Ajaran Rasulullah dalam Berhubungan dengan yang Tua dan yang Muda

 
Ajaran Rasulullah dalam Berhubungan dengan yang Tua dan yang Muda

LADUNI. ID, KOLOM- Dinul Islam sebagai agama yang universal syariatnya, diantara nilai universal tersebut dianjurkan kepada kita berakhlak yang baik dan wajibnya menyayangi antar sesama kaum muslimin.

Islam telaah mengatur adab atau sopan santun dalam Islam ketika kita bergaul dengan anak muda atau orang tua, yang masing-masingnya memiliki hak yang pantas diberikan baginya.

Syariat menganjurkan terhadap yang lebih tua maka hendaklah kita menghormati dan memuliakannya, karena mereka memiliki keutamaan. Adapun terhadap yang lebih muda maka hendaklah kita menyayangi dan lemah lembut kepadanya, karena pada diri yang lebih muda akal dan ilmunya masih kurang.

Sosok yang muda tentunya mereka perlu dibimbing dan dipenuhi kebutuhannya serta tidak menghukumnya apabila tidak sengaja melakukan kesalahan. Demikianlah Islam mengajarkan akhlak mulia, saling menghormati dan menyayangi antar sesama muslim yang membuahkan rasa persaudaraan dan persatuan di antara kaum muslimin.

Di antara bentuk menghormati orang yang lebih tua adalah: Mendahulukan orang yang lebih tua dalam berbicara. Lantas mengapa mendahulukan orang yang lebih tua dalam berbicara? Tentunya disamping dalam rangka menghormati kedudukan mereka, keumuman orang yang lebih tua lebih bagus dalam berbicara dibandingkan dengan yang lebih muda.

Telah disebutkan dalam sebuah kisah, tiga orang shahabat Nabi yang bernama ‘Abdurrahman bin Sahl, Huwaishah bin Mas’ud dan Muhaishah bin Mas’ud mendatangi Nabi untuk mengadukan suatu permasalahan. Setelah sampai dihadapan beliau, mulailah ‘Abdurrahman bin Sahl berbicara dan dia adalah yang paling muda di antara mereka.

Maka Nabi pun menegurnya seraya bersabda, كَبِّرْ الْكُبْرَ “Hormatilah yang lebih tua.” Yahya –salah seorang perawi hadits ini– menerangkan, “Hendaknya yang memulai berbicara adalah yang lebih tua.” (HR. al-Bukhari no. 5677 dari shahabat Rafi’ bin Khadij dan Sahl bin Abi Hatsmah)

Kapankah yang lebih muda diperbolehkan untuk berbicara dihadapan yang lebih tua? Al-Imam al-Bukhari dalam kitab al-Adabul Mufrad membuat sebuah bab “Apabila yang lebih tua tidak berbicara apakah boleh bagi yang lebih muda berbicara?” Kemudian beliau menyebutkan sebuah kisah dari Abdullah bin Umar.

Suatu hari Rasulullah menyampaikan sebuah teka-teki,  “Beritahukanlah
kepadaku tentang suatu pohon yang permisalannya seperti seorang muslim. Pohon tersebut mengeluarkan buahnya setiap waktu dan tidak menggugurkan daunnya dengan seizin Rabbnya.”  Abdullah bin Umar berkata,

“Dalam hatiku terbersit bahwa itu adalah pohon kurma, namun aku enggan untuk berbicara karena disana ada Abu Bakr dan Umar.” Ketika Abu Bakr dan Umar tidak menjawab maka Rasulullah pun memberikan jawaban, “Itu adalah pohon kurma.” Ketika Abdullah bin Umar keluar dari majelis bersama ayahnya dia pun berkata, “Wahai ayahku, tadi terbersit dalam hatiku bahwa itu adalah pohon kurma.”

Umar berkata, “Apa yang menghalangimu untuk menjawabnya? Kalau seandainya engkau menjawabnya maka yang demikian ini lebih aku senangi daripada ini dan itu (harta terbaik).” Abdullah bin Umar berkata, “Tidak ada yang menghalangiku untuk menjawab melainkan karena engkau dan Abu Bakr tidak berbicara sehingga akupun enggan untuk berbicara.” (HR. al-Bukhari no. 360 dalam al-Adabul Mufrad dari shahabat Abdullah bin Umar).

Berdasarkan hadits ini menunjukkan tentang bolehnya yang lebih muda berbicara dihadapan yang lebih tua dengan syarat yang lebih muda memiliki kepandaian dan tidak ada satupun dari yang lebih tua berbicara.

