Menyoal "Kedekatan" Ulama dengan Penguasa

 
Menyoal
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Merebak sebuah paham di tengah-tengah masyarakat akhir-akhir ini tentang dua kategori ulama. Kategori yang pertama adalah ulama yang memilih penguasa, sedangkan yang kedua adalah penguasa yang memilih ulama. Kategori pertama adalah jenis yang menunjukkan tingginya peran seorang ulama sehingga dia memutuskan siapa yang hendak dituntunnya sebagai penguasa, dalam konteks yang lebih riil sebagai presiden. Sedangkan tipe kedua, ulama yang dipilih oleh penguasa untuk berada di sisinya. Dalam narasinya, diangkatlah jenis ulama yang pertama ini sebagai sebenar-benarnya ulama, sedangkan yang kedua sebagai ulama yang buruk (Al-Ulama’ As-Su’), ulama bayaran atau istilah-istilah lainnya.

Klasifikasi di atas memang penuh problem, hal ini karena pengelompokan yang seperti ini seringkali mereduksi banyak hal, termasuk pemahaman masyarakat umum terhadap sosok ulama yang akan mereka teladani. Karena, harus kita akui bahwa peran ulama di kancah politik di Indonesia akhir-akhir ini memang sedang begitu tingginya. Dalam babakan sejarah demokrasi Indonesia, tidak bisa dipungkiri bahwa peran ulama sebegitu diperhitungkan, suara politik umat Islam begitu diperhatikan, sehingga seperti sebuah syarat kalau ingin menang, maka suara umat Islam harus diamankan. Karena memang penduduk terbesar di Indonesia adalah masyarakat Muslim.

Problem masyarakat awam (terutama yang ngamuk'an), dengan gampang sekali disulam untuk menjadi “mangsa” utama krisis pemahaman ini. Dengan gampang mereka menerima bahwa ulama yang “benar-benar ulama” adalah mereka yang bersikap kritis pada pemerintahan. Sedangkan, ulama yang berada pada pihak penguasa saat ini akan diklaim sebagai penjilat belaka.

Hal ini secara tidak langsung mengarahkan umat kepada sebuah pemahaman akan penafian peran ulama dalam proses pembangunan bangsa. Padahal, sejak masa Al-Khulafa’ Ar-Rasyidun, politik bagi para pemuka agama bukanlah suatu yang kotor, justru merupakan istrumen suci yang harus diintervensi secara langsung oleh mereka. Sampai dalam babakan sejarah berikutnya, kita menemukan banyak ulama yang kemudian secara konsisten menjadi mufti atau pemberi keputusan hukum bagi kesultanan yang berkuasa pada zaman mereka. Di antara ulama yang masyhur dalam konteks tersebut adalah Abul Hasan Al-Mawardi yang menulis sebuah karya penting dalam literatur politik Islam, yaitu Kitab Al-Ahkam Al-Sulthoniyyah.

Stigma buruk terhadap ulama yang dekat dengan kekuasaan ini sebenarnya berangkat dari salah satu riwayat dari Abu Hurairah yang juga dikutip dalam Kitab Ihya' Ulumiddin sebagai berikut:

شِرَارُ الْعُلَمَاءِ الَّذِيْنَ يَأْتُوْنَ الْأُمَرَاءَ، وَخِيَارُ الْأُمَرَاءِ الَّذِيْنَ يَأْتُوْنَ الْعُلَمَاءَ

Seburuk-buruknya ulama adalah mereka yang mendatangi penguasa, dan sebaik-baiknya penguasa adalah yang mendatangi ulama.”

Hadis tersebut dimuat oleh Ibnu Majah pada bagian pertama. Menurut Al-Hafidh Al-Iroqi, riwayat Hadis dari jalur Abu Hurairah ini dinilai dho’if. Meski demikian, banyak ulama yang kemudian memasukkan Hadis ini sebagai basis argumentasi ketika membahas permasalahan etika seorang ulama.

