KTT G-20: Perlunya Reformasi di WTO

 
KTT G-20: Perlunya Reformasi di WTO

LADUNI. ID, INTERNASIONAL-Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, para pemimpin negara-negara G-20 yang hadir pada pertemuan di Osaka, Jepang, juga menginginkan adanya reformasi di dalam World Trade Organization (WTO).

“Semua sepakat bahwa kita perlu melakukan reformasi. Hampir semua pihak mengatakan perlu adanya upaya menghilangkan atau mengurangi ketegangan perdagangan internasional, tapi belum ada kesepakatan tentang bagaimana cara mencapainya,” ujar Sri Mulyani dalam keterangan resminya. Sri Mulyani menceritakan bahwa untuk menyelesaikan sengketa perdagangan, para pemimpin yang hadir menginginkan adanya reformasi di WTO.

Ia menambahkan, Reformasi ini terutama soal investasi dan perdagangan sebagai upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi global.

Menurut dia, investasi dan perdagangan menjadi isu sangat penting karena menyangkut bagian dari kebijakan ekonomi negaranegara anggota G-20 yang bisa memengaruhi pertumbuhan ekonomi secara global.

“Mungkin penekanannya berbeda-beda, tapi yang paling penting reformasi WTO mengenai dispute settlement (penyelesaian perselisihan), dibentuk mekanisme untuk menangani dispute settlement,” jelasnya.

 Kedua, menurut dia, menangani berbagai kebijakan multilateral yang kerap menimbulkan kekacauan (distorsi). Tepatnya bagaimana membentuk penyelesaian perbedaan sehingga tercipta praktik perdagangan yang adil.

“Saya rasa yang paling penting adalah masalah itu,” tambahnya. Pengamat ekonomi Asian Development Bank Institute (ADBI) Eric Sugandi mengatakan reformasi WTO diperlukan karena selama ini masih banyak kendala dalam liberalisasi perdagangan internasional. Saat ini, menurut dia, banyak negara anggota WTO yang menetapkan kebijakan perdagangan proteksionis yang bisa berujung saling balas dan merugikan pelaku ekonomi. 

“Saat ini kita bisa lihat pada kasus perang dagang ASChina. China menerapkan kebijakan state capitalism dengan mendukung perusahaan-perusahaan mereka, termasuk BUMN, agar kompetitif di pasar internasional dengan berbagai macam subsidi dan insentif,” ujar Eric. Praktik ini dianggap melanggar prinsip-prinsip perdagangan bebas oleh AS