Biografi KH. Ma’shum Zainullah, Pendiri Pesantren Nurut Taqwa Bondowoso

 
Biografi KH. Ma’shum Zainullah, Pendiri Pesantren Nurut Taqwa Bondowoso

Daftar Isi:

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1  Lahir
1.2  Riwayat Keluarga
1.3  Wafat

2.    Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1  Pendidikan
2.2  Guru-Guru

3.    Perjalanan Hidup dan Dakwah
3.1  Mendirikan Pesantren

4.    Referensi

1. Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1 Lahir
KH. Ma’shum Zainullah merupakan pendiri dan sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Nurut Taqwa Grujugan, Cermee, Bodowoso. Beliau lahir dari pasangan Bapak Narmo dan Ibu Rukmiyati (Hj. Halimatus Sa’diyah) pada 11 November 1951 M. di Ramban Kulon, Cermee, Bondowoso Jawa Timur. Beliau adalah anak pertama dari tiga bersaudara; H. Baidawi dan Bapak Suharto.

1.2 Riwayat Keluarga
Kyai Ma’shum menikah dengan Nyai Raudlatul Hayati. Pada tahun 1974 M. dari pernikahannya beliau dikaruniai dua anak, yakni:
Nyai Hj. Nur Aini Ma’shum (1977),
KH. Nawawi Ma’shum (1985).

1.3 Wafat
KH. Ma’shum Zainullah berpulang ke Rahmatullah pada 9 Januari 2021 M. karena sakit.

2. Sanad Ilmu dan Pendidikan

2.1 Pendidikan
Ketika menginjak usia remaja, Kyai Ma’shum hijrah ke daerah Situbondo untuk mencari ilmu, tepatnya di Pondok Pesantren Curah Jeru yang saat itu diasuh oleh dua kyai bersaudara; KH. Rusydi dan KH. Rasyidi. Selama beliau menuntut ilmu di pesantren tersebut, adalah Ibu Nawiya yang merupakan saudara tertua lain ibunda Kyai Ma’shum yang menanggung biaya hidupnya. Saat itu pun, ekonomi Ibu Nawiya masih jauh dari kata cukup. Untuk membiayai Kyai Ma’shum muda, beliau harus menjual dagangannya dengan berjalan kaki hingga sampai di daerah di mana Kyai Ma’shum muda belajar agama Islam.

Setelah cukup lama menimba ilmu di Pondok Pesantren Curah Jeru, kemudian beliau nyantri di Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton Probolinggo di bawah asuhan KH. Zaini Mun’im. Saat belajar di pesantren tersebut, beliau dikenal dengan salah seorang santri yang tawadu’, wara’, memiliki pengetahuan agama yang cukup baik dan memiliki rasa tanggungjawab besar.

Mengetahui hal itu, maka KH. Zaini Mun’im memerintahkan beliau untuk membimbing beberapa santri, menjadi pengurus pesantren. Dan menariknya, para santri yang tertarik untuk mendapat bimbingan dari Kyai Ma’shum muda jauh lebih banyak dari pada jumlah santri bimbingan pengurus lainnya. Padahal tak sedikit dari para pengurus yang lebih alim dari pada beliau.

Semasa belajar di Pesantren Nurul Jadid, beliau juga dikenal dengan pribadi yang supel, akrab dengan para santri, pengurus, dan bahkan juga dikenal dekat dengan putra pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid, KH. Muhammad Hasyim Zaini, BA.

Setiap kali putra pengasuh itu hendak pangkas rambut, pasti beliau meminta Kyai Ma’shum muda untuk melakukannya. Karena budi pekertinya yang luhur, ketaatan serta keakrabannya dengan berbagai kalangan di pesantren, maka hampir semua anggota keluarga besar pesantren mengenal Kyai Ma’shum muda, hingga beliau sempat dijodohkan dengan salah seorang gadis asal Madura.

2.2 Guru-Guru

  1. KH. Rusyidi,
  2. KH. Rasyidi,
  3. KH. Zaini Mun’im,
  4. KH. Ahmad Sufyan Miftahul Arifin,
  5. KH. Hasan Abdul Wafi.

3. Perjalanan Hidup dan Dakwah
Pada masa awal kiprahnya di tengah-tengah masyarakat, Kyai Ma’shum ditemani oleh istri tercinta, Nyai Raudlatul Hayati. Sebelum beliau mendirikan sebuah pondok pesantren, beliau aktif mengadakan dan memimpin acara keagamaan seperti shalawatan, tahlilan dan pengajian yang diselenggarakan di rumah warga sekitar.

