Tiga Pondasi Awal Rasulullah dalam Membangun Peradaban di Madinah

 
Tiga Pondasi Awal Rasulullah dalam Membangun Peradaban di Madinah
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Setelah Baiatul 'Aqabah kedua, kaum Anshar pun kembali ke Madinah. Mereka sangat antusias menunggu dan mengharap kedatangan Rasulullah SAW hijrah ke Madinah. Sementara itu, kaum Muslimin di Makkah yang mendengar kesepakatan antara Rasulullah SAW dengan Anshar juga sudah siap berhijrah ke Madinah.

Hijrah Rasulullah SAW dan kaum Muslimin ke Madinah itu bukan tanpa alasan. Ada berbagai faktor yang menjadi pemicu untuk melakukan hijrah. Di antaranya adalah sebagai berikut:

Pertama, karena adanya siksaan dan tekanan dari kaum Kafir Quraisy. Begitu Rasulullah SAW melakukan dakwah secara terbuka, berbagai ancaman mulai diarahkan kepadanya dan orang-orang beriman yang mengikutinya.

Kedua, adanya kekuatan yang akan membantu dan melindungi dakwah, sehingga memungkinkan Rasulullah SAW berdakwah dengan leluasa di Madinah.

Ketiga, para pembesar kaum Quraisy dan sebagian besar masyarakat Makkah menganggap Rasulullah SAW sebagai pendusta, sehingga mereka tidak mempercayainya.

Dengan ketiga faktor di atas ,maka Rasulullah SAW memutuskan untuk berhijrah ke Madinah. Hari Senin, 22 September 622 M. menjadi hari yang bersejarah bagi umat Islam. Hari di mana Rasulullah tiba di Madinah dalam rangka hijrah, setelah menempuh perjalanan berpuluh hari dari Makkah.

Karena merasa kedatangan "sang juru selamat", maka masyarakat Madinah menyambut Rasulullah SAW dengan penuh suka cita. Maklum, Madinah yang saat itu masih bernama Yatsrib dihuni oleh masyarakat yang beragam. Mulai dari beda suku, etnis, hingga agama. Sehingga, mereka kerap kali bekonflik dan berperang satu sama lainnya. Kedatangan Rasulullah SAW di Madinah diharapkan bisa menjadi penengah atau pemersatu di antara mereka.

Dalam beberapa sumber sejarah disebutkan, bahwa Rasulullah SAW berhasil membangun kota Yatsrib yang biasa-biasa saja menjadi kota Madinah yang berperadaban dan diperhitungkan di Jazirah Arab. Selama beberapa waktu sebelum suatu kelompok di Madinah menghianatinya, Rasulullah SAW juga berhasil membangun masyarakat yang majemuk hidup dalam harmoni dan damai.

Sebagaimana diuraikan dalam Buku Madinah: Kota Suci, Piagam Madinah, dan Teladan Muhammad SAW, Zuhairi Misrawi mengatakan, setidaknya ada tiga hal dasar yang dilakukan Rasulullah SAW dalam membangun peradaban pada fase Madinah. Tiga hal dasar itu sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat Madinah sehingga mereka hidup aman, tenteram, saling menghargai, dan dalam kesejahteraan.

Pertama, menjadikan masjid sebagai pusat semua kegiatan (center of activities). Usai tiba di Madinah, Rasulullah SAW membangun sebuah masjid yang dikenal dengan Masjid Nabi (Nabawi). Masjid ini memiliki bangunan yang sangat sederhana; atapnya dari daun pohon kurma, pilarnya dari batang pohon kurma, lantainya kerikil dan berpasir, dan bangunannya dari batu bata.

Akan tetapi, jangan salah, bangunan itu bukan sekedar bangunan biasa. Sebuah bangunan yang menjadi penanda kebangkitan peradaban Islam. Karena Rasulullah SAW memfungsikan masjid ini untuk semua kegiatan. Mulai dari mengajarkan ajaran Islam, hikmah, proses belajar mengajar baca-tulis hingga menyusun strategi perang atau politik. Semua diadakan di Masjid Nabi, bukan hanya untuk shalat saja. Singkatnya, Rasulullah menggunakan masjid sebagai tempat pertemuan dan pembinaan umat.

Kedua, membangun persaudaraan antar sesama Muslim (ukhuwah islamiyah). Pada fase Madinah, ada dua kelompok umat Islam, yakni kaum Muhajirin (umat Islam Makkah yang hijrah ke Madinah) dan kaum Anshar (umat Islam yang asli penduduk Madinah). Lalu Rasulullah SAW mempersaudarakan mereka satu persatu, satu Muhajirin dengan satu Anshar. Rasulullah juga selalu menegaskan bahwa sesama Muslim itu bersaudara.

Tidak lain, ini dilakukan Rasulullah SAW untuk memperkuat solidaritas dan kohesivitas sosial antar sesama umat Islam. Sehingga mereka tidak mudah bertikai dan berperang, sebagaimana watak Arab Jahiliyah. Bagi seorang Muslim, persaudaraan bukan saja didasarkan pada darah, tapi juga keimanan yang sama.

Ketiga, membangun persaudaraan dengan umat agama lain (ukhuwan insaniyah). Rasulullah SAW sadar betul bahwa Madinah memiliki masyarakat yang majemuk. Ada umat Islam, ada umat Nasrani, ada umat Yahudi, dan yang lainnya. Untuk membangun sebuah kota yang kuat dan damai, tidak ada jalan bagi Rasulullah SAW kecuali dengan mempersatukan masyarakat yang berbeda itu.

Kemudian, akhirnya Rasulullah SAW mencetuskan sebuah kesepakatan bersama, Piagam Madinah (Constitution of Medina). Piagam ini menjadi "titik temu" (kalimatun sawa) bagi masyarakat Madinah yang beragam. Dengan Piagam Madinah, Rasulullah SAW berhasil mempersatukan masyarakat Madinah yang selama itu tidak mungkin dipersatukan. Piagam Madinah menjadi konstitusi pertama dalam membangun masyarakat yang bhinneka atau beragam itu, dengan berlandaskan nilai-nilai kesetaraan dan keadilan bersama.

Tiga pondasi dasar itulah yang dilakukan Rasulullah SAW selama fase Madinah. Sehingga Madinah menjadi sebuah kota yang berperadaban dan diperhitungkan di Jazirah Arab pada saat itu. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 13 Mei 2019. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Penulis: A. Muchlishon Rahmat

Editor: Hakim