Lalu bagaimana seharusnya memahami Hadis tersebut? Kita mulai dari pandangan sekaligus komentar Rasyid Ridha yang disarikan dalam Kitab Maqolat wa Fawa’id Haditsiyyah min Majallat Al-Manar, sebagaimana berikut ini:

وَمَا زَالَ الْعُلَمَاءُ الْعَامِلُوْنَ وَالصُّوْفِيَّةُ الْمُخْلِصُوْنَ يَحْتَجُوْنَ بِهَذَا الْحَدِيْثِ، وَمَا وَرَدَ فِي مَعْنَاهُ، لِأَنَّهُ مُؤَيَّدٌ بِسِيْرَةِ السَّلَفِ الصَّالِحِ، وَكَانُوْا يَتَّهِمُوْنَ كُلَّ عَالِمٍ يَغْشَى مَجَالِسَ الْأُمَرَاءِ وَالسَّلَاطِيْنِ إِلَّا إِذَا كَانَ بِمِقْدَارِ مَا يُؤَدِّي النَّصِيْحَةَ الْوَاجِبَةَ وَلَمْ يَأْخُذْ مِنْ عَطَايَاهُمْ شَيْئًا، وَإِحْيَاءُ عُلُوْمِ الدِّيْنِ طَافِحٌ بِآثَارِ السَّلَفِ فِي ذَلِكَ، وَقَدْ اِنْقَلَبَ الْأَمْرُ الْآنَ، فَإِنَّنَا نَرَى مِنَ النَّاسِ مَنْ يَسْتَدِلُّ عَلَى حُسْنِ حَالِ الْمُنْتَسِبِيْنَ إِلَى الْعِلْمِ وَالصَّلَاحِ بِالْقُرْبِ مِنَ الْمُلُوْكِ وَالْأُمَرَاءِ، وَرُبَّمَا يَعُدُّوْنَ مِنْ كَرَامَاتِهِمْ مَا يَمْنَحُوْنَهُ مِنَ الْحُلِّيِّ وَالْحِلَلِ الذَّهَبِيَّةِ وَالْفِضِّيَّةِ الَّتِيْ تُسَمَّى النِّيَاشِيْنَ وَكِسْوَةَ الرُّتْبَةِ وَالتَّشَرِيْفِ، فَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ .

Kutipan panjang di atas menyimpulkan, bahwa para ulama yang benar-benar ulama, serta para sufi (orang yang senantiasa menjaga kesucian nuraninya) menjadikan Hadis sebagaimana disebutkan di atas sebagai hujjah. Makna secara umum dari Hadis di atas adalah penguatan terhadap jalan para salafus sholih, mereka mencurigai setiap orang alim yang berkumpul dengan majelis pemerintahan dan penguasa, kecuali bagi mereka yang hanya sekadar memberikan nasihat sebagai kewajiban serta tidak mengambil sesuatu apapun dari para penguasa itu.

Jadi, kedekatan seorang ulama dengan umaro’ (pemerintah) sebagaimana dimaksud dalam Hadis di atas tidaklah mutlak. Melainkan karena ada sebab yang membuat kedekatan itu memperburuk citra seorang ulama. Sebab itu tak lain adalah “modus yang tersembunyi dibaliknya. Sedangkan ketika seorang ulama memberikan saran atau dimintai pendapat akan suatu hal, maka itu merupakan sebuah kewajiban bagi mereka untuk menyampaikan kepada pemerintah.

Hal ini dipertegas oleh sebuah riwayat dari Ad-Dailami dalam Kitab Al-Maqashid Al-Hasanah, dari jalur Sayyidina Umar secara marfu’ (lafadhnya dinisbatkan langsung pada Rasulullah), sebagaimana berikut:

إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْأُمَرَاءَ إِذَا خَالَطُوْا الْعُلَمَاءَ وَيَمْقُتُ الْعُلَمَاءَ إِذَا خَالَطُوْا الْأُمَرَاءَ لِأَنَّ الْعُلَمَاءَ إِذَا خَالَطُوْا الْأُمَرَاءَ رَغِبُوْا فِي الدُّنْيَا وَإِذَا خَالَطَهُمُ الْأُمَرَاءُ رَغِبُوْا فِي الْآخِرَةِ

Riwayat ini memperjelas sebab dari tercelanya seorang ulama yang mendekati penguasa dan terpujinya seorang penguasa yang mendekati ulama. Karena jika seorang ulama memilih untuk mendekati atau berkumpul dengan penguasa, maka mereka akan mudah terbuai dengan dunia. Dan, jika seorang penguasa kerap bergaul dengan ulama, maka mereka akan cenderung mencintai akhirat.