Sementara dalam mengarungi kehidupan rumah tangga, khususnya masalah ekonomi, keluarga Kyai Ma’shum masih belum stabil. Masih sangat sederhana. Anyaman bambu yang dijadikan dinding rumah beliau masih bolong-bolong, bahkan ayam peliharaannya dengan mudah bisa keluar masuk rumah.

Meski bukan satu-satunya, menjahit merupakan sumber mata pencaharian utama. Di samping itu, beliau juga pernah menjadi guru sokwan di SDN Sempol dan mengelola tanah sewaan untuk mendapatkan penghasilan tambahan.

Kyai Ma'shum bukan hanya kyai pendidik yang tinggal menepi di manara gading pesantren. Beliau tidak menjauh dari keramaian, beliau menyadari, bahwa masyarakat awam justru lebih membutuhkan pendampingan. Terutama di bidang keagamaan, karena itulah, santri beliau bukan hanya mereka yang secara formal tercatat sebagai santri dan tinggal di pesantren. Santri beliau adalah masyarakat luas yang sejatinya lebih memerlukan bimbingan.

Dakwah kemasyarakatan ini melengkapi peran kyai Ma'shum sebagai kyai untuk semua kalangan, khususnya kalangan masyarakat awam yang tinggal di perkampungan.

Kyai Ma'shum adalah, meminjam ungkapan Gus Dur, kyai kampung yang bersentuhan langsung dengan masyarakat di sudut-sudut perkampungan. Tidak hanya didatangi, Kyai Ma'shum juga rajin mendatangi mereka, baik untuk dakwah kemasyarakatan, maupun sekadar mengikat hubungan persaudaraan.

Saat kondisi beliau semakin melemah seiring usia yang semakin sepuh, serta sakit yang mulai menyerang, aktivitas dakwahnya di tengah-tengah masyarakat seolah tak turut padam. Mungkin karena beliau sadar, bahwa semua adalah panggilan perjuangan. Karena itu beliau tidak mau kalah dan menyerah dengan rasa sakit yang datang.

Beliau menghayati betul pesan perjuangan dari para guru beliau. Seperti Kyai Haji Zaini Mun'im, Kyai Haji Ahmad Sufyan dan Kyai Haji Hasan Abdul Wafi. Dari para guru inilah, makna perjuangan dan melayani kepentingan banyak orang beliau dapatkan.

3.1 Mendirikan Pesantren
Sebagai alumni pesantren, beliau merasa memiliki tanggungjawab untuk menyiarkan agama Islam kepada masyarakat, khususnya di Desa Grujugan dan sekitarnya. Maka kemudian beliau mendirikan sebuah lembaga pendidikan agama Islam (Madrasah Diniyah) yang sederhana; media pembelajaran dan tenaga pendidik seadanya.

Alhamdulillah, keberadaan madrasah tersebut mendapatkan sambutan hangat dari masyarakat. Anak-anak berduyun-duyun mengikuti pembelajaran di madrasah tersebut. Bahkan santrinya juga ada yang berasal dari desa sekitar; Ramban, Sempol dan Prajekan. Inilah yang kemudian menjadi cikal-bakal berdirinya sebuah pesantren bernama Pondok Pesantren Nurut Taqwa.

Dalam masa periode awal pendirian pesantren, KH. Ma’shum (panggilan akrabnya setelah lama membina madrasah dan menjadi takmir masjid adalah Ustadz Nursahwi), mendapatkan tantangan luar biasa dari sebagian masyarakat.

Berbagai ancaman, hinaan, hasutan, hatta tindakan fisik berupa pelemparan batu terhadap rumahnya adalah hal yang acapkali beliau dapatkan. Kendati demikian, semangat beliau tetap kuat dan bahkan tambah kuat untuk berjuang tafaqqahu fi al dien.

Karena beliau memiliki track record baik semenjak keluar dari pesantren, hingga lama mengabdikan diri kepada masyarakat, maka pada tahun 1982 M. beliau diangkat menjadi anggota DRPD Bondowoso. Namun, hanya satu periode, beliau diminta berhenti oleh KH. Ahmad Sufyan Miftahul Arifin salah satu guru spiritual KH. Ma’shum sehingga bisa lebih fokus dalam mendidik dan membimbing para santri-santrinya.

4. Referensi
Nuruttaqwa.net

Sebelumnya artikel ini diedit pada tanggal 11 Agustus 2023, dan diedit kembali dengan penyelarasan bahasa pada tanggal 09 Januari 2024,

 

Lokasi Terkait Beliau

List Lokasi Lainnya