Kisah Paidi yang Dulu Pemulung Kini Ingin Umrahkan Satu Desa

 
Kisah Paidi yang Dulu Pemulung Kini Ingin Umrahkan Satu Desa

LADUNI.ID, Jakarta - Takdir orang memang tidak ada yang tahu. Begitu pula masa depan seseorang tidak ada yang bisa menerka secara pasti. Bisa jadi sekarang seorang bernasib buruk namun di masa depan ia menjadi seorang yang sukses. Begitupun sebaliknya.

Itulah yang terjadi kepada Paidi (37), seorang yang dulu dikenal sebagai seorang pemulung yang rumahnya hanya berdinding anyaman bambu dan berlantai tanah. Namun kini, nasib Paidi berubah drastis dan menjadi sosok yang banyak dicari kalangan petani.

Keadaan Paidi kini memiliki rumah yang bagus, jauh dari keadaan rumah yang dulu. Ya, nasib Paidi sejak tiga tahun terakhir menjadi sangat baik berkat upayanya mengembangkan porang (sejenis umbi yang dapat dijadikan bahan makanan, kosmetik, dan lain-lain).

Paidi yang tinggal di Desa Kepel, Kecamatan Kare, Kabupaten Madiun, kini berhasil menjual porang hingga luar negeri. Bahkan tidak tanggung-tanggung, Paidi juga sudah biasa memberikan modal kepada petani-petani di kampungnya yang ingin ikut mengembangkan porang seperti miliknya.

Yang paling mencengangkan lagi, Paidi bahkan telah mampu memberangkatkan sejumlah petani untuk umroh ke Tanah Suci Mekkah.

Awal Cerita Paidi

Pertama kali Paidi memulai usahanya mengembangkan porang adalah berawal ketika Paidi mengunjungi salah seorang temannya di Desa Klangon, Kecamatan Saradan, Kabupaten Madiun. Pertemuan yang berlangsung pada 10 tahun silam tersebut membuat Paidi tertarik kepada borang lantaran warga setempat Desa Klangon tersebut banyak membudidayakan porang.

Setelah Paidi belajar kepada teman satu panti asuhannya tersebut, Paidi kemudian mencari berbagai informasi terkait porang di internet sehingga Paidi pun menyimpulkan bahwa porang bukan hanya merupakan kebutuhan warga setempat, melainkan juga kebutuhan dunia.

"Setelah saya cek, ternyata porang menjadi bahan makanan dan kosmetik yang dibutuhkan perusahaan besar di dunia," tutur Paidi mengisahkan. Paidi melanjutkan bahwa tanamana porang yang dikembangkan di Saradan rata-rata dapat tumbuh ketika dinaungi pohon lainnya.

Sejak itulah Paidi mulai berencana menanam porang di sekitar kampung halamannya dengan kondisi lahan pertanian yang berbukit-bukit. Meski mengalami kendala untuk penanaman porang karena membutuhkan tanah yang datar dan dinaungi oleh pohon keras seperti pohon jati dan sejenisnya. Namun, Paidi tetap berupaya agar porang bisa ditanam di lahan kampungnya.

Karena keadaan lahan yang demikian, Paidi kemudian mencari solusi dengan mengumpulkan informasi dari Google sehingga Paidi pun mendapat banyak ilmu yang salah satunya bahwa porang itu bisa ditanam di lahan pertanian yang terbuka.

Revolusi Pola Tanam ala Paidi

Pengetahuan yang didapat Paidi itu kemudian dikumpulkan dalam satu catatan yang dinaai sebagai revolusi tanam baru porang. "Menanam porang rata-rata harus di bawah naungan. Di sini, menanam tanpa harus naungan. Kami menggunakan revolusi pola tanam baru," terang Paidi.

