Menghafal Versus Menalar (Seri 2)

 
Menghafal Versus Menalar (Seri 2)

LADUNI.ID - Tradisi menghapal tersebut terus berlangsung sampai saat ini, di banyak pusat-pusat pendidikan Islam, entah sampai kapan. Tradisi ini dipraktikkan mulai dari tingkat ibtidaiyah (dasar) sampai perguruan tinggi. Saat saya belajar di pesantren Lirboyo, Kediri, beberapa puluh tahun lalu, saya dan para santri kelas Tsanawiyah, tiap malam jumat "lalaran"(mengulang hapalan secara bersama-sama) nazham Alfiyah ibnu Malik. Saya pernah hapal 1000 bait ilmu nahwu itu dalam tempo 45-60 menit. Saya juga pernah menghapal "Jauhar al-Maknun" (ilmu sastra Arab) dan "Al-Sullam al-Munawraq" ( ilmu mantiq/logika Aristotelian). Sekarang saya sudah lupa semua hapalan itu.

Pada momentum khataman atau ujian akhir yang diselenggarakan pada akhir tahun ajaran, (haflah akhir al-sanah atau imtihânah), kemampuan menghafal syair-syair ilmu tersebut di atas biasanya ditampilkan oleh para santri di hadapan para guru, orang tua-wali dan khalayak/masyarakat. Para orang tua tersebut merasa sangat gembira dan bangga melihat anaknya hafal nazham Amrithi atau Alfiyah dan seterusnya itu. Mereka tidak terlalu menganggap penting apakah anak-anaknya memahami apa yang dihapalnya atau tidak. Atau mereka justeru menganggap bahwa hapal itu mengindikasikan paham dan mengerti.

Metode menghapal untuk masyarakat tertentu mungkin saja baik, tetapi akan lebih baik jika ilmu-ilmu tersebut juga dipahami. Penggabungan dua sistem ini; memahami dan menghapal dalam diri seseorang tentu saja ideal.

Mengenai ini ada sebuah syair yang menyatakan:

wa jami al-fahma maa al-hifzhi yafi

"Gabungkan pemahaman dan hapalan, niscaya akan memadai/sempurna).

Oleh: KH Husein Muhammad