Tak Ada Makan Sahur pada Malam Proklamasi

 
Tak Ada Makan Sahur pada Malam Proklamasi

Oleh AYUNG NOTONEGORO*

LADUNI.ID, Jakarta - Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 bertepatan dengan bulan Ramadan. Mansur Suryanegara dalam Api Sejarah (jilid 2), menyebutkan peristiwa itu terjadi tepat pada Jumat Legi, 9 Ramadan 1364 H.

Mungkin banyak orang yang telah tahu tentang fakta tersebut. Kemerdekaan bertepatan dengan bulan puasa. Tapi, tahukah kalian pada malam yang paling menentukan sejarah bangsa ini, tak ada makan sahur selayaknya umat Islam saat berpuasa. Para tokoh bangsa yang berkumpul di kediaman Laksamana Media di Rengasdengklok diselimuti ketegangan. Tak kepikiran untuk makan sahur.

Jepang meski telah bertekuk lutut dihadapan Sekutu pasca Hirosima dan Nagasaki luluh lantak terkena bom atom musuh, tak segera memberikan kemerdekaan pada bangsa Indonesia. Sebagaimana sempat dijanjikan. Justru, tentara Dai Nippon itu mendapat tugas dari Sekutu untuk menjaga status quo daerah-daerah yang dikuasainya. Tak terkecuali Indonesia.

"Dengan hati yang luka kami terpaksa melakukannya," begitu gertak Soomubuchoo, Nishimura, tatkala Hatta bertanya tentang apakah Jepang akan menembaki rakyat Indonesia yang nekat memproklamirkan kemerdekaannya.

Sementara itu, para pemuda angkatan 45 terus mendesak Bung Karno dan Bung Hatta untuk segera memproklamirkan kemerdekaan. Mereka telah dibakar semangat revolusi. Hingga akhirnya, kedua tokoh bangsa itu dijemput paksa oleh para pemuda. Mereka dibawa ke Rengasdengklok sehari menjelang proklamasi.

Di Rengasdengklok, tepatnya di rumah yang dipinjami oleh Laksamana Meida itu, pertemuan bersejarah itu terjadi. Mereka berkumpul hingga subuh dengan berbagai perdebatan dan kegentingan. Sekali lagi, tak terpikirkan di benak mereka untuk makan sahur.

"Sepanjang ingatanku, kalau pun ada minuman yang disediakan, itu hanyalah segelas air soda hangat untuk membangkitkan kembali kekuatan orang-orang yang sudah tidak tidur selama berhari-hari," kenang Soekarno sebagaimana tercatat dalam "Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia" anggitan Cindy Adams.

Ya, hanya segelas soda itu saja yang tersedia. Tak ada makan sahur yang bisa dinikmati untuk bekal puasa keesokan harinya.

BM Diah dalam memoarnya yang diterbitkan ulang dengan judul "Catatan BM Diah: Peran Pivotal Pemuda Seputar Lahirnya Proklamasi 17-8-45" menceritakan para tokoh bangsa yang sedang sibuk rapat dan berdebat itu, sempat masuk ke ruang makan. Berkumpul di meja makan. Namun, bukan untuk makan. Mereka justru berunding dengan para pejabat Jepang yang datang.

"Setelah berbincang-bincang sebentar di kamar makan, Laksamana Tadashi Maeda, Nishijima, Yoshizumi dan Myoshi dari Gunseikanbu, berdiri. Mereka meninggalkan Bung Karno, Hatta dan Soebardjo pada pendirian mereka sendiri," tulisnya.

Setelah itu, masih menurut Diah, ketiga tokoh bangsa itu berpindah ke kamar tamu yang lebih kecil. Mereka merumuskan naskah proklamasi. Kemudian diplenokan dihadapan para Pemuda angkatan 45, PETA, dan anggota PPKI yang berkumpul di ruang tengah. Di sanalah kemudian terjadi beberapa revisi pada naskah proklamasi hingga kita kenal dewasa ini.

Hingga pukul 4.30, waktu imsak telah berlalu, pertemuan tersebut diakhiri. Mereka segera keluar dari kediaman Maeda. Soekarno pulang hendak istirahat, BM Diah sibuk menggandakan pamflet proklamasi dan membagikannya di seputar Jakarta, sedangkan yang lain mempersiapkan panggung seadanya untuk proklamasi di halaman rumah yang beralamat di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 itu.


*) Artikel ini ditulis oleh Ayunk Notonegoro, Penggerak di Komunitas Pegon untuk mendokumentasi, meneliti, dan mempublikasi khazanah pesantren di Banyuwangi.