Seperti dilansir dari laman kompas.com, berdasarkan revolusi pola tanam porang ala Paidi ini kemudian hasil panen tanam orang sangat berbeda jauh dengan pola tanam porang seperti kebanyakan orang lakukan. Paidi pun membandingkan hasil tanaman porangnya dengan hasil tanam porang konvensional yang biasa orang tanam.

Jika menggunakan pola tanam konvensional, satu hektar dapat menghasilkan panen tujuh sampai sembilan ton. Sementara dengan revolusi pola tanam intensif, satu hektar bisa mencapai panen 70 ton. "Kalau pakai pola tanam konvensional, panennya paling cepat tiga tahun. Sementara dengan pola tanam baru bisa lebih cepat panen enam bulan hingga dua tahun dan hasilnya lebih banyak lagi," ujar Paidi.

Bila menggunakan pola tanam konvensional, lanjut Paidi, tidak akan bisa mengejar kebutuhan dunia. Apalagi, pabrik pengelola porang makin menjamur dengan total kebutuhan sehari bisa mencapai 200 ton. "Kalau menunggu tiga tahun, lama sekali. Untuk itu, butuh revolusi pola tanam sehingga bisa mempercepat panen," ujar Paidi.

Berdasarkan keberhasilan dalam bidang penanaman porang itulah Paidi kemudian membagikan ilmu dan cara bertanam berikut informasi harga porang melalui blog dan channel Youtube. Sehingga dengan demikian, Paidi berharap ilmunya dapat bermanfaat bagi orang banyak.

"Saya buat tutorial di akun infoasalan atau paidiporang," terang Paidi.  Berbekal video itulah Paidi berharap agar petani bisa memanfaatkan porang untuk dikembangkan. Apalagi, porang gampang dikembangkan dan mudah untuk dipasarkan.

Ketika ditanya mengenai omzet yang ia dapat dari hasil pengembangan porang tersebut, Paidi mengatakan sudah mencapai miliaran rupiah. "Sudah di atas satu miliar," tutur Paidi.

Cita-cita Paidi Umrahkan Petani Satu Desa

Dari keberhasilannya dalam mengembangkan porang, Paidi tidak hanya ingin menularkan ilmu bertanam porang kepada warga petani di kampungnya. Lebih dari itu, Paidi juga ingin mengumrhakan seluruh petani ke Tanah Suci tanpa membebankan biaya apa pun di satu desa.

Paidi memberikan bibit bubil (katak) sebanyak 30 kilogram gratis kepada petani untuk mengumrahkan petani yang tidak mampu. Setelah petani yang mendapatkan bantuan bibit dari Paidi harus menanam dan merawatnya hingga bisa meraih panen dalam jangka waktu dua tahun.

Sehingga dalam waktu tersebut, panen porang dengan bibit bubil 30 kg bisa menghasilkan Rp 72 juta. “Uang hasil panen itu bisa untuk memberangkatkan umrah pasangan suami istri. Tetapi kalau panen lebih dari itu, sisa uangnya kami berikan kepada petani,” terang Paidi.

Hingga saat ini, Paidi sudah mengumrahkan 15 orang petani setelah berhasil mendapatkan bantuan 30 kg bibit bubil.

Menanggapi kisah Paidi tersebut, Kepala Desa Kepel Sungkono menyatakan, banyak warganya ikut menanam porang karena terinspirasi dengan kisah sukses Paidi.

Selama dua tahun terakhir ini, menurut Sungkono, hampir 85 persen warga di Desa Kepel menanam porang. Warga tertarik menanam porang karena harganya yang terus naik dan penanamannya yang lebih mudah.

Padahal sebelumnya, warga setempat banyak mengandalkan bertani cengkeh dan durian. Namun, nilai hasil panen tidak sebesar jika dibandingkan dengan porang.

“Tahun lalu penjualan porang di desa kami tembus hingga Rp 4 miliaran. Warga yang memiliki lahan seluas satu hektar bisa meraih untung hingga Rp 110 juta,” pungkas Sungkono.