Selanjutnya, dari sisi kebahasaan, dua riwayat (dari Abu Hurairah dan Umar bin Khatthab) itu menggunakan kata yang tersusun dari huruf kho’, lam dan tho’ (خالط). Kata yang tersusun dari akar kalimat ini menunjukkan sebuah proses penyatuan antara dua benda menjadi satu, sehingga keduanya menjadi tergabung dan sulit terpisah. Hal ini menunjukkan makna yang dimaksud dalam riwayat di atas tidaklah sekadar pergaulan biasa, melainkan sebuah hubungan yang begitu dekat sehingga antara seorang ulama dan si penguasa terlihat tiada sekat, sehingga satu sama lain sama rata. Dan tentu hal ini megecualikan ketika seorang ulama berniat memberikan nasihat kepada penguasa tersebut, atau si penguasa meminta saran kepadanya terkait situasi bangsa.

Hal ini juga ditegaskan oleh Sayyid Al-Imam Ahmad bin Zain Al-Habsyi yang dimuat dalam Kitab Al-Minhaj As-Sawi fi Thariqah As-Sadah Ali Ba’alawi:

اَلنَّهْيُ عَنِ الدُّخُوْلِ عَلَى السَّلَاطِيْنِ وَالسَّعْيِ لَهُمْ لَيْسَ عَلَى إِطْلَاقِهِ، بَلْ هُوَ فِي حَقِّ مَنْ يَطْلُبُ الدُّنْيَا، وَاَمَّا مَنْ قَصَدَهُ بِذَالِكَ النَّصِيْحَةَ لَهُمْ فَهُوَ خَارِجٌ عَنِ الذَّمِّ

Bahwa larangan bagi ulama untuk mengunjungi penguasa bukanlah secara mutlak, tetapi hanya diperuntukkan bagi mereka yang mencari hal-hal yang bersifat duniawi semata. Sedangkan bagi ulama yang bertujuan untuk memberikan saran atau bahkan diminta oleh penguasa, maka mereka tidak bisa dianggap tercela.

Lebih lanjut, Imam Ahmad bin Zain Al-Habsyi menulis dan dinukil oleh kitab yang sama, sebagaimana berikut:

فَإِطْلَاقُ الذَّمِّ عَلَى ذَالِكَ مِنَ الْخَطَاءِ، فَإِنَّ كَثِيْرًا مِنَ الصَّالِحِيْنَ قَدْ دَخَلُوْا عَلَيْهِمْ وَلَكِنْ نَصِيْحَةً لَهُمْ وَ شَفَقَةً عَلَيْهِمْ وَ عَلَى الْمُسْلِمِيْنَ

Mengatakan setiap ulama yang dekat dengan kekuasaan itu adalah adalah tercela, dan merupakan sebuah kesalahan, karena banyak dari orang-orang sholeh yang masuk kepada penguasa dengan tujuan memberikan nasihat serta didasarkan pada rasa kasih sayang terhadap umat Islam.

Bahkan, dalam Kitab Al-Minhaj As-Sawi, Al-Habib Zain bin Smith menceritakan bahwa Al-Habib Abdullah bin Abu Bakar Al-Aydrus bersedia mencium telapak kaki penguasa supaya mereka tidak menyakit kaum muslimin.

Kesimpulannya, mendekat kepada penguasa bukanlah suatu perbuatan tercela selama bertujuan tercapainya kemaslahatan dengan cara memberikan nasihat kepada para penguasa itu. Yang kemudian membuat tercela adalah motif yang terselubung di dalamnya, jika ternyata adalah faktor duniawi yang dituju dan diharap dengan kedekatan itu, maka jelaslah hal itu sangat tercela. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 11 Juni 2019. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Penulis: M. Hasanie Mubarok

Editor: Hakim