Diantara adab lainnya mendahulukan orang yang lebih tua untuk mendapatkan tempat duduk dalam majelis. Al-Hafizh al-‘Iraqi berkata,

“Termasuk dalam masalah ini pula adalah memberikan tempat yang lapang kepada orang yang baru datang ke majelis apabila memungkinkan, terlebih lagi apabila dia termasuk orang yang berhak untuk dimuliakan seperti orang yang sudah tua, orang berilmu atau pemuka masyarakat.” (Faidhul Qadir, jilid 5, hlm. 494)

Dalam setiap masyarakat di manapun, terdiri dari orangtua, pemuda dan anak-anak. Ada senior atau perintis dan ada pula yunior atau pelanjut.

Semual level itu diperlukan untuk membangun harmoni kehidupan. Setiap individu di dalamnya, memiliki keunikan tersendiri. Maka setiap individu harus ditempatkan pada jabatan yang sesuai, sebagai lahan aktualisasi diri secara profesional. Masing-masing level memiliki kelebihan dan sekaligus kekurangan. Wajar, sebab manusia adalah tempat salah dan lupa. Di samping memiliki nalar, juga naluri.

Untuk menciptakan suasana yang sejuk, masing-masing individu dituntut untuk tahu diri, berani berkorban, dan bukan memperbanyak tuntutan. Itulah sebabnya dalam Islam hubungan antara yang muda dan yang tua telah diatur dengan begitu indah. Ada managemen keseimbangn di sana, yakni hormat (tauqir) dan kasih sayang (rahmah).

Rasulullah bersabda, ”Tidak termasuk golongan kami yang tidak menghormati generasi tua dan tidak menyayangi yang kecil.” Dalam hal ini pihak orangtua lebih dahulu disebutkan, karena sebagai pendahulu mereka lebih berjasa. Merekalah yang pertama babat alas, atau menjadi pengawal amal.

Satu ungkapan Arab berbunyi: Al Afdhalu lil mubtadi walau ahsanal muqtadi (keutamaan itu bagi perintis, sekalipun pelanjut itu lebih baik). Pun dalam ungkapan lain disebutkan: Al Bidayatu ahsanu min kulli syaiin (perintis itu lebih baik dari setiap aspek, karena telah memulai separo perjalanan lebih).

Hendaklah kita yang lebih tua (senior) yang independen. Tambah usia tambah berbudi, makin tua makin mengabdi. Bukan sebaliknya makin tua makin sombong, dan cengeng. Begitu sebaliknya yang muda "bek ulok-ulok", menghina yang senior, angkuh dan sejenisnya.

Dalam hal ini Rasulullah bersabda, ”Pemuda yang terbaik adalah yang arif seperti orangtua, dan orangtua yang terjelek adalah berkarakter seperti pemuda.” Sosok orangtua harus menjadi marja’ (rujukan) dalam membangun orientasi kehidupan, ilmu, iman dan amal.

Hal yang seirama juga harus dimiliki oleh yang muda (yunior),  para penerus dan pelanjut estafet kepemimpinan juga dituntut menyadari bahwa sekiranya pendahulu tidak menanam pohon kelapa, mustahil hari ini mereka bisa meminum air kelapa.

Kita telah menikmati hasil jerih payah para salafus shalih. Merekalah yang lebih dahulu beramal, berjuang, dengan harta, nyawa tanpa berfikir besok makan apa dan menempati jabatan apa. Sepatutnya yang yunior selalu berdo’a untuk yang senior sebagai bentuk penghormatan kepada para pendahulunya. Lebih-lebih jika prestasi yunior tidak lebih baik dari amal senior.

Beranjak dari itu pentingnya menghormati yang lebih senior (tua) dan menyanyangi yang muda (yunior). Tumbuhnya keakraban dua golongan ini tentunya akan memberikan kontribusi yang positif demi kebaikan dan perbaikan agama dan negeri ini. Marilah kita genggam tangan erat dalam dinamika dan porsi masing-masing baik yang tua (senior) dan muda (yunior) saling mengisi menuju negeri yang berkah dan sukses bermahkota baldatun tayyibatun warabbul ghafur.

**Tgk. Fakhrurradhi Marzuki, Penggiat Masalah Sosial Kemasyarakatan dan Agama asal Lamlo, Pidie, dikutip dari berbagai sumber