokter tersebut secara independen memberikan kesembuhan tanpa izin Allah, maka itu syirik. Tapi bila maksudnya dokter hanyalah perantara kesembuhan yang diberikan Allah, maka tidak syirik. Hal yang sama berlaku dalam tawassul dan istighatsah yang dilakukan seorang muslim. Bila maksudnya adalah menyekutukan Allah tentu syirik, namun bila tidak bermaksud demikian maka tidak boleh dihukumi syirik.

Jadi, semua redaksi dikembalikan maksudnya pada pengucapnya, bukan pada anda atau siapapun yang mendengarnya. Adalah lucu bila suatu ucapan diucapkan oleh A kemudian maksudnya ditentukan oleh B.

Namun kaidah ini punya pengecualian, yakni dalam kasus sumpah yang diucapkan di depan hakim. Maka makna sumpah itu sesuai maksud hakim, bukan sesuai maksud orang yang bersumpah.

Oleh: Abdul Wahab Ahmad